Selasa, 29 April 2008

Klangenan Rekso Pustoko

 Perpustakaan Kuno yang Jarang Dijamah

foto: pitogoestin
LENGANG dan sunyi. Begitulah saat melongok ke ruang perpustakaan Rekso Pustoko yang memanjang di kawasan Kraton Mangkunagaran Kota Solo Jawa Tengah. Untuk menggapainya, haruslah menaiki tangga kayu yang berbentuk setengah lingkaran. Di lantai dua itulah nuansa etnik mendominasi ruangan yang tak begitu terang. Lemari-lemari buku dari kayu berwarna cokelat dan berdebu, beberapa meja dan kursi tempat membaca dari kayu cokelat tua, belum lagi buku-buku yang tertata cukup rapi dengan warna kertas yang rata-rata cokelat pula. Ada kesan kuno, usang, setua usia perpustakaan yang didirikan pada 11 Agustus 1867 pada masa pemerintahan Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati (KGPAA) Mangkunegara IV.
Tak begitu banyak yang tahu bahwa di salah satu ruangan di lantai dua kerajaan tersebut masih terasa denyut perlahan nadi perpustakaan yang tergolong kuno. Hanya ada beberapa gelintir karyawan yang bertugas untuk mengurusi administrasi, alih aksara dari huruf Jawa ke huruf latin, tukang ketik, editor, hingga tukang cetak. Para pengunjungnya pun hanya berkisar 5-8 orang saban harinya, seolah banyak yang enggan menjamahnya. Mahasiswa yang membutuhkan data untuk tugas akhirnya, seniman berbagai aliran untuk pengembangan ilmunya, para peneliti, atau pun masyarakat umum yang sekedar membaca untuk tahu. Itu pun ada kesan tak puas untuk menikmati bacaan buku-buku kuno di sana. Lantaran tak diperbolehkan membawa pulang bukunya, pun waktunya dibatasi dari pukul 09.00 hingga 12.30 WIB.
“Ya, maklum...kami ini tidak digaji dari pemerintah (Pemerintah Kota Solo, red). Cuma dapat uang transport dari pihak kraton,” demikian alasan Kanjeng Raden Nganten Tumenggung Siti Koestini Soemardi, pensiunan guru sekolah dasar yang telah menjabat sebagai Kepala Perpustakaan Rekso Pustoko sejak 1986 saat dijumpai Tempo, Selasa (29/4/2008).
Tak jelas, berapa uang transport yang diterimanya berikut pegawai-pegawainya. Ada rasa enggan dan malu untuk mengatakan. Jawaban itu pula turut menggambarkan kondisi perpustakaan yang kini telah menyimpan sekitar 20.000-an buku dari masa KGPAA Mangkunegara I hingga kini, KGPAA Mangkunegara IX. Buku-buku yang tak hanya uzur dimakan usia, namun juga rusak dimakan rayap itu hanya dirawat dengan sekitar tiga kilogram kapur barus tiap bulannya. Perawatan lebih layak lagi adalah dengan fumigasi.
“Fumigasi pun tidak mesti kapan waktunya. Tergantung dananya. Kalau ada dana ya, setahun sekali. Ya, sekitar tiga juta rupiahlah. Kalau tidak ya, dua tiga tahun sekali,” aku Koestini.
Meski demikian, Koestini sangat bersyukur lantaran ada hari-hari tertentu dimana perpustakaan kuno nan sepi itu rapami dikunjungi. Bukan pada hari-hari libur panjang ketika pelajar libur. Namun justru saat tahun ajaran baru, tepatnya pada masa orientasi sekolah alias opspek. Biasanya, pihak perguruan tinggi di Kota Budaya itu akan mengajak mahasiswanya mengunjungi Rekso Pustoko sebagai ajang perkenalan peninggalan-peninggalan budaya kraton di Solo.
“Ya, pengenalan biar nanti kalau mencari bahan untuk tugas kuliah, bisa langsung ke sini. Lagi pula, anak-anak SMA juga ada yang ke sini. Soalnya, Bahasa Jawa kan sekarang diajarkan di sana,” imbuhnya perempuan renta yang berusia 82 tahun itu.
Jadi, apakah hanya buku-buku berbahasa Jawa saja yang tersimpan di sana? Ternyata tidak. Buku-buku yang dibagi menjadi 20 kelompok berdasar tema besarnya itu terdiri banyak bahasa. Mulai bahasa Jawa, Belanda, Inggris, juga Indonesia. Mulai dari buku peninggalan yang ditulis oleh KGPAA Mangkunegara I yang berjudul “Sejarah Wiwit Nabi Adam Dumugi Ratu-ratu Tanah Jawi lan Sanesipun” yang ditulis pada 1769 Masehi hingga buku terbaru yang dikoleksinya pada 11 Maret 2008 yang berjudul “Barus Seribu Tahun yang Lalu” dari tulisan Claude Guillot dan kawan-kawannya.
Buku-buku dari kalangan Mangkunagaran yang rata-rata beraksara Jawa, oleh pegawai perpustakaan dialihaksarakan menjadi aksara latin, lalu dicetak ulang. Ada pula buku-buku lama yang sudah dicetak dengan aksara Jawa yang masih disimpan. Seperti “Serat-serat Anggitan Ndalem KGPAA Mangkunegara IV” yang merupakan kumpulan tulisan Mangkunegara IV yang dikenal sebagai pujangga dan sastrawan besar sekelas Ronggowarsito itu.
“Kalau tulisan tangan beliau yang berupa aksara Jawa, nggak ada di sini, entah di mana. Di sini hanya aksara Jawa yang sudah dicetak saja,” kata Darweni, pegawai perpustakaan yang sekaligus juru alihaksara di sana.
 Ada juga buku karya Mangkunegara IV yang cukup terkenal yang berjudul “Serat Wedhatama” yang berisi ajaran budiluhur kehidupan masyarakat Jawa. Juga karya KGPAA Mangkunegara VII yang berjudul “Pakem Pedalangan Ringgit Purwo”. Buku yang dicetak dengan aksara Jawa itu terdiri dari 37 jilid dan 37 lakon wayang purwo. Dua raja itulah yang merupakan tokoh-tokoh dibalik keberadaan dan perkembangan Rekso Pustoko itu sendiri. Keduanya penggila sastra. Keduanya pecinta membaca. Pada masa KGPAA Mangkunegara IV lah Rekso Pustoko berdiri, meski saat itu keberadaan buku-buku masih diperuntukkan bagi para punggawa raja. Raja yang punya nama kecil Raden Mas Sudira kelahiran 3 Maret 1811 itu kurang tertarik pada kegiatan adu jago juga memanah. Seni dan sastra menjadi kepiawaiannya, sebut saja karya lainnya adalah “Wulang Reh”. Dan di tangan KGPAA Mangkunegara VII, Rekso Pustoko berkembang. Raja yang memprioritaskan pada pembangunan di bidang pendidikan itu teah mengembangkan Sekolah Desa (sekolah dasar bagi kalangan menengah ke bawah) dari 19 sekolah menjadi 127 sekolah. Begitu pula membangun Sekolah Rakyat (sekolah dasar bagi kaum menengah ke atas) sebanyak 65 sekolah.
“Buku-buku karya raja, yang dikumpulkan raja, maupun tentang Kraton Mangkunagaran ini sekarang ada 2.116 buku. Untuk karya-karya Mangkunegara IV dan VII sebagian ada di sini, sebagian lagi entah di mana. Tapi hanya buku karya Mangkunegara I itu saja yang nggak boleh dibuka dan dibaca umum. Hanya kalangan raja saja,” tutur Darweni.

foto: pitogoestin
Buku berjudul “Sejarah Wiwit Nabi Adam Dumugi Ratu-ratu Tanah Jawi lan Sanesipun” itulah yang dimaksud yang kini dimuseumkan. Panjangnya 19 centimeter dengan tebal 2,5 centimeter dan ditulis dengan aksara Jawa dan aksara Arab. Tak banyak kalangan umum yang tahu isinya, karena adanya larangan untuk membacanya. Hanya saja, berdasar sejarah, KGPAA Mangkunegara I alias Raden Mas Said atau yang berjuluk Pangeran Sambernyawa yang dimakamkan di makam raja-raja di Mangadeg, Karanganyar itu memang memfokuskan agama sebagai arah kebijakan dan pembangunannya.
Jika didasarkan pada katalog, buku-buku lain yang disimpan di sana adalah tentang piwulang, sejarah, sastra, wayang, menak, karawitan, tari, adat, primbon, pariwisata, hukum, pertanian, kesehatan, flora dan fauna, dongeng, warna-warni, juga batik. Bahkan katalog terakhir adalah buku-buku tentang politik.
 “Kalau buku-buku politik memang baru saja, pada masanya Bu Mega (masa pemerintahahan Presiden Megawati Soekarno Putri, Red). Sebab kakaknya Bu Mega (Sukmawati Soekarno Putri, Red) kan pernah menjadi istri dari KGPAA Mangkunegara IX, tapi sekarang sudah cerai,” kata Darweni.
Meskipun para pengunjung yang membaca tanpa dipungut biaya itu – kecuali jika ingin memiliki dengan difoto copy-kan oleh pegawai di sana – dilarang membawa buku-buku yang dibacanya ke luar alias di bawa pulang, diakui Darweni sempat pula ada yang ketlisut.
“Ya, dulu pernah ada yang ketlisut. Jadi ada cucu raja di sini yang pinjam beberapa buku untuk di bawa pulang. Ya, kami nggak mencatat, nggak beranilah, wong cucu raja,” aku Darweni.
Siang itu, pukul 12.30 WIB, Darweni mengingatkan lima pengunjung yang masih asyik membaca dan membolak-balik buku-buku di sana. Meninggalkan ruangan yang tua dimakan usia, meski berusaha memodernkan dengan buku-buku terbitan baru. (PITO AGUSTIN RUDIANA)