Rabu, 26 Agustus 2009

Klangenan Museum Batik

Batik-batik Kuno Dalam Gelap

foto: pitogoestin
RUANGAN yang cukup luas itu terihat sempit. Lantaran suasananya yang gelap tanpa ada lampu penerangan sedikitpun. Jendela-jendela kayu yang ada di dalam ruangan itu pun ditutup rapat, seolah sengaja untuk menghalau sinar apapun yang masuk ke dalamnya. Hanya seberkas sinar matahari yang menerobos masuk melalui pintu utama Museum Batik Yogyakarta yang berlapis kaca. Sementara itu, kain-kain batik aneka corak yang jumlahnya sekitar 500-an lembar itu seolah dibiarkan berdiam di sana dalam gelap dan sepi. 
“Ini adalah salah satu upaya menjaga agar kain-kain batik itu tahan lama,” kata Prayoga, kurator batik yang sehari-hari bekerja di museum batik itu, 26 Agustus 2009.
  Menurut Prayoga, faktor suhu dan cahaya sangat berpengaruh dalam perawatan batik. Tidak boleh terkena cahaya langsung dan dijauhkan dari kelembapan adalah syarat utama agar batik awet dan warnanya tak lekas pudar. Cara menyimpannya pun harus hati-hati. Kain-kain batik itu dilipat dengan lebar sekitar setengah meter, kemudian dihamparkan pada selembar papan, lalu dibungkus dengan plastik tebal transparan. Setiap tiga bulan sekali, kain-kain yang dipajang dalam posisi berdiri itu diberi akar wangi yang diletakkan di sela-sela kain agar kain terhindar dari aneka binatang perusak dan tetap wangi.
  Maklumlah, kain-kain batik yang disimpan di sana bukanlah kain-kain batik sembarang batik. Kain-kain batik yang disimpan adalah yang mempunyai usia tua, sehingga corak-corak batiknya pun klasik. Tertua adalah batik pada zaman kerajaan Jawa-Hindu yang dibuat pada 1212. Mayoritas adalah batik-batik tulis Jawa yang asalnya beragam, yakni meliputi kawasan di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagian Jawa Barat, Jawa Timur, dan Madura.
  Secara garis besar, jenis batik yang disimpan di sana terbagi menjadi dua jenis, yakni batik keratonan, seperti batik Solo dan Yogyakarta serta batik pesisiran yang meliputi batik Cirebon, Pekalongan, hingga Madura.
  Perbedaan jenis keduanya terletak pada warnanya. Warna pada batik keratonan cenderung didominasi cokelat sogan. Lantaran ada empat warna dasar pada jenis batik yang murni dibuat dengan menggunakan alat berupa canting itu, yakni warna biru, putih, hitam, dan sogan. Perpaduan warna-warna itu yang kemudian menjadi ciri khas warna batik keratonan.
  Sebut saja, sarung panjang Soga Jawa yang bercorak boketan adu jago berdasar polos yang berwarna soga jawa, hitam, dan putih. Batik yang dibuat dengan teknik batik tulis sedang itu berasal dari Yogyakarta yang dibuat Nyonya Lie Djing Kiem antara 1920-1930. Ada pula kain panjang Soga Jawa asal Klaten, Jawa Tengah pada 1950-1960. Kain batik berpola loreng besar curigo dan pari sewuri itu dibuat dengan teknik batik tulis sedang. Begitu pun dengan kain panjang Soga Kuning asal Surakarta pada 1960-1970 yang dibuat dengan teknik batik tulis sedang. Batik tersebut mengambil corak ceplok kembang terompet berlatar belakang mukti luhur berseling.
  Sedangkan warna batik pesisir cerah dan dekoratif. Seperti ada warna merah, hijau, dan sebagainya.
  “Sehingga tidak hanya pakai canting, tapi juga colet (semacam kuas),” kata Prayoga.
  Seperti sarung Isen-isen Antik yang bercorak boketan isen-isen dengan dasar galar berseling halus dan terlihat unik. Batik berwarna kombinasi biru tom, kuning kayu, dan hijau itu dibuat dengan teknik batik tulis halus cecek jarum yang berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah pada 1880-1890.
  “Kelangkaannya ditandai dengan warna batik yang biru tua, cokelat, hitam, atau putih,” kata Prayoga yang menceritakan cara membedakan batik-batik kuno dan modern.
  Begitu pula dengan coraknya yang terlihat menggambarkan sesuatu benda yang imajinatif. Semisal, lukisan burung dalam kain batik kuno tidak bisa ditebak secara pasti jenis burung yang dimaksud, lantaran khayalan. Bahkan pada corak batik buatan zaman Jawa-Hindu berbeda dengan pada zaman Islam. Pada zaman Jawa-Hindu, gambar burung pada batik terlihat utuh. Namun pada zaman Islam hanya terdiri potongan-potongan dari bagian-bagian struktur tubuh burung.
  “Karena ada keyakinan, bahwa agama Islam melarang menggambar makhluk hidup,” kata Prayoga.
  Sedangkan kain-kain batik modern terlihat dinamis, baik warnanya yang cerah maupun corak-coraknya yang merupakan hasil modifikasi motif-motif batik kuno. Tak heran, jika perburuan kain-kain batik tua dan langka itu cukup sulit. Adalah Raden Nganten (RNgt) Dewi Sukaningsih (79), pemilik museum yang disebutnya museum batik tertua di Indonesia itu yang resmi berdiri pada 1979. Dewi menuturkan, awalnya koleksi museum merupakan batik-batik peninggalan neneknya Sie Kee Hok dan ibunya Lusyana Ong. Keduanya biasa membeli kain-kain batik kuno di tempat-tempat yang disinggahinya. Saat itu, jumlahnya hanya sekitar 30-40 lembar. Lantaran wasiat ibunya untuk merawat dan melestarikan batik-batik kuno itu, maka Dewi mendirikan museum tersebut. 
  Untuk menambah jumlah koleksi, Dewi mengumpulkannya dari batik milik saudara-saudaranya. Ada yang boleh diminta, ada pula yang harus membeli. Begitu pun dengan orang-orang yang sengaja datang kepada Dewi untuk menjual kain-kain batik peninggalan leluhurnya. Saat itu, Dewi membelinya seharga Rp 100.000 hingga Rp Rp 300.000.
  “Syaratnya harus langka, kalau nggak ya, nggak saya koleksi,” kata Dewi.
  Lantaran spesifikasi jenis batik langka, kuno, dan klasik saja yang disimpannya, akhirnya mengundang banyak kolektor batik datang untuk membelinya. Namun Dewi tegas menolak.
  “Apa artinya museum, kalau yang tua hilang,” kata Dewi.
  Tak heran, Dewi yang juga mahir membatik dan mendirikan tempat kursus membatik itu tidak menyimpan aneka batik modern. Begitu pun batik-batik buatannya. Alasannya, karena usia batik belumlah tua. (PITO AGUSTIN RUDIANA)
 

