Rabu, 26 Agustus 2009

Klangenan Museum Batik

Batik-batik Kuno Dalam Gelap

foto: pitogoestin
RUANGAN yang cukup luas itu terihat sempit. Lantaran suasananya yang gelap tanpa ada lampu penerangan sedikitpun. Jendela-jendela kayu yang ada di dalam ruangan itu pun ditutup rapat, seolah sengaja untuk menghalau sinar apapun yang masuk ke dalamnya. Hanya seberkas sinar matahari yang menerobos masuk melalui pintu utama Museum Batik Yogyakarta yang berlapis kaca. Sementara itu, kain-kain batik aneka corak yang jumlahnya sekitar 500-an lembar itu seolah dibiarkan berdiam di sana dalam gelap dan sepi. 
“Ini adalah salah satu upaya menjaga agar kain-kain batik itu tahan lama,” kata Prayoga, kurator batik yang sehari-hari bekerja di museum batik itu, 26 Agustus 2009.
  Menurut Prayoga, faktor suhu dan cahaya sangat berpengaruh dalam perawatan batik. Tidak boleh terkena cahaya langsung dan dijauhkan dari kelembapan adalah syarat utama agar batik awet dan warnanya tak lekas pudar. Cara menyimpannya pun harus hati-hati. Kain-kain batik itu dilipat dengan lebar sekitar setengah meter, kemudian dihamparkan pada selembar papan, lalu dibungkus dengan plastik tebal transparan. Setiap tiga bulan sekali, kain-kain yang dipajang dalam posisi berdiri itu diberi akar wangi yang diletakkan di sela-sela kain agar kain terhindar dari aneka binatang perusak dan tetap wangi.
  Maklumlah, kain-kain batik yang disimpan di sana bukanlah kain-kain batik sembarang batik. Kain-kain batik yang disimpan adalah yang mempunyai usia tua, sehingga corak-corak batiknya pun klasik. Tertua adalah batik pada zaman kerajaan Jawa-Hindu yang dibuat pada 1212. Mayoritas adalah batik-batik tulis Jawa yang asalnya beragam, yakni meliputi kawasan di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagian Jawa Barat, Jawa Timur, dan Madura.
  Secara garis besar, jenis batik yang disimpan di sana terbagi menjadi dua jenis, yakni batik keratonan, seperti batik Solo dan Yogyakarta serta batik pesisiran yang meliputi batik Cirebon, Pekalongan, hingga Madura.
  Perbedaan jenis keduanya terletak pada warnanya. Warna pada batik keratonan cenderung didominasi cokelat sogan. Lantaran ada empat warna dasar pada jenis batik yang murni dibuat dengan menggunakan alat berupa canting itu, yakni warna biru, putih, hitam, dan sogan. Perpaduan warna-warna itu yang kemudian menjadi ciri khas warna batik keratonan.
  Sebut saja, sarung panjang Soga Jawa yang bercorak boketan adu jago berdasar polos yang berwarna soga jawa, hitam, dan putih. Batik yang dibuat dengan teknik batik tulis sedang itu berasal dari Yogyakarta yang dibuat Nyonya Lie Djing Kiem antara 1920-1930. Ada pula kain panjang Soga Jawa asal Klaten, Jawa Tengah pada 1950-1960. Kain batik berpola loreng besar curigo dan pari sewuri itu dibuat dengan teknik batik tulis sedang. Begitu pun dengan kain panjang Soga Kuning asal Surakarta pada 1960-1970 yang dibuat dengan teknik batik tulis sedang. Batik tersebut mengambil corak ceplok kembang terompet berlatar belakang mukti luhur berseling.
