Rabu, 17 Desember 2008

Kisah Mesin Ketik

Yang Bertahan dengan Mesin Ketik 

foto: pitogoestin
TINI (35) semula tak menyangka. Hingga dunia memasuki era komputer dengan teknologi supercanggih, dia masih berkutat dengan mesin ketiknya. Bahkan, perempuan asal Pajangan, Kabupaten Bantul itu mengandalkan pemasukan sehari-hari dari jasa pengetikan dengan mesin ketik sejak 1992. Semula usaha jasa yang dirintis kakaknya itu dimulai di Jalan Gejayan Yogyakarta sejak 1975. Kemudian membuka cabang di ujung Jalan Colombo Yogyakarta pada 1992.
  “Daripada di rumah nggak ada kerjaan,” kata lulusan Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) yang kini jadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) itu saat ditemui Tempo, Rabu (17/12/2008) lalu.
  Namun berkat kesetiaannya terhadap mesin ketik bermerek Olympia yang dipakainya sejak dia bekerja di sana, Tini terbukti tetap bertahan hingga saat ini. Mungkin dia satu-satunya penyedia jasa pengetikan dengan mesin ketik di Yogyakarta. Sebuah profesi langka yang terbilang aneh di tengah-tengah masyarakat yang lebih senang membicarakan soal komputer dan internet ketimbang pita mesin ketik yang terkadang harus diputar manual jika sudah mentok.
  Tempat kerjanya persis di jalan raya yang ramai. Bahkan ruangan berukuran sekitar dua kali tiga meter itu berhimpitan dengan kios-kios serupa yang menjual sapu ijuk, permak jins, reparasi tas, dan sejenisnya. Bahkan orang nyaris tak melihatnya jika betul-betul secara cermat membaca stiker bertuliskan “Pengetikan Mesin Ketik” pada kaca yang mulai kabur.
  “Dulu, di belakang sini masih sawah. UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) belum seluas ini,” kenangnya sambil asyik memencet tuts-tuts mesin ketiknya yang disebutnya jadul alias jaman dulu itu.
  Meski suasana pada saat itu tak seramai sekarang, namun usahanya laris manis bak kacang goreng kala itu. Meski pula usaha-usaha yang serupa ditekuninya juga sebejibun jumlahnya. Maklum, orang belum mengenal teknologi pengetikan canggih semacam komputer. Tak hanya instansi perkantoran yang memanfaatkan jasanya. Paling banyak adalah mahasiswa yang tengah mengerjakan tugas akhir berupa penulisan skripsi. Satu bundel skripsi bisa selesai dalam waktu tiga hari. Kecuali skripsi mahasiswa Fakultas Hukum yang rata-rata tebal.
  “Bisa 125 halaman. Ya, seminggulah,” ucap Tini.
  Tak heran, dia mempekerjakan tujuh orang karyawan di Jalan Gejayan dan tiga orang di Jalan Colombo. Satu orang karyawan digaji Rp 75 per lembarnya. Harga selembar kertas berisi ketikan pada 1992 ada Rp 350. Kemudian naik menjadi Rp 700 per lembar pada 1993 dan Rp 1.000 pada 1995. Dirinya pun termasuk orang yang ikut mengetik berkat menimba ilmu mengetik dari sekolah.
  “Dulu sering ikut lomba mengetik lho,” kata Tini tersipu.
  Untuk menjadi karyawannya, tak terlalu sulit persyaratannya. Tak perlu bisa benar-benar mahir mengetik, seperti tak perlu melihat tuts saat mengetik. Yang terpenting, bisa mengetik dengan bagus.
  “Pakai dua jari juga nggak masalah,” katanya yang menurut dia, persoalan teknis itu bisa dilatih.
  Standar ukuran bagus yang diterapkan adalah bisa mengetik standar dengan ejaan sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Yang agak sulit adalah memahami standar pemenggalan kata.
  Lain dulu, lain sekarang. Jalan Colombo bukan jalanan yang sepi lagi. Lalu lintas hilir mudik di depan kiosnya tiada henti. Namun usaha Tini terlihat sepi. Di dalam kiosnya pun, hanya Tini seorang diri tanpa seorang karyawan pun. Sebuah suasana yang berangsur-angsur dialaminya sejak 1994, persisnya sejak orang mulai mengenal komputer.
  “Skripsi sudah pakai komputer, meski belum semua,” kata perempuan berkerudung itu.
   Omset pengetikan pun berangsur menurun. Jika semula bisa mencapai 50 pesanan per harinya, kini paling banter hanya 10 pesanan. Tak heran jika satu per satu karyawannya undur diri karena usaha yang kian sepi peminat. Meski harga satu lembarnya sudah mencapai Rp 2.000 saat ini.

foto: pitogoestin
Hingga akhirnya tinggal Tini yang bertahan seorang diri. Di sebuah ruangan dengan temboknya yang berlubang sana sini, juga kayu-kayu di langit-langit yang terlihat lapuk. Saat masuk ke kiosnya pun terasa seperti memasuki bangunan musium. Tampak tumpukan berkas-berkas yang terjilid rapi di atas lemari terlihat berdebu. Dua buah kursi usang dengan kaki-kakinya yang sudah tersambung dengan kayu lainnya lantaran patah, seolah kian berat menyangga beban tumpukan buku di atasnya. Tini pun menyimpan sebuah mesin stensil kuno dan mesin pembuat lubang kertas yang tak kalah kuno pula. Terakhir, mesin stensil itu bisa dioperasikan pada 1997. Belum lagi, kurang dari 10 mesin ketik aneka ukuran dan merek tersusun rapi di atas meja di sisi utara. Ada yang terliht masih baru, ada pula yang sudah butut.
  “Itu mesin ketik yang saya repasi, ada juga yang dijual,” akunya yang juga menjual pulsa handphone di kiosnya.
  Harga jasa servis mesin ketik mencapai Rp 30.000. Biasanya, keluhan pelanggan adalah jika ada kawat string yang putus atau salah satu tuts huruf yang hilang. Apesnya lagi, mencari spare part mesin ketik tak segampang dulu. Tak semua toko menjualnya. Begitu pun, tak semua toko alat tulis menjual pita mesin ketik. Lantas, apa akalnya?
  “Saya beli mesin ketik bekas untuk diambil onderdilnya,” ucapnya sambil tersenyum.
  Mesin ketik bekas yang dibelinya dan sudah diperbaikinya ada juga yang dijualnya. Harganya berkisar Rp 170.000 hingga Rp 180.000.
  Di sela-sela kesunyiannya, tetap saja ada yang mencari dan membutuhkan jasanya. Seperti pagi itu. Tini yang biasa membuka usaha pukul 08.00 hingga 17.00 WIB itu ternyata telah kedatangan antrean empat orang pelanggan.
  “Susah kalau ngisi kolom-kolom dengan komputer,” kata Wiji, karyawan Dinas Pendidikan Provinsi DIY kala itu yang tengah mendapat tugas kantor.
  Begitu pun dengan Adi, mahasiswa Jurusan Manajemen UNY yang sebentar lagi diwisuda. Dia juga menggunakan jasa Tini untuk mengetik formulir kelulusan.
  “Biar nggak rumit,” tukasnya.
  Tini pun belum berniat untuk meninggalkan usahanya dan beralih ke usaha lain, terutama pengetikan dengan komputer. Dia masih yakin, rezekinya berasal dari mesin ketiknya yang setia dan belum pernah sekali pun diganti hingga kini. Lalu, apa resepnya bisa bertahan?
  “Jangan sampai saya jutek sama orang,” jawabnya lagi-lagi sambil tersenyum, biar pun penghasilannya hanya Rp 25.000 per hari. (PITO AGUSTIN RUDIANA)