Baju Brokrat Bu Tien Terlihat Transparan

TERNYATA tak hanya mengoleksi batik, Raden Nganten Dewi Sukaningsih juga mengoleksi sekitar 50-an sulaman yang dimuseumkan satu tempat di museum batiknya. Sulaman-sulaman buatan tangannya sendiri itu pun meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MuRI) lantaran satu-satunya museum sulaman yang ada di Indonesia. Dewi memulai menyulam saat harus menunggui suaminya, Hadi Nugroho yang tergolek karena stroke pada 1980.
Uniknya, motif sulamannya bukan berdasarkan dari gambar-gambar motif sulaman yang beredar di pasaran. Melainkan diambilnya dari aneka lukisan maupun foto yang dimilikinya. Sehingga Dewi akan membuat sketsa pada kain sulamnya sebelum menyulam.
“Kalau ada yang tanya, motif-motif sulaman saya apa, ya saya jawab motif acak, karena memang acak-acakan,” kata Dewi.
foto: pitogoestin
Semisal, dia membuat sulaman dari lukisan Kebangkitan Yesus Kristus yang diselesaikannya selama 1,5 tahun. Ataupun sulaman dari lukisan penyaliban Yesus Kristus yang dirampungkan selama 3,5 tahun karena cukup panjang.
  Kebanyakan adalah sulaman yang diambilnya dari foto-foto tokoh maupun keluarganya. Antara lain foto Presiden RI  Soekarno dan Soeharto, Presiden AS Ronald Reagen, Presiden Philipina Corazon Aquino, juga foto Siti Hartinah Soeharto dan Hamengku Buwono IX. Hasil sulamannya terlihat hidup seperti gambar aslinya. Seperti sulaman sosok Bu Tien yang terlihat menggunakan baju brokat dan terlihat transparan hingga kulit punggung lengannya kelihatan. Atau sulaman sosok Aquino yang bisa menunjukkan kebeningan kacamata yang dipakainya. Juga foto sosok HB IX yang diperoleh Dewi seminggu sebelum HB IX wafat yang menunjukkan kerut-kerut kulit wajahnya. Mengapa sulamannya terlihat hidup?
  “Karena dibuat dengan perasaan, mood-nya pas baik,” kata Dewi yang memajang kerajinan tangannya itu pada pigura berlapis kaca di dinding museumnya. (PITO AGUSTIN RUDIANA)

Rabu, 19 Agustus 2009

Seni The Power of Dream

Instalasi Impian Sang Perupa

foto: pitogoestin
 Saat mata lelah ingin terkatup, badan penat ingin rebah terbaring, kehadiran sebuah bantal bisa menjadi obat meski sekejap. Pun tak peduli saat melihat bantal warna merah muda yang seolah siap mengantar si empunya untuk bermimpi dengan romantis itu ternyata tergeletak di atas sebuah jebakan tikus berbentuk segi empat. Seolah ada pesan yang tersirat. Tergiur untuk berbaring, silahkan saja. Namun jangan menyesal jika saat terbangun tak bisa bermimpi lagi. “Sebuah Umpan”, demikian karya tiga dimensi dari fiberglass yang diolah Purwanto. Pemuda kelahiran Gunungkidul 28 tahun lalu itu pun mengakui, bahwa rintang hidup tak selamanya terlihat menyakitkan, karena bisa menjadi godaan yang terlihat nikmat dan nyaman.