  Sedangkan warna batik pesisir cerah dan dekoratif. Seperti ada warna merah, hijau, dan sebagainya.
  “Sehingga tidak hanya pakai canting, tapi juga colet (semacam kuas),” kata Prayoga.
  Seperti sarung Isen-isen Antik yang bercorak boketan isen-isen dengan dasar galar berseling halus dan terlihat unik. Batik berwarna kombinasi biru tom, kuning kayu, dan hijau itu dibuat dengan teknik batik tulis halus cecek jarum yang berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah pada 1880-1890.
  “Kelangkaannya ditandai dengan warna batik yang biru tua, cokelat, hitam, atau putih,” kata Prayoga yang menceritakan cara membedakan batik-batik kuno dan modern.
  Begitu pula dengan coraknya yang terlihat menggambarkan sesuatu benda yang imajinatif. Semisal, lukisan burung dalam kain batik kuno tidak bisa ditebak secara pasti jenis burung yang dimaksud, lantaran khayalan. Bahkan pada corak batik buatan zaman Jawa-Hindu berbeda dengan pada zaman Islam. Pada zaman Jawa-Hindu, gambar burung pada batik terlihat utuh. Namun pada zaman Islam hanya terdiri potongan-potongan dari bagian-bagian struktur tubuh burung.
  “Karena ada keyakinan, bahwa agama Islam melarang menggambar makhluk hidup,” kata Prayoga.
  Sedangkan kain-kain batik modern terlihat dinamis, baik warnanya yang cerah maupun corak-coraknya yang merupakan hasil modifikasi motif-motif batik kuno. Tak heran, jika perburuan kain-kain batik tua dan langka itu cukup sulit. Adalah Raden Nganten (RNgt) Dewi Sukaningsih (79), pemilik museum yang disebutnya museum batik tertua di Indonesia itu yang resmi berdiri pada 1979. Dewi menuturkan, awalnya koleksi museum merupakan batik-batik peninggalan neneknya Sie Kee Hok dan ibunya Lusyana Ong. Keduanya biasa membeli kain-kain batik kuno di tempat-tempat yang disinggahinya. Saat itu, jumlahnya hanya sekitar 30-40 lembar. Lantaran wasiat ibunya untuk merawat dan melestarikan batik-batik kuno itu, maka Dewi mendirikan museum tersebut. 
  Untuk menambah jumlah koleksi, Dewi mengumpulkannya dari batik milik saudara-saudaranya. Ada yang boleh diminta, ada pula yang harus membeli. Begitu pun dengan orang-orang yang sengaja datang kepada Dewi untuk menjual kain-kain batik peninggalan leluhurnya. Saat itu, Dewi membelinya seharga Rp 100.000 hingga Rp Rp 300.000.
  “Syaratnya harus langka, kalau nggak ya, nggak saya koleksi,” kata Dewi.
  Lantaran spesifikasi jenis batik langka, kuno, dan klasik saja yang disimpannya, akhirnya mengundang banyak kolektor batik datang untuk membelinya. Namun Dewi tegas menolak.
  “Apa artinya museum, kalau yang tua hilang,” kata Dewi.
  Tak heran, Dewi yang juga mahir membatik dan mendirikan tempat kursus membatik itu tidak menyimpan aneka batik modern. Begitu pun batik-batik buatannya. Alasannya, karena usia batik belumlah tua. (PITO AGUSTIN RUDIANA)
 