Rabu, 26 November 2008

Klangenan Ki Hadjar Dewantara

Rumah Ki Hadjar pun Dimuseumkan 

foto: pitogoestin

BANGUNAN rumah nan asri itu berada satu komplek Yayasan Persatuan Taman Siswa di Jalan Taman Siswa Kota Yogyakarta. Siapapun bisa langsung menjumpainya saat masuk lewat gerbang utara, karena rumah mungil itu berada di sisi utara. Semua daun pintu dan jendela yang memanjang – arsitektur khas ala Belanda – itu dibiarkan terbuka. Seolah-olah senantiasa siap menerima persinggahan siapapun yang datang ke sana. Hanya sesekali daun pintu bagian selatan terhempas karena dorongan angin yang terkadang bertiup cukup kencang. Namun tiada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah maupun seputaran teras yang diteduhkan dedaunan dari dua pohon kembang kamboja di halaman yang sudah dimakan usia. Setua rumah mungil peninggalan Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara yang telah beralih fungsi menjadi museum. 
“Biar nggak lembab, makanya diangin-anginkan,” kata Sri Muryani (44), salah satu pengelola perpustakaan dan Museum “Dewantara Kirti Griya (rumah yang berisi hasil kerja Ki Hadjar Dewantara)” saat ditemui Tempo, Rabu (26/11/2008) lalu, mengomentari daun-daun jendela dan pintu yang dibiarkan dibuka. 

Begitulah cara murah dan praktis yang dilakukannya. Mengingat biaya perawatan atas barang-barang koleksi di dalam museum tiadalah sedikit. Sebuah persoalan klise yang hampir dialami semua museum di Indonesia. 
“Untuk biaya perawatan barang-barang koleksi saja butuh sekitar Rp 50-an juta,” kata Muryani. Padahal, jika hanya mengandalkan tiket masuk dari pengunjung saban tahunnya, tiada cukup. Sebutlah. Biaya masuk bagi pelajar Rp 1.000, mahasiswa atau umum sejumlah Rp 2.000, dan bagi wisatawan mancanegara sebesar Rp 5.000 yang semuanya per kepala. Itu pun tak setiap hari ada pengunjung yang datang. Biasanya pada hari libur sekolah. Pengunjung kebanyakan pun para pelajar dari sekolah-sekolah di luar Yogyakarta. Sedangkan berdasarkan data yang dimilikinya, pada 2006 ada 3.758 orang pengunjung, pada 2007 ada 4.768 orang, dan pada 2008 meningkat menjadi 5.046 orang.

“Tahun ini, pemerintah provinsi memberi bantuan alat perawatan,” bebernya, seperti vacuum clenaner, tabung pemadam kebakaran, juga obat-obatan. Padahal, koleksi buku-buku, majalah, juga koran yang usianya sudah berpuluh tahun dalam museum itu membutuhkan perawatan khusus. Seperti fumigasi yang biayanya sangatlah mahal.
“Biasanya kita pakai dana dari biaya masuk pengunjung. Itu pun dipakai bergantian,” terangnya. Semisal, tahun ini untuk fumigasi, tahun depan untuk membeli obat-obatan perawatan lain, tahun berikutnya untuk biaya perawatan bangunan, dan sebagainya.

foto: pitogoestin
Tak hanya rumah hunian peninggalan Ki Hadjar saja yang dimuseumkan. Melainkan juga sebuah Pendapa Agung Taman Siswa – yang merupakan Monumen Persatuan Taman Siswa – yang terletak di tengah halaman komplek. Bedanya, pendapa itu selalu riuh oleh celoteh para pelajar yang tengah rehat di sana. Untuk berlatih tari, teater, berdeklamasi, karate, bahkan untuk tempat pertemuan terbuka. Bahkan menjelang siang, satu dua masyarakat umum menggunakannya untuk istirahat. Semilir angin yang sepoi-sepoi menyejukkan siapa saja yang beristirahat di sana. Di sanalah tempat murid-murid Ki Hadjar menimba ilmu.

“Makanya, tak ada yang tak mengesankan dari sepak terjang Ki Hadjar,” komentar Suratmi (89) – istri mendiang dosen dan pakar hukum adat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Iman Sudiyat – yang merupakan mantan murid Ki Hadjar pada 1937-1939 yang siang lalu sempat singgah sebentar.

Berbeda dengan suasana di rumah Ki Hadjar yang sunyi. Namun kesunyiannya tak menimbulkan rasa ngeri, justru ada rasa nyaman saat berada di rumah seluas 300 meter persegi di atas tanah seluas 2.720 meter persegi itu. Awalnya, rumah itu milik Mas Ajeng Ramsinah – istri orang Belanda – yang kemudian dibeli Ki Hadjar bersama dengan Ki Sudarminto dan Ki Supratolo yang merupakan pamong Taman Siswa pula pada 14 Agustus 1935. Baru pada 16 November 1938, rumah itu resmi dihuni Ki Hadjar bertepatan dengan peresmian Pendapa Agung Taman Siswa. Konon bangunan bergaya klasik kolonial itu dibangu pada 1925. Berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.25/PW.007/MKP/2007 tertanggal 26 Maret 2007, baik rumah maupun pendapa tersebut ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.

“Ki Hadjar pula yang menginginkan rumahnya dimuseumkan,” terangnya. Permintaan itu disampaikannya pada Rapat Pamong Tamansiswa pada 1958. Rumah mungil itu dilengkapi dengan teras kecil dengan empat kursi kayu model kuno di atasnya yang menyambut siapa pun yang tiba. 
“Dari sini (sambil menunjuk kursi di teras), Ki Hadjar memperhatikan siswa-siswanya yang ada di pendapa,” kata Mujiono (67), salah satu pengelola yang lain. Sebelum masuk ke ruang keluarga, pengunjung akan diajak memasuki kamar pribadi Ki Hadjar yang terletak di sisi barat banguna bagian depan. Ada sebuah tempat tidur kecil yang cukup untuk satu orang lengkap dengan kelambunya, juga tiga buah tongkat penyangga dari kayu koleksi Ki Hadjar. Tak ketinggalan meja kecil dengan mesin ketik kuno dan kotak kaca berisi sisir, juga bekas sabun mandi Ki Hadjar yang terlihat berwarna kecoklatan dan telah mengeras.
 