“Saya sebenarnya dihadapkan pada sesuatu yang menjanjikan kemewahan mimpi, tapi sebenarnya bukan target yang ingin saya capai,” kata Purwanto.
 Keresahan akan alam mimpi yang banyak memberikan janji juga dirasakan Achmad Basuki. Lulusan Universitas Negeri Semarang Jurusan Seni Rupa itu mencurahkan isi hatinya soal impiannya untuk segera berkeluarga. Maklumlah, usianya sudah 34 tahun. Sebuah media instalasi seperti robot -- lantaran mempunyai sepasang tangan dan kaki dari stainless– dihadirkannya untuk mewakili impian yang dianggap cukup menghantuinya. Lihatlah tubuh robot yang berbentuk seperti hati dari resin dan berwarna merah. Di dalamnya, bersekat kaca acrilyc, sosok perempuan berkerudung terlihat duduk sembari memandang keluar.

 “Saya ingin mempunyai istri yang solekhah, itu sebuah awalan,” kata Achmad Basuki dalam karyanya “Berkeluarga”.

 Kelengkapan sebuah keluarga yang diimpikannya pun kian lengkap jika pernak-pernik di atas kedua telapak tangan si robot terpenuhi. Di atas telapak tangan kirinya berdiri miniatu rumah, di tangan kanannya sebuah boneka berbentuk anak laki-laki tengah memandang ke atas.

foto: pitogoestin
Namun, “The Power of Dream”, sebagaimana tema besar dari pameran kompetisi yang disajikan dalam Tujuh Bintang Art Award 2009 di Jogja National Museum pada 15-30 Agustus 2009 itu, diakui Roni Ammer sebagai lika-liku hidup laiknya permainan ular tangga dengan manusia sebagai bidaknya. Ada kekuatan mimpi yang menjadikan seseorang berhasil sehingga bisa mendaki tangga kehidupan untuk hidup senang dan penuh kenikmatan. Seperti tabiat orang yang berhemat menggunakan air, maka hidupnya akan meningkat menjadi seorang konglomerat. Pun laki-laki yang rajin berolah raga, kelak tubuhnya akan terbentuk bagus dan menjadi laki-lai metroseksual. Ada pula kekuatan mimpi yang justru meninabobokkannya untuk terpeleset jatuh dalam pusaran kepahitan hidup yang gelap dan menyakitkan. Seperti saat manusia mengkonsumsi narkoba, maka kematian yang akan menjemputnya. Ataupun ketika seseorang menjadi tikus koruptor, maka hukuman pengadilanlah urusannya. Simaklah karya Roni Ammer, seniman muda dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang berjudul “The Winner” yang menggambarkan papan permainan ular tangga. Jika bisa memenangkan permainan, maka seseorang itulah yang layak disebut The Winner.

 Namun dari 59 karya yang dipamerkan, hanya satu impian seniman yang menggelitik ketertarikan alumnus mahasiswa Seni Pertunjukkan ISI Yogyakarta, Jamiatut Tarwiyah. Karya perpaduan dua dimensi dan tiga dimensi yang dibuat dari bahan acrylic dan rotan di atas kanvas berdiameter 150 centimeter, “Menyudut” karya Made Wiguna Valasara, seniman asal Sukawati, Bali, dinilainya sebagai konsistensi sang seniman dalam mengeksplorasi gagasannya tentang lingkungan.

 “Made Wiguna konsisten membuat karya dengan menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan,” kata Jamiatut.

 Karya itu menggambarkan bola bumi yang penuh sesak oleh kesemrawutan yang digambarkan dengan bilah-bilah rotan yang saling tumpuk, saling tindih tak beraturan. Bilah-bilah rotan itu bisa saja bangunan hunian, bisa pula manusia yang tak henti berproduksi. Keunikan lukisan itu mulai terlihat dari jauh seolah tiga dimensi. Namun saat didekati, hanya ujung-ujung atas dan bawah dari bola dunia itu yang benar-benar nyata tiga dimensi karena bilah-bilah rotan itu benar-benar menyembul. Tapi pada bagian tubuh bumi hanyalah lukisan kanvas semata.

Salah satu dari lima kurator pameran kompetisi itu, Netok Sawiji Rusnoto Susanto dari Universitas Negeri Jakarta, menilai bahwa para perupa cenderung mempresentasikan gagasannya dengan bahasa visual bercitra realistik, hanya sebagian kecil saja yang memposisikan pada langgam non representasi obyek.

 “Tapi kompetisi ini telah mampu mengindikasikan peta perkembangan seni rupa kontemporer hari ini,” kata Netok.

 Sayangnya, event pameran 59 karya dua dimensi dan tiga dimensi yang lolos dari tahap seleksi awal sekitar 1.500-an karya itu terlihat sepi pengunjung. Kehadiran Tempo, Rabu (19/8/2009) seolah pelengkap penderita dari cerita-cerita mimpi karya-karya seni yang terpajang rapi, tapi lengang tak terkunjungi. Hanya bunyi mesin-mesin kipas angin yang berdengung di pojok-pojok pintu masuk. (PITO AGUSTIN RUDIANA)

Jumat, 10 Juli 2009

Sosoh Alat Tenun Bukan Mesin

Awalnya, Cukup Merogoh Rp 15 Ribu Satu Set 
foto: pitogoestin

TANGAN keriput Tumiyem memasukkan pilahan batang enceng gondok di sela-sela benang tenun warna hijau tua. Bersamaan dengan itu, kedua kakinya menginjak semacam pedal hingga celah di antara dua barisan benang itu membuka. Dengan tangan keriputnya pula, perempuan tua usia 60 tahun itu menarik batang loket hingga batang-batang lidi itu merapat pada barisan benang. 

