Rabu, 26 November 2008

Klangenan Ki Hadjar Dewantara

Rumah Ki Hadjar pun Dimuseumkan 

foto: pitogoestin

BANGUNAN rumah nan asri itu berada satu komplek Yayasan Persatuan Taman Siswa di Jalan Taman Siswa Kota Yogyakarta. Siapapun bisa langsung menjumpainya saat masuk lewat gerbang utara, karena rumah mungil itu berada di sisi utara. Semua daun pintu dan jendela yang memanjang – arsitektur khas ala Belanda – itu dibiarkan terbuka. Seolah-olah senantiasa siap menerima persinggahan siapapun yang datang ke sana. Hanya sesekali daun pintu bagian selatan terhempas karena dorongan angin yang terkadang bertiup cukup kencang. Namun tiada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah maupun seputaran teras yang diteduhkan dedaunan dari dua pohon kembang kamboja di halaman yang sudah dimakan usia. Setua rumah mungil peninggalan Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara yang telah beralih fungsi menjadi museum. 
“Biar nggak lembab, makanya diangin-anginkan,” kata Sri Muryani (44), salah satu pengelola perpustakaan dan Museum “Dewantara Kirti Griya (rumah yang berisi hasil kerja Ki Hadjar Dewantara)” saat ditemui Tempo, Rabu (26/11/2008) lalu, mengomentari daun-daun jendela dan pintu yang dibiarkan dibuka. 

Begitulah cara murah dan praktis yang dilakukannya. Mengingat biaya perawatan atas barang-barang koleksi di dalam museum tiadalah sedikit. Sebuah persoalan klise yang hampir dialami semua museum di Indonesia. 
“Untuk biaya perawatan barang-barang koleksi saja butuh sekitar Rp 50-an juta,” kata Muryani. Padahal, jika hanya mengandalkan tiket masuk dari pengunjung saban tahunnya, tiada cukup. Sebutlah. Biaya masuk bagi pelajar Rp 1.000, mahasiswa atau umum sejumlah Rp 2.000, dan bagi wisatawan mancanegara sebesar Rp 5.000 yang semuanya per kepala. Itu pun tak setiap hari ada pengunjung yang datang. Biasanya pada hari libur sekolah. Pengunjung kebanyakan pun para pelajar dari sekolah-sekolah di luar Yogyakarta. Sedangkan berdasarkan data yang dimilikinya, pada 2006 ada 3.758 orang pengunjung, pada 2007 ada 4.768 orang, dan pada 2008 meningkat menjadi 5.046 orang.

“Tahun ini, pemerintah provinsi memberi bantuan alat perawatan,” bebernya, seperti vacuum clenaner, tabung pemadam kebakaran, juga obat-obatan. Padahal, koleksi buku-buku, majalah, juga koran yang usianya sudah berpuluh tahun dalam museum itu membutuhkan perawatan khusus. Seperti fumigasi yang biayanya sangatlah mahal.
“Biasanya kita pakai dana dari biaya masuk pengunjung. Itu pun dipakai bergantian,” terangnya. Semisal, tahun ini untuk fumigasi, tahun depan untuk membeli obat-obatan perawatan lain, tahun berikutnya untuk biaya perawatan bangunan, dan sebagainya.

foto: pitogoestin
Tak hanya rumah hunian peninggalan Ki Hadjar saja yang dimuseumkan. Melainkan juga sebuah Pendapa Agung Taman Siswa – yang merupakan Monumen Persatuan Taman Siswa – yang terletak di tengah halaman komplek. Bedanya, pendapa itu selalu riuh oleh celoteh para pelajar yang tengah rehat di sana. Untuk berlatih tari, teater, berdeklamasi, karate, bahkan untuk tempat pertemuan terbuka. Bahkan menjelang siang, satu dua masyarakat umum menggunakannya untuk istirahat. Semilir angin yang sepoi-sepoi menyejukkan siapa saja yang beristirahat di sana. Di sanalah tempat murid-murid Ki Hadjar menimba ilmu.

“Makanya, tak ada yang tak mengesankan dari sepak terjang Ki Hadjar,” komentar Suratmi (89) – istri mendiang dosen dan pakar hukum adat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Iman Sudiyat – yang merupakan mantan murid Ki Hadjar pada 1937-1939 yang siang lalu sempat singgah sebentar.