Kamar tidur itu berbatasan dengan ruang tamu yang berada di utaranya dengan pintu ruang tamu menghadap ke barat. Itu adalah satu-satunya daun pintu yang tak dibuka karena langsung menghadap ke jalan raya. Selain seperangkat meja dan kursi kayu kuno, juga ada telepon kuno buatan Pabrik Kellog Swedia pada 1927. Untuk menggunakannya pada zaman itu, penelepon harus memutar tuas lalu mendekatkan corong telepon pada telinga yang terpisah dari corong bagian mulut.

Di sebelah timur ruang tamu adalah kamar tidur Nyi Hadjar Dewantara. Tak jauh beda, tempat tidurnya juga dilengkapi kelambu dan berseprei putih. Serta lemari besar yang berisi aneka perabot rumah tangga seperti piring, gelas, dan guci dari keramik.
“Baik Ki Hadjar maupun Nyi Hadjar adalah keturunan Paku Alam III Kanjeng Gusti Pangeran Harjo Soerjo Sasraningrat. Jadi masih sepupu,” terang Mujiono.

Berdasarkan silsilah yang juga terpampang di sana, ayah Ki Hadjar yang mempunyai nama kecil Raden Mas Soewardi Suryaningrat adalah putra ke delapan dari PA III. Sedangkan Raden Ajeng Soetartinah atau Nyi Hadjar adalah putri dari putra ke 13 dari PA III.
Sementara itu, ruang keluarga didesain memanjang dan lebih luas dibanding ruangan lainnya. Ada sebuah kursi goyang kayu kuno lengkap dengan meja beralas keramik di sana. Di atasnya ada sebuah cangkir kuno. “Dari sini, Ki Hadjar memperhatikan putra-putrinya belajar,” kata Mujiono. Sedangkan keenam putra Ki Hadjar belajar lesehan di atas lantai dari tegel.

foto: pitogoestin
Buku-buku koleksi Ki Hadjar tertata rapi di rak-rak buku yang ditutup kaca. Warna kusam menandai betapa kunonya buku-buku itu. Juga ada piano yang digunakan Ki Hadjar untuk menciptakan nada-nada dalam gamelan Jawa yang disebutnya sistem nana Sariswara. Tak ketinggalan pula aneka piagam penghargaan yang diterima Ki Hadjar yang dipigura dan dipasang di dinding. 

Bangunan kuno itu, menurut Mujiono, belum pernah dipugar. Lantaran banguna tersebut dilindungi negara karena termasuk bangunan cagar budaya. Hanya saja, beberapa bagian banguna sempat diganti karena lapuk. Seperti langit-langit rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Juga sedikit perbaikan pada dinding bangunan yang sempat retak karena goncangan gempa pada Mei 2006 lalu. (PITO AGUSTIN RUDIANA)

Kamis, 09 Oktober 2008

Kuliner Wajik

Dari "Nyonya Week" hingga "Week"
BERMULA dari tradisi hajatan yang tak pernah lupa menyuguhkan aneka jenis penganan dari beras ketan, seperti wajik yang berwarna cokelat dan jadah yang berwarna putih. Sebuah tradisi yang masih banyak ditemui di pelosok-pelosok pedesaan. Alasan itu pula yang menggugah keinginan Nyonya Ong King Liem untuk membuat penganan wajik yang bisa dipasarkan ke mana-mana. Hingga lahirlah kali pertama penganan wajik komersiil pada 1931 di Desa Salaman, tepatnya di Jalan Salaman Raya, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah atau sekitar sembilan kilometer dari bangunan wisata eks tujuh keajaiban dunia, Candi Borobudur. 

Sepeninggal Ong King Liem, usaha rumahan yang hanya mengandalkan tenaga seorang karyawan ditambah para anggota keluarga itu dilanjutkan salah satu anaknya, Nyonya Ong Gwek Nio hingga 1972. Kemudian secara turun-temurun, wajik khas racikan Nyonya Ong King Liem itu diteruskan cucunya, Ong Hwa Nio hingga 1979, dilanjutkan lagi oleh cucunya yang lain atau kakak dari Ong Hwa Nio, yakni Ong Jow Tjwan hingga 1980. Barulah kini ditangani salah satu keponakan dari Ong Jow Tjwan, yakni Untung Giyanto (54). “Baru pada masa saya, wajik itu diberi nama “Wajik Nyonya Week”,” kata Untung saat ditemui Tempo di kediaman sekaligus toko wajiknya di Salaman, Kamis (9/10/2008). Nama “Week” sendiri diambil dari nama budhenya, yakni Ong Gwek Nio.


“Tapi lidah masyarakat sini sering menyebutnya dengan Week,” kenang Untung, lulusan Fakultas Sosial Politik Jurusan Komunikasi Universitas Diponegoro, Semarang itu. Pemberian nama pun berlanjut dengan pemasangan papan nama berukuran besar yang didesainnya sendiri di toko sekaligus rumahnya yang mungil dan sangat sederhana. Sangat kontras dengan toko-toko oleh-oleh yang berbangunan besar dan megah yang bertebaran di sepanjang jalan raya arah Muntilan hingga Magelang. Diakui Untung, toko-toko oleh-oleh yang menjual produk wajiknya itu telah meminta izin untuk memasang papan nama produknya, meski toko itu bukanlah miliknya. “Kami hanya punya dua toko, di sini (di rumah) dan satu cabang di pertigaan Palbapang,” ucapnya. 

Dalam mendesain huruf maupun background papan nama wajiknya, menurut Untung yang pernah kursus setahun di Jogja Design School itu tak lepas dari semangat nasionalismenya. Maklum, warna merah menyala terlihat mendominasi dengan pulasan warna putih. Alasannya, justru banyak produk dari luar negeri yang tidak menanggalkan identitas kenegaraannya. Dia pun ingin meniru hal itu. 

Tak hanya wajik yang diproduksinya, kala itu juga ada onde-onde, keripik tempe, serta rempeyek kacang. Namun saat tiba di tokonya, para pelanggan lebih banyak membeli wajiknya. Tak hanya pemasaran wajiknya yang kian digencarkan, Untung pun mengubah brand nama wajiknya menjadi hanya “Wajik Week” saja. Mengapa? “Soalnya banyak pembeli yang nanya, lha nyonyanya (Nyonya Gwek) mana?” jawab Untung sembari terkekeh. 

Menjaga kualitas adalah prinsip yang dipegang teguh penghobi fotografi itu. Tak heran, berbagai upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu dilakukannya agar konsumen percaya akan produknya. Misalnya, pantang bagi Untung untuk mengurangi takaran bahan baku wajiknya, meski pun harga bahan pokok naik. Dia lebih memilih untuk menaikkan harga, asalkan konsumen puas karena rasa wajiknya tetaplah sama. Cara pengolahannya pun tetap diikutinya sesuai standar yang digariskan para pendahulunya. Paling tidak, mulai dari merebus santan hingga keluar minyaknya, memasukkan gula kepala cair, lalu memasukkan ketan yang sudah dimasak dan mengaduk semua adonan menjadi satu itu membutuhkan waktu sekitar enam jam. 

“Ibaratnya, kalau 10 kilogram ketan seharusnya diolah selama enam jam, tapi hanya dua jam, apa jadinya?” ucapnya. Pengadukan satu adonan pun dilakukan secara manual di dalam kenceng atau sejenis wajan besar yang dipesan khusus dari Boyolali karena ukurannya berdiameter 70 centimeter. Pengadukan dengan alat, semisal dinamo, menurut Untung yang pernah mencobanya justru tak efektif karena tak kuat. Pasalnya, kian matang, adonan wajik kian liat, sehingga kian berat untuk diaduk.

foto: pitogoestin
Di sisi lain, pemasaran penganan basah semacam wajik, diakui Untung tak lepas dari kendala karena tak tahan lama. Sehingga upaya pemasarannya pun masih sebatas di kawasan Magelang, belum ke luar daerah.

“Karena produk kami tanpa pengawet. Kalau tidak dimasukkan dalam freezer tahan lima hari, jika dimasukkan bisa sebulan dan harus dikukus dulu sebelum dimakan,” paparnya. 
Dengan produk tanpa pengawet itu, maka pihaknya memang sepakat tidak banyak membuat produk dalam sehari. Jika semula hanya lima kilogram ketan sehari, kini dinaikkan sekitar 30 kilogram per hari dengan pemasaran seputar Magelang saja. Pagi diproduksi, harapannya sore hari telah habis. Rasanya pun hanya terdiri dua macam, yakni wajik cokelat dan wajik hijau rasa daun pandan. Wajik-wajik itu dikemas dalam kotak dengan dua ukuran berbeda. Kotak kecil seharga Rp 7.500, dan yang besar seharga Rp 15.000. 

Kini, Untung tak hanya memfokuskan produknya pada wajik yang telah banyak dikenal orang karena teksturnya yang empuk, manis, dan mengandung banyak minyak itu. Dia mulai mengembangkan produknya dengan tambahan produk Getuk Week, Bakpia Week, dan rencananya ada Kerupuk Week. Lantas, bagaimana triknya untuk bisa mengenalkan produk-produknya hingga banyak orang mengenal dan membelinya, mengingat lumayan nun jauh tokonya berada di luar pusat kota? “Yang paling efektif, ya mempersilahkan pada konsumen yang datang untuk mencicipi produk kami,” tandasnya yakin yang pernah pula mengiklankan produknya di radio maupun media cetak.

Trik itu pula diakui Untung diterapkan dalam mengenalkan produk wajiknya hingga sekarang. Siapa pun konsumen yang datang ke tokonya, khususnya yang baru kali pertama mengenal produknya akan dipersilahkan mencicip, meski tak harus membeli. Upaya itu pula yang akan diterapkan untuk produk-produk barunya. “Sopir pengantar tamu juga harus kita beri produk kita,” imbuhnya dengan harapan, suatu ketika si sopir tersebut akan mengantarkan kembali pelanggan baru kepadanya.  
(PITO AGUSTIN RUDIANA)

Kisah Plempungan

Mengais Rezeki dari Selongsongan Peluru

foto: pitogoestin
LAPANGAN Plempungan di kawasan Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, sedari Kamis (9/10/2008) pagi kemarin sudah terlihat ramai. Ratusan orang berbadan tegap dan kekar dengan seragam loreng-loreng warna hijaunya tampak berdiri berjejer memanjang dengan senapan laras panjang di tangan. Sesekali terdengar aba-aba seorang komandan di depannya yang langsung disambut dengan teriakan saling bersahutan dari mereka. Mereka pun melanjutkannya dengan berlari sembari berbaris mengelilingi lapangan.
Di tepi lapangan, puluhan pasang mata memandang latihan militer para taruna Akademi Militer Magelang itu dengan sesekali berdecak kagum. Para pengendara sepeda motor yang melintasi kawasan itu pun rela berhenti sejenak untuk melihat latihan perang mereka. Beberapa kali terdengar suara tembakan beruntun dilepaskan ke arah gundukan tanah yang berdiri memanjang di sisi luar lapangan, dekat perkebunan.
“Maklum, paling nggak tiga kali setahun baru ada latihan,” kata Sandy (16), pemuda berparas tampan dan berambut cepak yang sedari awal menonton di pinggir lapangan.
Sementara itu, menjelang siang, dari kejauhan, tampak berbondong-bondong warga kampung sekitar mendatangi lapangan itu. Kedatangannya pun beragam, mulai dari laki dan perempuan, tua dan muda, bahkan anak-anak di bawah usia sekolah. Tentulah mereka tak sekedar meluangkan waktu kerjanya di sawah sebagai petani untuk melihat tontonan gratis dan menarik yang hampir pada waktunya bisa dinikmati di kawasan desa mereka. Terbukti, berbagai alat pertukangan hingga pertanian, semacam sabit, linggis, cetok, pisau, ember kecil, juga botol bekas minuman mineral dibawanya.
“Mau nyari selongsongan peluru untuk dijual,” sahut Ngudi (85), lelaki renta yang turut bergabung dalam rombongan warga itu.
Menurut Ngudi, kegiatan mencari ratusan, bahkan ribuan selongsongan peluru yang telah dimuntahkan para taruna dalam latihan perang itu sudah biasa mereka lakukan. Bahkan ada koordinasi antara pihak Akmil dengan perangkat desa setempat. Warga setempat mengakui, mereka diizinkan untuk mencari selongsongan peluru yang berupa timah dan kuningan yang terpendam di dalam gundukan tanah itu sekaligus ditugasi untuk merapikan kembali tanah yang sempat longsor akibat untuk latihan itu. Selongsongan peluru itu mereka jual sekitar seharga Rp 17.000 per kilogramnya.
“Ada lho, yang pernah dapat Rp 12 juta,” imbuh Ngudi berbinar.
Hingga kemudian, aba-aba komandan pun menandai berakhirnya latihan itu. Dengan aba-aba sekenanya pula, warga yang sudah siap di tepi lapangan langsung berlari menuju ke arah gundukan, memburu selongsongan peluru demi rupiah.
Tak ketinggalan anak-anak kecil yang ikut mengaduk-aduk tanah hingga lumayan dalam dengan potongan bambu atau kayu. Semangat mereka pun tak kalah dengan kakak-kakak, bahkan ibu dan ayah mereka yang berupaya mendulang rupiah.
“Lumayan, buat ditabung,” aku Aan (11), bocah kelas V sekolah dasar itu sambil tersenyum. Dia memperlihatkan beberapa potong besi kuningan di dalam botol bekas minuman mineral yang diperkirakan bisa membawa pulang selembar Rp 100.000.
“Buat jajan saja,” timpal Nurul (10), adik kelasnya mantap. (PITO AGUSTIN RUDIANA)

Rabu, 08 Oktober 2008

Kuliner Getuk

Awalnya Makanan Khas Magelang
foto: pitogoestin
  AWALNYA dari sepotong singkong yang dibuat getuk, makanan alternatif masyarakat Magelang, Provinsi Jawa Tengah sebagai pengganti nasi sedari zaman Belanda. Apalagi, beberapa daerah di Magelang adalah penghasil singkong berkualitas baik. Semisal singkong dari Desa Candimulyo, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang. Kala itu, singkong hanya ditumbuk halus, lalu dicetak dengan berbentuk kotak memanjang dan berwarna hitam seperti wungkal, batu untuk mengasah pisau. Tak heran, masyarakat pun menyebutnya dengan getuk wungkal. Sekedar pemanis cukup diberi parutan kelapa atau gula pasir. Makanan bertekstur lunak itu lebih banyak dijual di pasar-pasar tradisional sebagai makanan khas masyarakat menengah ke bawah di Magelang. 
"Mengapa makanan khas itu tidak dinaikkan derajatnya?" tanya almarhum Hendri Samadhana, pendiri perusahaan getuk Trio, getuk komersiil pertama di Magelang, sebagaimana ditirukan anak bungsunya dari tiga bersaudara, Herry Wiyanto (49) saat ditemui Tempo di tokonya di Jalan Tentara Pelajar, Magelang, 8 Oktober 2008. 
Kala itu, Hendri yang sehari-hari membuka bengkel aneka peralatan pertanian, kerap melihat orang menjual getuk wungkal itu di pasar. Yang menarik perhatiannya adalah tektur getuk itu relatif kasar karena hanya ditumbuk secara manual. Terpikir olehnya untuk menciptakan mesin penumbuk singkong yang menghasilkan getuk yang halus demi mengangkat derajat getuk agar citranya lebih baik. 
Akhirnya, dengan bermodal mesin yang dibuatnya, keluarga Hendri mulai membuka
usaha getuk kali pertama pada 1958. Bentuk getuknya saat itu seperti kue rol yang panjang, lalu dipotong-potong. Bagian luar berwarna putih, bagian dalam berwarna cokelat. Saat itu hanya 2-3 kilogram singkong yang dibutuhkan tiap harinya. Hasilnya cukup dititipkan ke warung-warung sekitar, hingga kemudian berkembang di toko-toko.
Gayung bersambut. Pada 1960-an, Magelang kedatangan tamu kehormatan Ratu dari Thailand, Ratu Sirikit. Selain mengunjungi Candi Borobudur, dia juga sempat singgah di Akademi Militer Nasional di Magelang (sekarang Akademi Militer/Akmil). Pihak AMN pun memilih getuk milik Hendri sebagai salah satu makanan khas Magelang yang dihidangkan. 
"Ternyata Ratu senang. Getuk kami pun dikenal masyarakat dengan getuk Sirikit," kenang Herry. 
Getuk Sirikit pun menjadi langganan AMN untuk membekali para tarunanya saat pulang kampung kala cuti tahunan tiba. Getuk itu melanglang buana nyaris ke seantero Nusantara, mengingat para taruna itu berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Hingga lama kelamaan, keluarga Hendri merasa rikuh dengan sebutan nama getuknya yang memakai nama seorang ratu. Akhirnya, dipilihnya nama "Trio" untuk menggantikanya. Nama itu diambil dari nama bengkel vulkanisir ban milik saudaranya yang sudah punya nama. 
"Juga karena anaknya ayah saya ada tiga," sambungnya. 
Begitulah, Herry berkisah bagaimana cikal bakal getuk tak hanya menjadi makanan khas Magelang. Melainkan sekaligus menaikkan pamor Kabupaten Magelang sebagai Kota Getuk. Perkembangannya pun, kian banyak bermunculan usaha getuk-getuk sejenis dengan aneka bentuk di Magelang. Ada getuk Eco, Marem, Kinanti, Kyai Langgeng, Sarinah, Rio, Trio Aroma, dan beberapa lagi. Mereka mempunyai ciri khas sama, yakni dikemas dalam kotak-kotak mungil berukuran sekitar 15 x 15 x 15 centimeter. 
"Dulu dikemas dalam besek (kotak dari anyaman bambu) kecil dan dibungkus dengan kertas sirsak," kata Herry. 
Oleh karena kian sulitnya memperoleh besek yang didatangkan dari Yogyakarta dan kian langkanya kertas sirsak, pada 1970-an mereka mengganti bungkus dengan plastik dan kemasannya dengan kotak kardus. Bentuk getuk yang dijual pun tak lagi sebesar kue rol, melainkan lebih kecil dan dibuat bertumpuk yang terdiri tiga warna dan tiga rasa. Warna kekuningan berasa asli singkong, warna cokelat berasa cokelat, warna merah muda berasa frambozen.
"Pernah mencoba rasa durian, tapi nggak semua suka durian. Ya, sekarang tergantung pesanan dan musimnya," tukasnya yang telah mempunyai dua toko di Jalan Mataram dan Jalan Tentara Pelajar itu.
Uniknya, usaha yang kini diteruskan ibunya, Setyawati (77) dan dikelola bersama Herry itu hanya menghasilkan sedikit produk saban harinya. Hanya 1 kuintal singkong untuk 150 kardus isi 12 biji per kardus tiap harinya. Tak heran, karyawannya pun hanya 10 orang. 
"Prinsipnya, getuk ini harus baru tiap harinya, karena hanya tahan dua hari," tandasnya yang mengaku tak menggunakan bahan pengawet apapun. Getuk yang berwarna putih adalah salah satu ciri getuk yang memakai bahan pengawet.

foto: pitogoestin
Tiap hari pihaknya akan mengirim produknya ke toko-toko langganan, dan tiap hari pula ditarik, habis atau pun tidak. Sebagai penanda, pihaknya memasang label bertuliskan tanggal pembuatan, bukan tanggal kadaluwarsa. Produknya pun dipasarkan seputar Magelang Raya, mulai Kota Muntilan hingga Secang saja.
"Getuk yang berkualitas baik adalah yang kenyal, empuk, dan tidak lengket di mulut kalau dimakan," terangnya membuka rahasia. Getuk semacam itu biasa didapatkan dari singkong jenis kinanti yang kulit luarnya cokelat dan tidak mengelupas, dagingnya berwarna kemerahan, dan ditanam di tanah pasir yang berlumpur.
 Belum lebarnya sayap pemasaran getuk khas Magelang itu pun diakui Andreas Kurniawan Purnomo (34), pengelola getuk "Eco" bersama ayahnya, Ridwan Purnomo (57). Pihaknya lebih banyak memfokuskan pemasaran di seputaran Magelang Raya, ditambah Yogyakarta dan Semarang dengan mengandalkan dua karyawannya yang khusus bertugas untuk berkeliling dari satu toko ke toko lain untuk mendistribusikan produknya.
 "Karena getuk kan khas Magelang," ucapnya memberi alasan.
 Usaha yang dirintis lewat home industry itu dimulai sekitar 1975-an dengan hanya dua orang karyawan. Bahkan hingga saat ini pun, keluarganya masih mengelolanya sebagai industri rumahan pula dengan 20 orang karyawan. Belum ada satu toko pun yang dimiliki, namun cukup dititipkan ke toko-toko lain yang telah menjadi langganan tetap.
 "Bahkan ada toko yang memasang plang sebagai agen resmi getuk "Eco", mereka sendiri yang minta," imbuhnya yang berencana akan membangun sebuah toko taahun depan.
 Pabriknya pun berada di tengah perkampungan padat di Jalan Jambon Tengah di Kabupaten Magelang. Untuk menuju ke sana haruslah melalui gang sempit yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Sebuah rumah yang terletak di belakang rumah yang lain. Pihaknya pun melayani pembelian secara eceran yang langsung ke pabriknya.
 "Harganya lebih murah, kami jual Rp 10.000 per kotak. Kalau di toko, kabarnya sampai Rp 15.000 per kotak," ucapnya yang menamai "Eco" dari bahasa Jawa halus yang berarti enak.
 Sehari ada sekitar 500 kotak dengan isi 16 biji per kotak yang dibuat. Getuknya pun punya kekhasan bentuk kecil memanjang yang terdiri tiga warna dn tiga rasa yang disusun berhimpitan. Ada rasa cokelat, rasa vanila, juga frambozen.
 "Soal rasa, pembeli yang menilai. Menurut mereka masih ada rasa khas singkongnya," terangnya setengah berpromosi.
 Sebagai inovasi, pihaknya pernah menjual getuk dengan rasa yang sama dalam tiga warna kemasan kotak yang berbeda. Ada warna hijau, biru, dan merah. Namun ternyata konsumen lebih memilih kotak warna merah, meski rasanya semua sama.
 "Mungkin ini efek psikologis warna merah ya," celetuknya sembari tertawa. Akhirnya, kemasan kota warna merah menjadi ciri khas getuk "Eco" sampai sekarang.
 Berbeda dengan pihak getuk "Trio" yang sempat merasa tak nyaman ada usaha getuk lain yang mempunyai nama mirip nama getuknya, sehingga sempat menjadi kendala. Bagi pihak getuk "Eco", kian sulitnya untuk mendapatkan singkong adalah kendala besar karena terkait keberlangsungan usahanya. Menurut Andreas, kian tak banyak penjual singkong di pasar-pasar.
 "Mungkin karena usaha keripik singkong juga makin banyak," ucapnya.
 Tak pelak, selain mengupayakan jemput bola dengan mencari singkong ke daerah-daerah lain, pihaknya pun terkadang membeli singkong yang belum cukup umur. Jika masa tanam singkong biasa sekitar 10-12 bulan, terkadang usia delapan bulan sudah dipanen sebelum diburu oleh pihak lain. (PITO AGUSTIN RUDIANA)

Minggu, 05 Oktober 2008

Kuliner Bakpia

Bermula dari Nomor Rumah

foto: pitogoestin
SINGGAH di Yogyakarta terasa tak lengkap jika pulang tak membawa buah tangan berupa bakpia dan gudeg. Begitulah, dua jenis makanan khas Yogyakarta yang turut menambah perbendaharaan wisata kuliner seantero Nusantara. Bahkan, karena kekhasannya pula, nama-nama kampung yang merupakan cikal bakal ketenaran dua jenis makanan itu menjadi tempat wisata kuliner yang terasa kurang jika dikunjungi.
Pathuk. Begitulah orang menyebut sebuah kampung di Kelurahan Ngampilan, Kecamatan Ngampilan, Kota Yogyakarta sebagai kampung bakpia. Di sanalah, sebuah toko bakpia terbesar, Bakpia 75 yang merupakan cikal bakal bakpia di Yogyakarta, berdiri megah. Awalnya hanya sebuah usaha rumahan (home industriy) milik keluarga Liem Bok Sing yang merintis di Jalan Dagen, atau sisi barat Malioboro pada 1948. Kue basah itu asal China itu dijual di rumah, juga dijajakan secara berkeliling oleh dua orang karyawannya. Keterbatasan tenaga membuat keluarga Liem banyak menolak pesanan-pesanan bakpia. Hingga pada 1955, keluarga itu pindah ke Jalan AIP II Karel Sasuit Tubun yang terletak di kawasan Pathuk hingga sekarang. Di kawasan itu pula, mulailah bermunculan industri-industri bakpia, dari yang besar seperti Bakpia 25 yang sering disebut-sebut sebagai kompetitor Bakpia 75, pun industri-industri sedang hingga kecil lainnya, seperti Bakpia 555, Bakpia 21, Bakpia Bu Sri, Bakpia 932, Bakpia 73B, dan sebagainya.
Nama 75 diambil dari nomor rumah tempat bakpia itu diproduksi,” kata Manajer Operasional Bakpia 75, Dwi Yuniati saat ditemui Tempo di tempatnya bekerja akhir pekan silam, 5 Oktober 2008.
Sepeninggal Liem, usaha itu diteruskan anak laki-lakinya, Yeni Susanto. Pesanan dari para pelanggan pun diterimanya, sehingga dia menambah karyawannya menjadi lima orang. Pada 1980-an, bakpia tak lagi dijual dengan berkeliling, tapi dipasarkan di toko-toko yang juga menjual aneka makanan kering khas Yogyakarta. Bahkan pada 1990-an, bakpia yang diproduksinya pun banyak dipesan dari pihak-pihak hotel, pun dari berbagai toko. Usaha pun diteruskan istrinya usai Yeni meninggal. Hingga kini, Bakpia 75 mengembangkan sayap menjadi empat toko. Yakni di Jalan AIP II KA Tubun Nomor 75 dan Nomor 83 yang berdiri berdampingan, serta di Jalan HOS Cokroaminoto 119B dan Jalan Magelang Km 4,5 yang semuanya terletak di Yogyakarta. Proses produksi tak lagi dilangsungkan di rumah, melainkan di toko-toko tersebut yang selain menjadi tempat pemasaran, sekaligus pabrik. Kecuali toko di Jalan Magelang yang hanya menjadi lokasi pemasaran saja. Jika semula hanya mempekerjakan dua karyawan, kini total mencapai 150-an orang karyawan.
Jika semula bakpianya hanya berisi umbu (kacang hijau), sekarang ada cokelat, keju, juga durian.
“Khusus bakpia isi durian diproduksi jika musim durian saja,” imbuhnya.
Alasannya, isi bakpia haruslah dari bahan asli, bukan sekedar aroma, bukan pula buatan. Tak hanya hanya itu, per 29 September 2008 lalu, Bakpia 75 juga memproduksi pia, yakni bakpia kering dengan adonan mentega yang relatif tahan lama hingga sebulan. Berbeda dengan bakpia isi kacang hijau yang hanya tahan sekitar empat hari, atau isi keju, durian, dan cokelat yang bisa tahan hingga seminggu.
Momentum lebaran, juga libur panjang menjadi kesibukan tersendiri bagi karyawan di sana. Tak tanggung-tanggung, dalam sehari bisa memproduksi bakpia sebanyak satu hingga satu setengah kuintal bakpia. Jauh lebih banyak ketimbang hari-hari normal yang hanya memproduksi 25-30 kilogram bakpia.
Harga sekotak bakpia isi umbu Rp 17.500, kalau yang rasa lain Rp 20.000,” terangnya untuk satu kotak isi 20 biji.
Seperti siang pada akhir pekan lalu. Kala para pemudik mulai bersiap-siap kembali seiring arus balik lebaran, jalan di kawasan itu terlihat padat dan macet dengan kendaraan pribadi, mulai dari mobil dan sepeda motor, hingga kendaraan umum sebangsa taksi dan bus pariwisata. Tujuannya sama, mampir ke kawasan Pathuk untuk berburu bakpia aneka rasa khas Yogyakarta.
Mau nyari bakpia, Mbak? Di situ saja,” tunjuk seorang ibu yang mengaku asal Surabaya yang baru saja keluar dari mulut sebuah gang kecil sambil menenteng beberapa tas kecil berisi kotak-kotak bakpia. Gang itu memisahkan antara dua toko sekaligus pabrik Bakpia 75 yang berada di jalan yang sama. Saat melongok ke gang yang hanya muat dilalui kendaraan roda dua dan tiga itu, tampak aneka papan nama bertuliskan bakpia berdiri saling membelakangi. Saat Tempo menanyakan mengapa dia rela menyusuri gang-gang sempit hanya untuk membeli bakpia, mengingat banyak sekali toko-toko bakpia di sepanjang jalan itu.
“Wah, rasanya sama saja,” ucapnya sembari tersenyum.
Komentar soal rasa yang sama, juga diakui Aji (25), anak sulung dari Waljiyah (54), pemilik home industry Bakpia 932 di salah satu gang kecil. Dia mengisahkan, ada pembeli yang semula datang ke rumahnya, mencicip bakpianya, menanyakan harganya, lantas pergi tanpa membeli. Namun tak berapa lama, dia kembali untuk membeli beberapa kotak bakpia.
“Biasanya karena harga di industri-industri rumahan lebih rumah, sedangkan rasanya tak jauh beda,” ucapnya.
Dirinya berani menjual dengan harga terpaut lebih murah ketimbang industri bakpia yang sudah punya nama. Sebutlah, untuk satu kotak isi 15 biji seharga Rp 9.000 dan Rp 12.000 untuk 20 biji. Rasanya pun tak jauh beda dengan bakpia-bakpia yang sudah berkelas.
“Kakek saya dulu adalah karyawan angkatan pertama di Bakpia 75,” kata Aji.
Dari kakeknya pula, kepiawaian membuat bakpia, termasuk pengetahuannya soal bumbu “rahasia” diturunkan pada ibunya yang merupakan menantunya. Hanya saja, ibunya baru mulai membuat bakpia pada Agustus 2007 untuk kesibukan kala pensiun tiba.
Kakek berpesan, jika ingin membuat bakpia agar dilakukan setelah kakek meninggal,” imbuhnya yang masih memasarkan bakpianya sebatas di sebuah rumah sakit swasta dan di rumah tentunya. Dalam sehari, lewat modal awal sekitar Rp 7 juta hingga Rp 10 juta, pihaknya bisa memproduksi 10 hingga 20 kilogram per harinya. Namun saat lebaran tiba bisa melonjak hingga 50 kilogram per hari.

foto: pitogoestin
Tak hanya soal kekhasan rasa bakpia yang legit, Aji dan keluarganya pun memberi nama usahanya sesuai dengan nomor rumahnya, 932. Sama dengan yang dilakukan usaha pendahulunya.
“Di sini semua juga begitu. Kalau namanya pakai angka, itu nomor rumah. Kalau pakai nama orang, biasanya nama pemilik atau anaknya,” terang Aji.
Sama pula yang dilakukan keluarga Lis Wahyuni (50) yang memberi nama usahanya dengan nomor rumahnya di sebuah gang sempit di belakang Toko Bakpia 75, Bakpia 73B. Menurut salah satu anaknya, Nico Sulistyo (25), sebelumnya sebagian rumahnya yang terletak tepat di belakang pabrik Bakpia 75 itu dibeli pihak Bakpia 75. Ada lorong kecil sebagai jalan yang menghubungkan antara Jalan AIP II KS Tubun, pabrik, juga rumahnya.
“Mau tak mau, keluarga saya sering lihat bagaimana proses membuat bakpia. Ibu saya pun belajar dari karyawan di sana,” aku Nico.
Akhirnya, pada 2005, rumah mereka itu pun disulap sebagai pabrik sekaligus tempat pemasaran bakpianya. Proses pembuatannya pun memanfaatkan lorong kecil memanjang selebar sekitar satu meter di rumah itu. Mulai dari proses mengaduk adonan, mencetak, hingga proses penggorengan, pendinginan, dan memasukkannya ke dalam kotak-kotak karton.
“Lebaran begini, produksinya bisa naik tiga hingga empat kali lipat,” imbuhnya sembari menambahkan bahwa pada hari biasa memproduksi sekitar 100 kotak berisi 20 biji per kotaknya.
Tak hanya membuat bakpia menjadi kesibukan masyarakat sehari-hari di kawasan Pathuk. Warga lainnya pun memanfaatkannya untuk menjaring konsumen dengan menjadi tukang parkir atau pun menjadi pekerja di bagian pemasaran yang ikut mempromosikan bakpia-bakpia yang dijual di sana. Sebutlah, sejumlah warga yang mengajak pengunjung yang datang untuk membeli bakpia di rumah-rumah industri kecil sembari berteriak-teriak setengah berpromosi di mulut gang. (PITO AGUSTIN RUDIANA)



Kamis, 26 Juni 2008

Seni Teater Lungid


Semua Berawal dari Sebuah Tuk


foto: pitogoestin
SEBUAH ember berukuran sedang warna hitam nyaris dibuang Bibit, pemuda pengangguran berpikiran idealis, ke dalam sumur. Lantaran ember lusuh yang sudah penuh tambalan di sana-sini itu masih saja bocor meski sudah ditambal ulang. Mbah Kawit, perempuan paling renta yang hidup dari belas kasih warga di perkampungan tanah magersari itu berteriak-teriak mengingatkan. Bahwa membuang sampah ke dalam sumur yang berisi tuk alias mata air sebagai sumber kehidupan, bukan perbuatan terpuji. Sumur bukan tempat sampah. Kehidupan sedari bangun tidur dan akan tidur lagi dimulai dari tuk. 
  Tapi peringatan kedua dari Mbah Kawit untuk melindungi tuk, tak mempan buat Suleman Lempit. Si tukang makelar apa saja itu marah-marah gara-gara seekor ayam jago aduan raib dari kandangnya. Padahal ayam itu sudah ada yang menawar, Rp 57.000. Tanpa rasa bersalah, Mbah Kawit nyeletuk. Ada seekor bangkai ayam ditemukannya di dalam sumur. Lantas dijualnya kepada pedagang ayam seharga Rp 500. Suleman yang dipanggil Mbah Kawit dengan Leseman – alasannya, Suleman adalah nama nabi – mengamuk. Sumur si sumber penghidupan itu dianggapnya sebagai biang kerok melayangnya rezeki Rp 57.000. Tanpa rasa bersalah pula, laki-laki itu berdiri di atas bibir sumur, membuka retsluiting celana panjangnya, dan mengencingi air sumur, si air kehidupan. Bibit dan Lik Bismo, si penjual mainan anak-anak, tali kolor, juga sumbu kompor yang fanatik dengan wayang kulit, hanya terbengong.
 Penonton yang disuguhi adegan itu pun tergelak. Apalagi tiap ada dialog berisi umpatan yang diucapkan para pemain Teater Lungid dalam lakon berjudul “TUK” di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Kamis (26/6/2008) malam. Tontonan teater berbahasa Jawa ngoko itu pun seperti tontonan lenong. Penonton sibuk nyeletuk, sibuk komentar, atau sekedar bersuit-suit dan tertawa.
 “Ya, sebenarnya kita sekaligus ingin memperkenalkan kembali idiom-idiom bahasa Jawa kepada anak-anak muda yang sekarang sudah banyak yang tidak mengenalnya,” kata sang sutradara, Pelog Trisno Santosa.
 Banyak ungkapan yang diakui Pelog, hanya mampu dipahami masyarakat Jawa 10 tahun lalu, saat kali pertama lakon TUK dipentaskan pada 1997 akhir. Namun menjadi asing di telinga anak-anak muda pada 10 tahun berikutnya. Sebut saja, seperti istilah urip kaya sambel yang diucapkan Mbok Jemprit, si penjual bumbu dan lombok di pasar. Artinya, hidup hanya untuk pelengkap. Mengingat pasar tradisional tempatnya berjualan akan digusur untuk digantikan dengan pasar modern.
 Hanya saja, diakui Pelog, tak semua ungkapan yang diucapkan sampai maksudnya bagi penonton. Lantaran para pemain yang rata-rata sudah berusia 45 tahun ke atas itu lupa untuk menjelaskan artinya.
 Misalnya, gerji. Pemain hanya menyebut gerji tanpa memberinya penjelasan. Orang mungkin tahunya itu gergaji, padahal itu sebutan untuk tukang jahit pakaian. Ya, sudah tua, antara otak dengan bibir sudah nggak sinkron,” kata Pelog, si pemeran Lik Bismo sambil tertawa. Namun, meski tenaga tua, vokal mereka cukup lantang untuk didengar hingga di sudut-sudut ruang.

foto: pitogoestin
  Sayangnya, tawa dan celetukan penonton yang tak memenuhi ruangan itu tak bertahan selama dialog yang diucapkan tiap-tiap pemain. Terlihat ada kejenuhan saat tiba di puncak klimaks. Beberapa penonton pun sempat ada yang sudah meninggalkan ruangan. Durasi waktu yang nyaris memakan 2,5 jam dimulai pukul 20.15 WIB itu diakui Pelog sebagai salah satu alasannya. 
“Ada beberapa pemain yang berimprovisasi dalam dialog. Bagaimana pun, itu juga turut menambah durasi waktu. Tampilan berikutnya akan coba dipadatkan,” kata Pelog. 
Lakon yang diambil dari salah satu karya almarhum Kenthut Bambang Widoyo mengisahkan kehidupan warga di tanah magersari. Sebuah istilah bagi komunitas yang nebeng untuk tinggal di tanah pekarangan orang lain, dengan perjanjian juga batas waktu yang kabur. Itu pun karena kebaikan Pak Darso, pemilik tanah yang sudah meninggal. Namun kehidupan menjadi terbalik saat berhembus desas-desus, Menik, anak perempuannya berniat menjual tanah itu. Warga magersaren yang rata-rata dari kaum pinggiran pun kelabakan, akan tinggal di mana nantinya. 
Mbah Kawit yang sering dipanggil “dhanyange” oleh Lik Bismo dan Bibit karena dia generasi pertama yang tinggal di tanah magersari yang masih hidup, adalah salah satu yang getol mempertahankan tanah magersaren. Dia hanya berpatokan pada wasiat Pak Darso, bahwa tanah itu tak boleh dijual. Perempuan itu menganggap, awal bencana sudah terlihat sejak sumur sebagai sumber kehidupan itu sudah mulai disalahgunakan. Dikencingi, tempat berkeluh kesah, jadi tempat sampah, yang semestinya menjadi pantangan. 
“Sumur kuwi ora nggo buang pauwan. Nanging sumber panguripan. Yen ngedohi banyu, kuwi ngedohi rezeki,” pesannya. 
Dia pun tak berdaya saat api melahap satu persatu rumah di kampung itu. Namun cita-citanya untuk mati di sana, terpenuhi. (PITO AGUSTIN RUDIANA)


Tentang Teater Lungid

AWALNYA bernama Teater Gapit yang berdiri pada 1981 di Surakarta. Sebuah nama yang diambil dari nama salah satu pintu di Keraton Surakarta, tempat mereka janjian bertemu untuk latihan. Di sana ada nama-nama seperti Kenthut Bambang Widaya SP, si pembuat naskah, juga Pelog Trisno Santosa, si sutradara. TUK sebagai lakon terakhir yang dipentaskan pada akhir 1997, sepeninggal sang penulis skenario yang membukukannya bersama karya-karya lainnya yang sudah pernah dipentaskan. Ada Brug, Suk-suk Peng, Rol, Leng, Dom, juga Reh. Sedangkan Luh belum pernah dipentaskan.
Tapi sejak 24 Juni 2008 lalu, Teater Gapit berganti nama dengan Teater Lungid. Kami cuma tak ingin beromantisme dengan masa lalu. Tapi ingin tetap melestarikan teater berbahasa Jawa yang nyaris belum pernah ada,” kata Budi Prasetyo, pimpinan Teater Lungid.
Lungid sendiri berarti tajam, juga cerdas. Meski ganti nama, namun para pemainnya tetaplah sama. Para pemain yang sudah beranjak menua. (PITO AGUSTIN RUDIANA)