Thak, thek, thok. Thak, thek, thok.... 

Begitulah terus-menerus Tumiyem mengulangi aktivitasnya dengan mengandalkan gerak tangan dan kakinya. Lantaran semua bagian alat tenun yang dipergunakannya dari kayu. Tak bermesin hingga tak cukup memencet tombol listrik dengan jari untuk menjalankan mesin tenun. Alat tenun dari kayu yang lebih dikenal dengan sebutan alat tenun bukan mesin (ATBM) itu tetap awet sejak 1950-an yang dipergunakan para pengrajin kain tenun di Dusun Gamplong, Desa Sumberrahayu, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman.

 “Wah, lama sekali, sampai anak-anak saya habis (sudah mandiri) semua,” kata Tumiyem menuturkan lamanya waktu dia bekerja di sana, 10 Juli 2009.

 Tumiyem dan teman-temannya yang rata-rata berusia lebih dari paruh baya itu akan berhenti saat makan siang tiba. Atau pun ketika kain tenunannya selesai dibuat. Untuk menghasilkan kain tenun dengan panjang 10 meter, Tumiyem membutuhkan waktu satu setengah hari. Sedangkan waktu kerjanya dari pukul 08.00 WIB hingga 15.00 WIB atau 17.00 WIB. Waktu pembuatan kain tenun akan terhambat kala benang tenunnya terputus.

 “Itu kendalanya. Tapi bisa diatasi tanpa harus kursus khusus,” kata Tumiyem yang mengaku hanya belajar secara otodidak dengan melihat dan mencoba untuk mengoperasikan ATBM.


foto: pitogoestin
 Cukup uzurnya usia ATBM, tak heran jika alat tenun dari kayu yang berada di ruang seluas sekitar 10 x 7 meter di rumah Sumiyati, pemilik usaha tenun rumahan “Nopi Craft” itu terlihat usang. Debu dan jaring laba-laba banyak menghiasi bagian atas ATBM yang jarang dipakai. Bagian ATBM yang sering dipergunakan pun telah banyak ditambahi dengan kain usang yang diikat sedemikian rupa dari bagian satu ke bagian lain untuk menggerakkan pedal naik dan turun. Sebelumnya, alat penggerak pun berupa kayu kecil yang berfungsi sebagai tuas.

 “Semuanya memang dari kayu, kayu jati,” kata Sumiyati.

 Lantaran dari kayu pula, tak ada toko yang menjual onderdil jika ATBM rusak.

 “Cukup memanggil tukang kayu,” kata Sumiyati.

 Usaha tenun dengan ATBM di Dusun Gamplong merupakan usaha turun-temurun yang berlangsung di rumah-rumah penduduk. Seperti Sumiyati yang meneruskan usaha orangtuanya semenjak 1975 dengan ATBM yang telah ada sejak 1950. Ataupun Walludin yang melanjutkan usaha ayahnya sejak 2001. Para pengusaha kain tenun di Gamplong yang kini berjumlah 24 orang membeli ATBM dari Dusun Ceper, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yang semula juga dikenal menggeluti usaha pembuatan kain tenun. Menurut Walludin, lantaran usaha di sana mulai surut, maka banyak ATBM yang dijual. Warga Gamplong yang termasuk pembelinya.

 “Mungkin karena orang Yogyakarta terkenal suka membuat aneka kerajinan,” kata Walludin mengemukakan alasan membeli ATBM dari Klaten.

 Harga ATBM saat itu relatif murah. Pada 1975, harganya hanya Rp 15.000 tiap satu setnya. Sedangkan pada 2001, harganya sekitar Rp 400.000. Kini, harga ATBM bisa mencapai Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta. Untuk mengangkutnya saja tak perlu menyewa mobil bak terbuka. Cukup diurai komponennya, lalu diangkut dengan sepeda motor, barulah dirakit kembali ketika sampai di tempat tujuan. Kesetiaan pengusaha tenun Gamplong menggunakan alat tenun dari kayu cukup teruji. Bahkan hingga kini, tak ada satu pun yang membuat kain tenun dengan menggunakan mesin.

 “Saya malah belum tahu, membuat tenunan dengan mesin seperti apa,” kata Walludin.

 Berbeda dengan Sumiyati yang menilai pembuatan kain tenun dengan mesin justru menghilangkan ciri khas kain tenun itu sendiri. Meski pun penggunaan mesin mempercepat proses produksi kain tenun. Kain tenun hasil olahan mesin terlihat rapat, sehingga tak jauh beda dengan kain-kain biasa pada umumnya. Selain itu, harga alat bermesin itu pun tentunya lebih mahal.

 “Kain tenun hasil manual terlihat rongganya. Itu justru ciri khas kain tenun,” kata Sumiyati.

 Lantaran digerakkan secara manual pula, lebih banyak pekerja pembuat kain tenun dengan ATBM rata-rata perempuan dan berusia lanjut. Menurut Walludin, karena pembuatan kain tenun tersebut membutuhkan kesabaran dan keuletan. Seperti memasukkan bilah-bilah asesoris kain tenun satu per satu di antara benang-benang pintalan. Asesoris yang bisa berupa potongan batang enceng gondok, batang lidi, akar wangi, daun pandan, atau pun mendong itulah yang membuat kain tenun terlihat bervariasi motifnya. Ada yang bergaris-garis, kotak-kotak, atau membuat motif bunga.

 “Yang muda cenderung nggak sabaran, makanya banyak yang memilih kerja lain,” kata Walludin. (PITO AGUSTIN RUDIANA)

 

 
Dari Benang Pintal hingga Eceng Gondok
 

Hanya berbekal alat tenun dari kayu yang digerakkan secara manual, para pengusaha kain tenun dan pekerjanya yang menjalankan usaha turun-temurun di Dusun Gamplong, Desa Sumberrahayu, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman itu dapat menyambung hidupnya. Bermula dari pembuatan stagen alias kain panjang untuk merampingkan perut yang merupakan produk awal kain tenun Gamplong. Hingga kini beralih penghasil kain tenun untuk bahan kerajinan tangan seperti tas, alas piring, alas meja, maupun sampul kulit kotak pensil, boks buku, dan sejenisnya.

 “Beralih ke kerajinan sejak krisis 1997,” kata Sumiyati maupun Walludin.


foto: pitogoestin
Alasannya, harga benang pintal yang didatangkan dari Semarang itu semakin mahal. Kenaikannya hingga 300 persen. Satu pak benang yang semula seharga Rp 60.000 meningkat menjadi Rp 180.000. Padahal, satu bal terdiri dari 40-an pak benang. Benag-benag pintalan itu dijemur di bawah terik panas matahari terlebih dahulu sebelum digunakan. Bisa pula diberi pewarna sesuai keinginan. Dengan beralih ke produk kerajinan, maka benang pintal bukanlah satu-satunya bahan baku tenun. Melainkan bisa dikombinasikan dengan enceng gondok, akar wangi, mendong, daun pandan, juga lidi. Para pengusaha tenun itu menjual kepada pengrajin yang juga berasal dari Yogyakarta dalam bentuk lembaran seharga Rp 10.000 – Rp 70.000. (PITO AGUSTIN RUDIANA)

Jumat, 12 Juni 2009

Kuliner Lapis Legit


Harum Legitnya Asap Tungku


foto: pitogoestin
AROMA harum tercium datang dan pergi di antara laju kendaraan bermotor yang lalu lalang di jalan lingkar barat wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Pasalnya, di tepi jalan jalur lingkar barat, tepatnya di sisi utara dan selatan jembatan yang di bawahnya dilalui rel kereta api, berjejer toko-toko kue lapis legit sekaligus lokasi pembuatannya. Ditambah lagi beberapa toko kue sejenis yang dijumpai di perkampungan di bawahnya. Dari sanalah, bau harum khas kue yang baru keluar dari tempat pemanggangan menggoda selera pengguna jalan untuk mampir dan mencicipinya. Tak heran, Dusun Kaliabu, Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman merupakan sentra home indutri kue lapis legit di DIY.

“Kami selalu memanggangnya dengan arang, bukan di atas kompor gas,” kata Bambang Kriswanto (44), salah satu pemilik toko kue lapis legit “Pak Joyo Roti” saat dijumpai Tempo, Jumat (12/6/2009).

 Pemanggangan kue lapis legit dengan menggunakan arang merupakan ciri khas tersendiri yang dilakukan para pengusaha kue lapis legit di Kaliabu. Itu sudah dilakukan secara turun-temurun semenjak Mardi Suwarno, pendiri dan cikal bakal usaha kue lapis legit di Kaliabu masih hidup. Tak heran, program konversi minyak tanah menjadi gas dari pemerintah tak menyentuh para pengusaha kue lapis legit itu.

 “Kita nggak bisa pakai gas, aromanya akan lain. Kata pelanggan sih, serasa bau gas,” kata Bambang yang merupakan anak sulung Mardi Suwarno sekaligus penerus usaha tersebut menirukan ucapan pelanggannya.

 Modernisasi peralatan, seperti kompor gas, kompor listrik, maupun oven alias pemanggang roti yang dilengkapi dengan pengatur temperatur tak menggoyahkan keteguhan hati pengusaha lapis legit di sana untuk pindah ke lain hati. Pemanggang roti dari lembaran alumunium anti karat berbentuk kotak segi empat buatan sendiri pun masih diopeni. Ukurannya cukup besar, sekitar 1 meter x 0,5 meter. Bentuknya unik. Kotak panjang itu terdiri satu pintu. Sebanyak dua nampan besar yang masing-masing memuat enam kotak loyang berisi adonan lepis legit itu dimasukkan ke dalam pemanggangan. Sementara itu, di bagian atas pemanggangan ada cekungan berbentuk kotak pula sebagai tempat meletakkan arang-arang yang berubah warna menjadi putih, namun menyengat karena penuh bara api. Paling tidak, sebanyak 8 kilogram arang dibutuhkan setiap harinya. Dari sanalah, perapian dibuat. Dari sana pula, penyebab adonan lapis legit matang selama 30 menit kemudian.

 
foto: pitogoestin
Seperti yang dilakukan salah satu pekerja di tempat usaha milik Bambang. Loyang-loyang kecil berukuran sekitar 20 centimeter x 20 centimeter itu diisinya dengan adonan setebal sekitar satu centimeter. Lalu dimasukkan ke dalam pemanggangan. Satu menit kemudian, loyang-loyang itu dikeluarkan. Warna adonan yang semula putih dan lembek telah berubah menjadi cokelat dan padat. Dilapisinya lagi adonan setengah matang itu dengan adonan lagi, lalu dimasukkan kembali ke dalam oven tradiosional itu. Begitulah seterusnya, hingga adonan menjadi kue matang yang berbentuk lapisan-lapisan putih dan cokelat. 

Kesederhanaan tak hanya dijumpai pada alat pemanggang maupun proses pemanggangannya. Pun adonan diolah secara manual, tanpa menggunakan mixer. Adonannya pun sederhana, seperti adonan kue-kue pada umunya. Untuk mendapatkan 12 kotak kue membutuhkan 12 ons tepung, 1 kaleng susu, 2 kilogram margarin, 2 kilogram gula pasir, 5 kilogram telur ayam, serta setengah butter cream. 

“Yang bikin rasanya legit itu, ya bumbunya,” kata Bambang.

Bumbu yang dicampur dalam adonan kue itu berupa cengkeh, kapulaga, juga kayu manis. Tak ada zat pengawet yang dicampurkan dalam kue adonanya. Tak heran pula, jika kue lapis legit itu hanya tahan selama tiga hari.

“Dulu pernah dicoba pakai pengembang kue, tapi hasilnya tak memuaskan, meski tahan lama,” kenang Bambang.

 Dengan alasan tanpa pengawet itu pula, usaha industri lapis legit itu hanya dipasarkan di rumah si pengusaha atau di toko yang didirikannya. Tak ada yang mencoba memasarkannya ke luar kota maupun dititipkan ke toko-toko lain.

 Di sisi lain, Bambang pun tak mematok resep andalannya sebagai harga mati. Pelanggan yang menginginkan memakai pengembang roti pun dilayani. Jadilah kue lapis legit produksinya dijual menjadi tiga macam rasa mulai ukuran kecil, sedang, dan besar. Untuk adonan biasa mulai harga Rp 14.000 per kotak. Disusul adonan spesial lantaran menggunakan jumlah margarin lebih banyak seharga Rp 19.000. Kemudian untuk adonan istimewa adalah yang menggunakan rum butter dengan harga Rp 56.000. Khusus kue lapis legit rasa spesial dan istimewa harus dipesan terlebih dahulu.

 “Kalau hari biasa ya, cukup dua tiga kali olahan. Kalau liburan atau lebaran, bisa habis dua karung tepung,” kata Bambang.

 Keramaian pelanggan pada hari-hari tertentu juga dirasakan Erna, salah satu penjaga toko kue lapis legit “Pak Kendar”. Khususnya pada bulan Besar atau penuh gelaran hajatan, seperti perkawinan maupun khitanan, banyak yang datang memesan. Pada saat-saat itulah, pekerja di tempat usahanya rela tak menutup mata sedari pukul 01.00 malam. Lantaran banyak pelanggan yang memesan kue dalam jumlah banyak dan diambil pagi hari.

 “Jadi memang bisa pesan sewaktu-waktu,” kata Erna.

 Berbeda dengan hari biasa yang bisa mulai mengolah adonan kala matahari telah terbit. Omzetnya pun rata-rata berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 900.000 per harinya. Tak heran, kala sepi datang, lemari-lemari kayu berlapis kaca tempat meletakkan kue lapis legit terlihat melompong.

 Krisis ekonomui ternyata berdampak bagi para pengusaha roti  Kaliabu. Lantaran harga bahan baku seperti telur, margarin, terigu, juga minyak turut naik. Meski pun, diakui Bambang, dampaknya terlalu signifikan. Hanya saja, untuk menyeimbangkan antara pemasukan dengan pengeluaran dengan cara menaikkan harga kue, diakui Bambang sulit dilakukan. Sedari mulai meneruskan usaha ayahnya pada 2000 hingga sekarang, harga yang dipatok mulai Rp 12.000 saat itu hingga Rp 14.000 saat ini. 

     "Tidak berani menaikkan harga, nanti pelanggan resah," kata Bambang. (PITO AGUSTIN RUDIANA)

 

 

Dari Satu ‘Beranak’ Jadi 15


foto: pitogoestin
Sentra industri kue lapis legit di Kaliabu tak lepas dari kepiawaian almarhum Mardi Suwarno, sang pendiri kali pertama di sana. Keahliannya berawal dari pekerjaannya sebagai mantan karyawan toko roti “Mataram” di kawasan Malioboro sekitar 1970-an. Menurut cerita anak sulungnya, Bambang Kriswanto, ayahnya itu pernah disangoni peralatan membuat kue oleh majikannya untuk dibawa pulang. Alhasil, selain bekerja pada majikan, Mardi juga mengolah kue untuk dijual sendiri. Lama kelamaan, karena jumlah pelanggannya kian bertambah, Mardi pun berhenti bekerja dan mulai serius dengan usaha di rumahnya. Berdirilah toko “Pak Joyo Roti” yang kemudian diteruskan oleh tiga anaknya, yakni Bambang, Maryono, juga Ipah. Lainnya adalah pengusaha lain yang merupakan teman, kerabat, juga tetangga Mardi. (PITO AGUSTIN RUDIANA)

Rabu, 15 April 2009

Klangenan Pasar Kotagede

Tiang Pancang dari Rel Kereta Api

foto: pitogoestin
WAJAH pasar sebagai pusat perekonomian serasa tak lekang tergambar di Pasar Legi Kotagede. Pasalnya, perputaran roda dari waktu ke waktu tak membuat pasar tradisional di Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta itu mati. Sedari pagi hingga kembali ke pagi lagi, pasar itu tetap meriakkan tanda-tanda kehidupan. 
“Pasar Kotagede itu dua puluh empat jam,” kata Rustandi, pedagang sembilan bahan pokok (sembako) yang berjualan di sana sejak 1974 kepada Tempo, Rabu (15/4/2009). 
Kehidupan yang tak surut itu bisa dilihat sejak kedatangan bakul-bakul sayuran di pasar peninggalan kerajaan Mataram. Mereka datang seiring mobil-mobil bak terbuka yang mengangkut aneka jenis sayuran dari berbagai daerah pada pukul 02.00 WIB. Aktivitas jual beli pun berlanjut hingga pukul 12.00 WIB siang. 
Di dalam pasar pun tersebar berbagai macam jenis barang tradisional yang ditawarkan dan dijual. Meski masih terlihat acak, pembeli tak begitu sulit menemukan barang-barang yang dicarinya. Semisal, di bangunan ujung selatan adalah tempat dijualnya berkarung-karung arang. Kondisi yang terlihat kumuh pun terlihat di arena penjualan bahan bakar yang masih banyak dipergunkan masyarakat Kotagede itu. Menyisir ke arah utara mulai dijual bumbu pasar dan sayuran. Tak ketinggalan los daging yang menempati bangunan tersendiri di tengah pasar. Kemudian aneka perkakas dapur, mulai dari besek, tampah, tusuk sate, dan sebagainya dijual di sisi timur. Juga sembilan bahan pokok (sembako) dan perhiasan emas yang banyak disediakan di kios-kios pasar yang melingkar di sisi luar dari utara ke barat. Sedangkan pakaian, sepatu, sandal dijual di sisi luar pasar sebelah timur. 
Pergantian waktu pun mengiringi pergeseran jenis barang yang dijual. Meski kios-kios masih buka seiring lorong di dalam pasar kian sepi, keramaian bergeser ke pelataran pasar di sisi utara dan barat. Aneka jenis sayuran dan bahan mentah makanan lainnya yang dijual pagi hari telah berubah menjadi bermacam-macam makanan jadi untuk dijual sore hari. Para pedagang menjualnya dengan gerobak dorong. Ada gerobak isi klepon dan getuk, ada gerobak gorengan, gerobak gudeg, dan sebagainya. Jika menginginkan lauk dan sayur untuk teman makan malam hari pun disediakan mbok-mbok bakul pecel, gudangan, juga cap jay. Atau merindukan jajanan tradisonal serupa ketela rebus, singkong rebus, pisang rebus, kacang rebus, gatot, tiwul, gerontol, juga entok-entok (jajanan dari jagung yang ditumbuk dan dicetak bulat-bulat), tersedia pula. 
“Harganya murah dan banyak. Beli gatot dan tiwul Rp 1.000 nggak habis, bisa dibagi tiga bungkus,” kata Mohammad Natsir, warga asli Kotagede yang menjadi Ketua Yayasan “Kantil”, lembaga pengembangan sni budaya Kotagede. 
Tak ketinggalan jajanan-jajanan pasar yang menempati lapak-lapak di sudut barat laut yang menyediakan arem-arem, putu ayu, wajik, lemper, juga kipo dari kata “iki opo”, makanan khas Kotagede. 
“Kalau hari biasa, kami buat 250-an bungkus, kalau hari minggu sampai 500-an,” kata Amanah, penjual kipo yang meneruskan usaha neneknya, Jito yang hidup semasa penjajahan Jepang. Harganya pun murah, sebungkus Rp 500 yang berisi lima biji. 
Sekitar pukul 21.00 WIB ke atas, jenis makanan yang ditawarkan pun berubah, mengikuti selera pembeli malam hari. Sebutlah aneka wedang, seperti wedang ronde yang dijual Rp 2.500 per mangkuk, juga wedang kunir asem Rp 1.500. Tak lupa angkringan yang menyediakan nasi kucing beserta lauknya. Tak sekedar datang mampir ngombe, pelataran pasar pun dijadikan ajang ngobrol aneka topik. Diterangi nyala lampu dengan stop kontak yang dipasang di pepohonan depan pasar dengan kabel yang berseliweran di atasnya. Kehangatan sajian malam itu akan menemani hingga para bakul sayur kembali berdatangan. 
“Makanya, kami berencana menjadikan pasar Kotagede sebagai wisata kuliner malam hari,” kata Natsir yang mengaku tengah melakukan pembahasan dengan beberapa pihak yang peduli untuk merealisasikan rencana itu. 
Rencana tersebut tak lebih dari sebuah upaya untuk menegaskan kembali pasar tradisional tersebut, tak hanya sebagai pusat ekonomi, namun juga pusat peradaban Kotagede. Mengingat Kotagede sendiri menjadi kawasan yang sempat ‘hilang’ sejak keraton berpindah dari Kotagede ke Pleret, kemudian ke Kartasura dan ke Surakarta. Jenis-jenis barang dan makanan yang dijual cukup mencerminkan peradaban masyarakat yang mendiami kawasan tersebut. Begitu pula aktivitas dan karakter masyarakat di dalamnya. Terbukti, papan bertuliskan “Pasare resik, atine becik, rezekine apik” tertempel di beberapa bagian dinding pasar. Meskipun kondisi pasar yang kumuh, kotor, dan bau masih terlihat di beberapa sudut pasar. 
“Kita lupa, bahkan mengabaikan bahwa Pasar Kotagede ini situs sejarah,” tandas Natsir.

foto: pitogoestin
Sisa-sisa peninggalan sejarah itu bisa dilihat dari empat bangunan di sana. Bangunan pasar itu sendiri yang lokasinya di sebelah utara alun-alun Kerajaan Mataram. Ada monumen atau tugu peringatan jumenengan Sultan Hamengku Buwono IX yang dibuat masyarakat setempat tertanggal 18 Maret 1940 yang terletak di sisi timur laut pasar dengan aksara Jawa. Kemudian gardu listrik (aniem) peninggalan pemerintah kolonial Belanda di sisi barat laut dan monumen jumenengan Paku Buwono X.
 
Upaya yang telah dilakukan antara lain mengembalikan bentuk bangunan pasar, monumen, serta gardu listrik seperti asalnya berbekal dokumentasi foto pribadi tahun 1971. Menurut Natsir, gempa 2006 yang merobohkan bangunan bagian depan pasar dan tugu monumen itu menjadi kesempatan untuk melakukan konservasi bangunan cagar budaya itu seperti sedia kala. Dari sanalah, Natsir mengaku diingatkan. Bahwa bangunan pasar tradisional itu menggunakan konstruksi dari rel kereta api yang terbuat dari baja. Konstruksi-konstruksi tersebut masih terlihat pada langit-langit atap bagian dalam bangunan, maupun kosntruksi los-los pasar di dalamnya. Hal tersebut dibenarkan Rustandi yang menilai besi-besi baja itu adalah peninggalan Belanda. 
“Kami diingatkan, bahwa konstruksi dari rel kereta api itu keunikan pasar Kotagede,” kata Natsir. 
Kini, wajah pasar itu kembali ke bentuk lama. Termasuk menghilangkan pagar pembatas dari kawat berduri, sehingga tak ada lagi sekat-sekat antara pasar dengan manusia di sekitarnya. Meskipun, diakui Natsir, proses konservasi itu membutuhkan waktu yang tak sedikit. 
“Minimal 20 tahun,” kata Natsir. (PITO AGUSTIN RUDIANA)
 
   
Kini Disebut Pasar Legi Kotagede
 
Saat Ki Ageng Pemanahan atau kakek buyut Sultan Agung Hanyakrakusuma melakukan babat alas Mentaok, yang kemudian menjadi cikal bakal Kotagede, pasar menjadi bangunan pertama yang dibangun sebagai pusat ekonomi seiring bangunan rumah-rumah warga di sebelah utara pasar. Baru kemudian menyusul bangunan keraton, alun-alun di selatan pasar, dan masjid. Begitulah konsep catur gatra yang menjadi ciri khas bangunan keraton Hindu kuno, termasuk Kerajaan Mataram.
foto: pitogoestin
Laiknya pasar-pasar tradisional lainnya, pasar Kotagede mempunyai puncak keramaian sendiri, yakni tiap pasaran Legi hingga kini. Dengan alasan itu pula, Muhammad Natsir bersikukuh mengubah nama Pasar Kotagede menjadi Pasar Legi Kotagede pascagempa 2006 lalu. Sekaligus untuk membedakan dengan Pasar Gede dan Pasar Legi di Surakarta yang mempunyai usia historis jauh lebih muda ketimbang Pasar Legi Kotagede. Nama itu pula yang kini menghiasi atap depan pasar yang tengah memasuki tahap konservasi bangunan cagar budaya. Apalagi, Sultan Agung sebagai Raja Mataram ketiga (1612-1645) merupakan sosok penemu penanggalan Jawa. 
“Jadi Legi bukan sekedar pasaran, tapi konsep pemerataan ekonomi,” tandas Natsir.
Pemerataan ekonomi terlihat lantaran untuk pasaran selain Legi, keramaian bergeser ke pasar-pasar tradisional lainnya. Sayangnya, konsep itu mulai bergeser pada prinsip kapitalisme untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, tanpa mau berbagi dengan yang lain. Terbukti, saat pasaran Legi tiba, masih banyak pedagang yang berjualan di luar kawasan pasar. Padahal pasar adalah kawasan yang menjadi hak bagi pedagang untuk berjualan, pun ketika hari pasarannya tiba. (PITO AGUSTIN RUDIANA)