Baju Brokrat Bu Tien Terlihat Transparan

TERNYATA tak hanya mengoleksi batik, Raden Nganten Dewi Sukaningsih juga mengoleksi sekitar 50-an sulaman yang dimuseumkan satu tempat di museum batiknya. Sulaman-sulaman buatan tangannya sendiri itu pun meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MuRI) lantaran satu-satunya museum sulaman yang ada di Indonesia. Dewi memulai menyulam saat harus menunggui suaminya, Hadi Nugroho yang tergolek karena stroke pada 1980.
Uniknya, motif sulamannya bukan berdasarkan dari gambar-gambar motif sulaman yang beredar di pasaran. Melainkan diambilnya dari aneka lukisan maupun foto yang dimilikinya. Sehingga Dewi akan membuat sketsa pada kain sulamnya sebelum menyulam.
“Kalau ada yang tanya, motif-motif sulaman saya apa, ya saya jawab motif acak, karena memang acak-acakan,” kata Dewi.
foto: pitogoestin
Semisal, dia membuat sulaman dari lukisan Kebangkitan Yesus Kristus yang diselesaikannya selama 1,5 tahun. Ataupun sulaman dari lukisan penyaliban Yesus Kristus yang dirampungkan selama 3,5 tahun karena cukup panjang.
  Kebanyakan adalah sulaman yang diambilnya dari foto-foto tokoh maupun keluarganya. Antara lain foto Presiden RI  Soekarno dan Soeharto, Presiden AS Ronald Reagen, Presiden Philipina Corazon Aquino, juga foto Siti Hartinah Soeharto dan Hamengku Buwono IX. Hasil sulamannya terlihat hidup seperti gambar aslinya. Seperti sulaman sosok Bu Tien yang terlihat menggunakan baju brokat dan terlihat transparan hingga kulit punggung lengannya kelihatan. Atau sulaman sosok Aquino yang bisa menunjukkan kebeningan kacamata yang dipakainya. Juga foto sosok HB IX yang diperoleh Dewi seminggu sebelum HB IX wafat yang menunjukkan kerut-kerut kulit wajahnya. Mengapa sulamannya terlihat hidup?
  “Karena dibuat dengan perasaan, mood-nya pas baik,” kata Dewi yang memajang kerajinan tangannya itu pada pigura berlapis kaca di dinding museumnya. (PITO AGUSTIN RUDIANA)

Rabu, 19 Agustus 2009

Seni The Power of Dream

Instalasi Impian Sang Perupa

foto: pitogoestin
 Saat mata lelah ingin terkatup, badan penat ingin rebah terbaring, kehadiran sebuah bantal bisa menjadi obat meski sekejap. Pun tak peduli saat melihat bantal warna merah muda yang seolah siap mengantar si empunya untuk bermimpi dengan romantis itu ternyata tergeletak di atas sebuah jebakan tikus berbentuk segi empat. Seolah ada pesan yang tersirat. Tergiur untuk berbaring, silahkan saja. Namun jangan menyesal jika saat terbangun tak bisa bermimpi lagi. “Sebuah Umpan”, demikian karya tiga dimensi dari fiberglass yang diolah Purwanto. Pemuda kelahiran Gunungkidul 28 tahun lalu itu pun mengakui, bahwa rintang hidup tak selamanya terlihat menyakitkan, karena bisa menjadi godaan yang terlihat nikmat dan nyaman.

“Saya sebenarnya dihadapkan pada sesuatu yang menjanjikan kemewahan mimpi, tapi sebenarnya bukan target yang ingin saya capai,” kata Purwanto.
 Keresahan akan alam mimpi yang banyak memberikan janji juga dirasakan Achmad Basuki. Lulusan Universitas Negeri Semarang Jurusan Seni Rupa itu mencurahkan isi hatinya soal impiannya untuk segera berkeluarga. Maklumlah, usianya sudah 34 tahun. Sebuah media instalasi seperti robot -- lantaran mempunyai sepasang tangan dan kaki dari stainless– dihadirkannya untuk mewakili impian yang dianggap cukup menghantuinya. Lihatlah tubuh robot yang berbentuk seperti hati dari resin dan berwarna merah. Di dalamnya, bersekat kaca acrilyc, sosok perempuan berkerudung terlihat duduk sembari memandang keluar.

 “Saya ingin mempunyai istri yang solekhah, itu sebuah awalan,” kata Achmad Basuki dalam karyanya “Berkeluarga”.

 Kelengkapan sebuah keluarga yang diimpikannya pun kian lengkap jika pernak-pernik di atas kedua telapak tangan si robot terpenuhi. Di atas telapak tangan kirinya berdiri miniatu rumah, di tangan kanannya sebuah boneka berbentuk anak laki-laki tengah memandang ke atas.

foto: pitogoestin
Namun, “The Power of Dream”, sebagaimana tema besar dari pameran kompetisi yang disajikan dalam Tujuh Bintang Art Award 2009 di Jogja National Museum pada 15-30 Agustus 2009 itu, diakui Roni Ammer sebagai lika-liku hidup laiknya permainan ular tangga dengan manusia sebagai bidaknya. Ada kekuatan mimpi yang menjadikan seseorang berhasil sehingga bisa mendaki tangga kehidupan untuk hidup senang dan penuh kenikmatan. Seperti tabiat orang yang berhemat menggunakan air, maka hidupnya akan meningkat menjadi seorang konglomerat. Pun laki-laki yang rajin berolah raga, kelak tubuhnya akan terbentuk bagus dan menjadi laki-lai metroseksual. Ada pula kekuatan mimpi yang justru meninabobokkannya untuk terpeleset jatuh dalam pusaran kepahitan hidup yang gelap dan menyakitkan. Seperti saat manusia mengkonsumsi narkoba, maka kematian yang akan menjemputnya. Ataupun ketika seseorang menjadi tikus koruptor, maka hukuman pengadilanlah urusannya. Simaklah karya Roni Ammer, seniman muda dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang berjudul “The Winner” yang menggambarkan papan permainan ular tangga. Jika bisa memenangkan permainan, maka seseorang itulah yang layak disebut The Winner.

 Namun dari 59 karya yang dipamerkan, hanya satu impian seniman yang menggelitik ketertarikan alumnus mahasiswa Seni Pertunjukkan ISI Yogyakarta, Jamiatut Tarwiyah. Karya perpaduan dua dimensi dan tiga dimensi yang dibuat dari bahan acrylic dan rotan di atas kanvas berdiameter 150 centimeter, “Menyudut” karya Made Wiguna Valasara, seniman asal Sukawati, Bali, dinilainya sebagai konsistensi sang seniman dalam mengeksplorasi gagasannya tentang lingkungan.

 “Made Wiguna konsisten membuat karya dengan menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan,” kata Jamiatut.

 Karya itu menggambarkan bola bumi yang penuh sesak oleh kesemrawutan yang digambarkan dengan bilah-bilah rotan yang saling tumpuk, saling tindih tak beraturan. Bilah-bilah rotan itu bisa saja bangunan hunian, bisa pula manusia yang tak henti berproduksi. Keunikan lukisan itu mulai terlihat dari jauh seolah tiga dimensi. Namun saat didekati, hanya ujung-ujung atas dan bawah dari bola dunia itu yang benar-benar nyata tiga dimensi karena bilah-bilah rotan itu benar-benar menyembul. Tapi pada bagian tubuh bumi hanyalah lukisan kanvas semata.

Salah satu dari lima kurator pameran kompetisi itu, Netok Sawiji Rusnoto Susanto dari Universitas Negeri Jakarta, menilai bahwa para perupa cenderung mempresentasikan gagasannya dengan bahasa visual bercitra realistik, hanya sebagian kecil saja yang memposisikan pada langgam non representasi obyek.

 “Tapi kompetisi ini telah mampu mengindikasikan peta perkembangan seni rupa kontemporer hari ini,” kata Netok.

 Sayangnya, event pameran 59 karya dua dimensi dan tiga dimensi yang lolos dari tahap seleksi awal sekitar 1.500-an karya itu terlihat sepi pengunjung. Kehadiran Tempo, Rabu (19/8/2009) seolah pelengkap penderita dari cerita-cerita mimpi karya-karya seni yang terpajang rapi, tapi lengang tak terkunjungi. Hanya bunyi mesin-mesin kipas angin yang berdengung di pojok-pojok pintu masuk. (PITO AGUSTIN RUDIANA)