Kamis, 27 Desember 2012

Seni Panen Terakhir

Karya Tiga Dimensi Penolak Panen Terakhir

foto: pitogoestin
SAMBADI, 75 tahun terlihat hilir mudik dengan sebilah sabit di tangan kanannya. Lelaki tua yang telah puluhan tahun tinggal di dusun Jeblog, kecamatan Kasihan, kabupaten Bantul itu tengah memantau pengairan beberapa petak sawah yang menjadi tanggung jawabnya. Yang pasti, bukan petak sawah miliknya.
 “Sudah saya jual untuk berobat, untuk bangun rumah. Ya, baru tahun ini saya benar-benar enggak punya sawah,” kata Sambadi saat ditemui Tempo di tepi sawah, Rabu (3/10/2012).
 Ada kerinduan Sambadi akan petak-petak sawahnya yang satu per satu hilang. Dia berharap kelak bisa memilikinya lagi. Meski harapan itu sangat tipis mengingat petak-petak sawah di dusun itu banyak yang berbuah menjadi dinding-dinding beton perumahan. Padahal, Sambadi sejak kelas II Sekolah Dasar sudah biasa membantu ayahnya membajak di sawah. Saat tak sekolah, biasa berangkat ke sawah kala pagi buta dan pulang saat petang. Tengah hari menjadi waktu yang dinanti karena menunggu kiriman makanan dari ibunya sembari duduk di gubuk-gubuk bambu yang ada di tengah sawah. Gubuk bambu itu juga menjadi tempat petani untuk menghalau burung-burung pemakan bulir-bulir padi.
 “Sekarang sudah tidak ada gubuk-gubuk bambu di tengah sawah. Orang malas berlama-lama di sawah,” kata Sambadi.
 Banyak petani masa kini yang datang kala matahari sudah terbit dan segera pulang saat jarum jam menunjuk pukul 11 siang.
foto: pitogoestin
 Kegundahan Sambadi, dan beberapa petani tua beberapa zaman itu ditangkap sejumlah seniman seni rupa tiga dimensi yang tergabung dalam Komunitas Garda Matra yang lahir di dusun itu. Mereka pun memotret kegelisahan petani, masa depan persawahan, dan alam sekitarnya melalui karya-karya tiga dimensi. Mereka mempersiapkan 10 karya tiga dimensi berupa patung dan instalasi dalam waktu satu bulan, termasuk menggagas temanya. Jadilah perhelatan “Panen Terakhir” yang ditampilkan di tengah areah persawahan di dusun Jeblog dan Nitiprayan sedari 27 September hingga penghujung 2012 mendatang.
 “Dengan panen terakhir, kami berharap tak ada panen terakhir. Karena ini memang potret realitas pertanian di pinggiran kota,” kata Budi Barnabas, selaku ketua panitia sekaligus perupa di bengkel seninya yang juga di tengah sawah.
 Budi berharap, karya-karya instalasi yang ditampilkan secara terbuka kepada public itu bisa mengobati kerinduan alam hijau pada masa lalu. Meskipun beberapa karya yang ditampilkan terlihat getir.
 Sebut saja karya Budi sendiri yang diberi judul “Kebo Ketaton”. Karya yang menampilkan seekor kerbau yang berdiri mengangkang dengan kepala tertunduk. Tubuhnya tanpa daging, tinggal tulang kerangka. Binatang pembajak sawah itu dibiarkan sendirian di sebuah petak di tengah sawah di Jeblog.
 “Kerbau itu simbol keputusasaan,” kata Budi.
Putus asa, lantaran kerbau yang berperan sebagai pembajak sawah tergusur keberadaannya oleh mesin-mesin traktor yang lebih kokoh dan kuat. Serasa ada luka luar dalam, demikian Budi menggambarkan binatang perkasanya yang kini tak berdaya dengan modernisasi.
 Keresahan pun melanda Kenyung Suranto yang membuat instalasi berjudul “Kendi Borot”. Laiknya kendi atau bejana penyimpan air yang dalam karya instalasi itu juga terbuat dari tanah liat. Kendi besar, penampung air, dipajang di tengah sawah, namun kosong lantaran berlubang. Bagi Kenyung, kendi diibaratkannya sebagai bumi penyimpan air. Namun kala tanah di atasnya lebih banyak dihuni perumahan dan bangunan-bangunan industry, tak pelak lagi air semakin minim untuk berada di resapan air.
 “Yang terjadi kemudian krisis air kan,” kata Kenyung.
foto: pitogoestin
Karya-karya tiga dimensi itu akan terus bertambah. Sudah ada antrean 10 karya dan ditambah tujuh karya pada Desember nanti. Konsep memajang karya di tengah alam rupanya menjadi daya tarik seniman lainnya untuk tampil serta. Karya-karya lama yang masih nagus akan tetap dipertahankan untuk dipajang. Kemudian karya-karya baru akan melengkapi. Meskipun untuk tampil di panggung persawahan, Budi mesti melakukan pendekatan sosial kepada warga pemilik sawah. Termasuk pemberian uang ganti rugi lantaran petak sawahnya disewa sebagai tempat pajangan.
 “Modelnya gotong royong dan warga tak keberatan. Bahkan inginnya tahun depan ada lagi,” kata Budi. PITO AGUSTIN RUDIANA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar