Kamis, 26 Juni 2008

Seni Teater Lungid


Semua Berawal dari Sebuah Tuk


foto: pitogoestin
SEBUAH ember berukuran sedang warna hitam nyaris dibuang Bibit, pemuda pengangguran berpikiran idealis, ke dalam sumur. Lantaran ember lusuh yang sudah penuh tambalan di sana-sini itu masih saja bocor meski sudah ditambal ulang. Mbah Kawit, perempuan paling renta yang hidup dari belas kasih warga di perkampungan tanah magersari itu berteriak-teriak mengingatkan. Bahwa membuang sampah ke dalam sumur yang berisi tuk alias mata air sebagai sumber kehidupan, bukan perbuatan terpuji. Sumur bukan tempat sampah. Kehidupan sedari bangun tidur dan akan tidur lagi dimulai dari tuk. 
  Tapi peringatan kedua dari Mbah Kawit untuk melindungi tuk, tak mempan buat Suleman Lempit. Si tukang makelar apa saja itu marah-marah gara-gara seekor ayam jago aduan raib dari kandangnya. Padahal ayam itu sudah ada yang menawar, Rp 57.000. Tanpa rasa bersalah, Mbah Kawit nyeletuk. Ada seekor bangkai ayam ditemukannya di dalam sumur. Lantas dijualnya kepada pedagang ayam seharga Rp 500. Suleman yang dipanggil Mbah Kawit dengan Leseman – alasannya, Suleman adalah nama nabi – mengamuk. Sumur si sumber penghidupan itu dianggapnya sebagai biang kerok melayangnya rezeki Rp 57.000. Tanpa rasa bersalah pula, laki-laki itu berdiri di atas bibir sumur, membuka retsluiting celana panjangnya, dan mengencingi air sumur, si air kehidupan. Bibit dan Lik Bismo, si penjual mainan anak-anak, tali kolor, juga sumbu kompor yang fanatik dengan wayang kulit, hanya terbengong.
 Penonton yang disuguhi adegan itu pun tergelak. Apalagi tiap ada dialog berisi umpatan yang diucapkan para pemain Teater Lungid dalam lakon berjudul “TUK” di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Kamis (26/6/2008) malam. Tontonan teater berbahasa Jawa ngoko itu pun seperti tontonan lenong. Penonton sibuk nyeletuk, sibuk komentar, atau sekedar bersuit-suit dan tertawa.
 “Ya, sebenarnya kita sekaligus ingin memperkenalkan kembali idiom-idiom bahasa Jawa kepada anak-anak muda yang sekarang sudah banyak yang tidak mengenalnya,” kata sang sutradara, Pelog Trisno Santosa.
 Banyak ungkapan yang diakui Pelog, hanya mampu dipahami masyarakat Jawa 10 tahun lalu, saat kali pertama lakon TUK dipentaskan pada 1997 akhir. Namun menjadi asing di telinga anak-anak muda pada 10 tahun berikutnya. Sebut saja, seperti istilah urip kaya sambel yang diucapkan Mbok Jemprit, si penjual bumbu dan lombok di pasar. Artinya, hidup hanya untuk pelengkap. Mengingat pasar tradisional tempatnya berjualan akan digusur untuk digantikan dengan pasar modern.
 Hanya saja, diakui Pelog, tak semua ungkapan yang diucapkan sampai maksudnya bagi penonton. Lantaran para pemain yang rata-rata sudah berusia 45 tahun ke atas itu lupa untuk menjelaskan artinya.
 Misalnya, gerji. Pemain hanya menyebut gerji tanpa memberinya penjelasan. Orang mungkin tahunya itu gergaji, padahal itu sebutan untuk tukang jahit pakaian. Ya, sudah tua, antara otak dengan bibir sudah nggak sinkron,” kata Pelog, si pemeran Lik Bismo sambil tertawa. Namun, meski tenaga tua, vokal mereka cukup lantang untuk didengar hingga di sudut-sudut ruang.

foto: pitogoestin
  Sayangnya, tawa dan celetukan penonton yang tak memenuhi ruangan itu tak bertahan selama dialog yang diucapkan tiap-tiap pemain. Terlihat ada kejenuhan saat tiba di puncak klimaks. Beberapa penonton pun sempat ada yang sudah meninggalkan ruangan. Durasi waktu yang nyaris memakan 2,5 jam dimulai pukul 20.15 WIB itu diakui Pelog sebagai salah satu alasannya. 
“Ada beberapa pemain yang berimprovisasi dalam dialog. Bagaimana pun, itu juga turut menambah durasi waktu. Tampilan berikutnya akan coba dipadatkan,” kata Pelog. 
Lakon yang diambil dari salah satu karya almarhum Kenthut Bambang Widoyo mengisahkan kehidupan warga di tanah magersari. Sebuah istilah bagi komunitas yang nebeng untuk tinggal di tanah pekarangan orang lain, dengan perjanjian juga batas waktu yang kabur. Itu pun karena kebaikan Pak Darso, pemilik tanah yang sudah meninggal. Namun kehidupan menjadi terbalik saat berhembus desas-desus, Menik, anak perempuannya berniat menjual tanah itu. Warga magersaren yang rata-rata dari kaum pinggiran pun kelabakan, akan tinggal di mana nantinya. 
Mbah Kawit yang sering dipanggil “dhanyange” oleh Lik Bismo dan Bibit karena dia generasi pertama yang tinggal di tanah magersari yang masih hidup, adalah salah satu yang getol mempertahankan tanah magersaren. Dia hanya berpatokan pada wasiat Pak Darso, bahwa tanah itu tak boleh dijual. Perempuan itu menganggap, awal bencana sudah terlihat sejak sumur sebagai sumber kehidupan itu sudah mulai disalahgunakan. Dikencingi, tempat berkeluh kesah, jadi tempat sampah, yang semestinya menjadi pantangan. 
“Sumur kuwi ora nggo buang pauwan. Nanging sumber panguripan. Yen ngedohi banyu, kuwi ngedohi rezeki,” pesannya. 
Dia pun tak berdaya saat api melahap satu persatu rumah di kampung itu. Namun cita-citanya untuk mati di sana, terpenuhi. (PITO AGUSTIN RUDIANA)


Tentang Teater Lungid

AWALNYA bernama Teater Gapit yang berdiri pada 1981 di Surakarta. Sebuah nama yang diambil dari nama salah satu pintu di Keraton Surakarta, tempat mereka janjian bertemu untuk latihan. Di sana ada nama-nama seperti Kenthut Bambang Widaya SP, si pembuat naskah, juga Pelog Trisno Santosa, si sutradara. TUK sebagai lakon terakhir yang dipentaskan pada akhir 1997, sepeninggal sang penulis skenario yang membukukannya bersama karya-karya lainnya yang sudah pernah dipentaskan. Ada Brug, Suk-suk Peng, Rol, Leng, Dom, juga Reh. Sedangkan Luh belum pernah dipentaskan.
Tapi sejak 24 Juni 2008 lalu, Teater Gapit berganti nama dengan Teater Lungid. Kami cuma tak ingin beromantisme dengan masa lalu. Tapi ingin tetap melestarikan teater berbahasa Jawa yang nyaris belum pernah ada,” kata Budi Prasetyo, pimpinan Teater Lungid.
Lungid sendiri berarti tajam, juga cerdas. Meski ganti nama, namun para pemainnya tetaplah sama. Para pemain yang sudah beranjak menua. (PITO AGUSTIN RUDIANA)