Berbeda dengan suasana di rumah Ki Hadjar yang sunyi. Namun kesunyiannya tak menimbulkan rasa ngeri, justru ada rasa nyaman saat berada di rumah seluas 300 meter persegi di atas tanah seluas 2.720 meter persegi itu. Awalnya, rumah itu milik Mas Ajeng Ramsinah – istri orang Belanda – yang kemudian dibeli Ki Hadjar bersama dengan Ki Sudarminto dan Ki Supratolo yang merupakan pamong Taman Siswa pula pada 14 Agustus 1935. Baru pada 16 November 1938, rumah itu resmi dihuni Ki Hadjar bertepatan dengan peresmian Pendapa Agung Taman Siswa. Konon bangunan bergaya klasik kolonial itu dibangu pada 1925. Berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.25/PW.007/MKP/2007 tertanggal 26 Maret 2007, baik rumah maupun pendapa tersebut ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.

“Ki Hadjar pula yang menginginkan rumahnya dimuseumkan,” terangnya. Permintaan itu disampaikannya pada Rapat Pamong Tamansiswa pada 1958. Rumah mungil itu dilengkapi dengan teras kecil dengan empat kursi kayu model kuno di atasnya yang menyambut siapa pun yang tiba. 
“Dari sini (sambil menunjuk kursi di teras), Ki Hadjar memperhatikan siswa-siswanya yang ada di pendapa,” kata Mujiono (67), salah satu pengelola yang lain. Sebelum masuk ke ruang keluarga, pengunjung akan diajak memasuki kamar pribadi Ki Hadjar yang terletak di sisi barat banguna bagian depan. Ada sebuah tempat tidur kecil yang cukup untuk satu orang lengkap dengan kelambunya, juga tiga buah tongkat penyangga dari kayu koleksi Ki Hadjar. Tak ketinggalan meja kecil dengan mesin ketik kuno dan kotak kaca berisi sisir, juga bekas sabun mandi Ki Hadjar yang terlihat berwarna kecoklatan dan telah mengeras.
 
Kamar tidur itu berbatasan dengan ruang tamu yang berada di utaranya dengan pintu ruang tamu menghadap ke barat. Itu adalah satu-satunya daun pintu yang tak dibuka karena langsung menghadap ke jalan raya. Selain seperangkat meja dan kursi kayu kuno, juga ada telepon kuno buatan Pabrik Kellog Swedia pada 1927. Untuk menggunakannya pada zaman itu, penelepon harus memutar tuas lalu mendekatkan corong telepon pada telinga yang terpisah dari corong bagian mulut.

Di sebelah timur ruang tamu adalah kamar tidur Nyi Hadjar Dewantara. Tak jauh beda, tempat tidurnya juga dilengkapi kelambu dan berseprei putih. Serta lemari besar yang berisi aneka perabot rumah tangga seperti piring, gelas, dan guci dari keramik.
“Baik Ki Hadjar maupun Nyi Hadjar adalah keturunan Paku Alam III Kanjeng Gusti Pangeran Harjo Soerjo Sasraningrat. Jadi masih sepupu,” terang Mujiono.

Berdasarkan silsilah yang juga terpampang di sana, ayah Ki Hadjar yang mempunyai nama kecil Raden Mas Soewardi Suryaningrat adalah putra ke delapan dari PA III. Sedangkan Raden Ajeng Soetartinah atau Nyi Hadjar adalah putri dari putra ke 13 dari PA III.
Sementara itu, ruang keluarga didesain memanjang dan lebih luas dibanding ruangan lainnya. Ada sebuah kursi goyang kayu kuno lengkap dengan meja beralas keramik di sana. Di atasnya ada sebuah cangkir kuno. “Dari sini, Ki Hadjar memperhatikan putra-putrinya belajar,” kata Mujiono. Sedangkan keenam putra Ki Hadjar belajar lesehan di atas lantai dari tegel.

foto: pitogoestin
Buku-buku koleksi Ki Hadjar tertata rapi di rak-rak buku yang ditutup kaca. Warna kusam menandai betapa kunonya buku-buku itu. Juga ada piano yang digunakan Ki Hadjar untuk menciptakan nada-nada dalam gamelan Jawa yang disebutnya sistem nana Sariswara. Tak ketinggalan pula aneka piagam penghargaan yang diterima Ki Hadjar yang dipigura dan dipasang di dinding. 

Bangunan kuno itu, menurut Mujiono, belum pernah dipugar. Lantaran banguna tersebut dilindungi negara karena termasuk bangunan cagar budaya. Hanya saja, beberapa bagian banguna sempat diganti karena lapuk. Seperti langit-langit rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Juga sedikit perbaikan pada dinding bangunan yang sempat retak karena goncangan gempa pada Mei 2006 lalu. (PITO AGUSTIN RUDIANA)