Jumat, 04 Januari 2013

Seni Project Tobong

Potret Pemain Ketoprak di Luar Tobong
 
Selamatkan ketoprak tobong/pitogoestin 04012013
 MENONTON pemain ketoprak tobong beratraksi di atas panggung, tentu sudah biasa. Kostumnya lengkap menggambarkan tokoh yang diperankan. Riasan wajahnya pun tebal biar bisa dilihat penonton dari kejauhan. Pun saat melihat mereka lalu lalang di seputaran lokasi panggung, suatu hal yang biasa. Sama juga saat melihat mereka merias diri, bersendau gurau, atau makan nasi bungkus usai bermain.
 
Namun jika melihat pemain ketoprak lengkap dengan kostum, asesoris, dan make-up tebal membawa setumpuk bata merah di lokasi pembangunan gedung, tentu menggelitik orang untuk bertanya. Atau tiba-tiba nongol di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Atau nongkrong bareng di depan gerbong kereta barang pengangkut bersak-sak semen. Juga si pemain membentangkan tali busur panah bukan di atas panggung, melainkan di atas tanah lapang dengan pesawat terbang yang tengah melintas di atasnya sebagai sasarannya.
 
Terlihat lucu dan aneh. Itu kesan pertama saat melihat pemain ketoprak tobong tidak pada habitatnya. Namun itulah kesengajaan yang ditampilkan duo fotografer berbeda latar belakang negara dan sosial, Helen Marshall dan Risang Yuwono. Helen, seniman fotografer asal Inggris yang mengusung gaya fotografi kontemporer. Risang, fotografer putera dari Dwi Tartiyasa yang mengelola ketoprak tobong yang masih eksis di Kalasan, kabupaten Sleman, DIY yang diberi nama “Kelana Bakti Budaya”. Keduanya bertemu dalam aktivitas fotografi untuk menggarap Project Tobong yang didukung Arts Council England dan British Council dan diorganisir oleh Indonesia Contemporary Art Network (iCAN).
 
“Helen memang menonjolkan teknik displacement, yaitu mengganti ruang atau habitat yang sebenarnya,” kata asisten Helen, Vinka Parhun kepada Tempo, Jumat (4/1).
 
Alasannya adalah ketertarikan Helen pada kehidupan pemain ketoprak tobong yang berpindah-pindah alias nomaden. Di sisi lain, ketoprak tobong adalah salah satu seni tradisi yang masih ada di Indonesia meskipun kondisinya kritis karena nyaris terkikis habis. Kelana Bakti Budaya adalah salah satu komunitas ketoprak tobong yang masih bertahan.
 
“Helen ingin memotret mereka di luar komunitasnya,” kata Vinka.
 
Risang pun mengamini. Bahwa konsep displacement tersebut merupakan antiklise untuk membongkar ambiguitas pemain ketoprak tobong. Sehingga yang diperoleh adalah potret pemain dalam situasi di luar yang biasa dihadapi keseharian.
 
“Ini refleksi kami, bagaimana menggunjingkan tradisi di tengah kondisi zaman yang terus berkembang,” kata Risang kepada Tempo.
 
Saat Tempo menyambangi iCAN di Jalan Suryodiningratan, Jumat (4/1) tempat keduanya memajang karya fotografinya dari 28 Desember 2012 hingga 22 Januari mendatang, tempat itu lengang. Baik Risang dan Helen tak ada di tempat. Menurut Manajer iCAN, Nala Nandana, Helen kembali ke London untuk memperpanjang visa.
 
Action di SPBU/pitogoestin 040112013
 Hanya belasan foto yang dipajang pada setiap sisi dinding di iCAN. Ruangan yang terlampau luas itu pun dilengkapi dengan pajangan perkakas milik para pemain ketoprak tobong yang terlihat tua, kuno, dan using di bagian tengah lantai yang tampak seperti karya instalasi. Ada amben (tempat tidur kecil) yang muat satu orang dengan sprei warna merah. Benda memanjang itu diapit televisi 12 inchi dan radio kuno dari kayu yang sudah berkarat komponen elektriknya. Ada pula bangku warna hijau yang terdapat noda merah laiknya darah.
 
“Itu bangku yang dipakai saat komunitas ketoprak kami saat main di keraton dengan judul Pamit Mati pada 2010,” kata Risang.
 
Pada pagian pojok timur laut ruangan terdapat sekat dari papan dan anyaman bambu yang sudah bolong. Ruangan itu disebut Risang sebagai ruang arsip. Lantaran ada meja dengan tumpukan foto-foto mereka akan aktivitas pemain ketoprak. Juga foto copy kliping koran yang memberitakan pasang surut Kelana Bakti Budaya. Tak ketinggalan sebuah poster besar dengan latar berwarna merah menyala buatan Andre Anti Tank. Poster itu bergambar seorang raja yang duduk merenungi perubahan zaman yang begitu cepat. Sedangkan di sisi kiri atas sang raja menggelantung gambar tali gantungan. Pajangan-pajangan karya-karya itu kian menegaskan kedua fotografer itu, bahwa mereka berangkat dari gagasan yang sama, bahwa seni tradisi ketoprak tobong harus tetap dipertahankan.
 
“Berbeda dengan seniman lain yang menghabiskan staminanya untuk mengeksplorasi karya seninya. Tapi kami menghabiskan untuk mengkonservasi ketoprak tobong,” kata Risang.
 
Proses konservasi seni tradisi ketoprak itu pun mereka lakukan melalui fotografi. Konservasi bangunan tobong, kamar mandi pemain ketoprak, hingga konservasi pemainnya. Risang pun mengakui, bahwa foto adalah pintu masuk bagi komunitas ketoprak tobong kepada masyarakat baru.
 
Pertemuan Risang dan Helen berawal di Toraja sekitar 2-3 tahun lalu. Keduanya mengawali dengan melakukan kolaborasi proyek tentang Toraja pada awal 2011. Kemudian pada akhir 2011 mereka bertemu kembali dan menggarap proyek Tobong tersebut pada pertengahan 2012.
 
“Kebetulan Helen tertarik mengeksplorasi kerja seni secara partisipatoris, yakni melibatkan banyak orang,” kata Risang kepada Tempo.
 
Ketertarikan Helen pada seni tradisi yang masih bertahan yang tak dijumpai di negerinya itu kian memperkuat keinginannya untuk menggarap proyek. Khususnya dengan peran partisipatoris, yakni melibatkan 20 pemain ketoprak tobong yang juga tengah menjalani proses konservasi untuk bisa bertahan. Antara lain melalui fotografi. PITO AGUSTIN RUDIANA

Selasa, 01 Januari 2013

Seni Peaceful in Faith #2

Pengejawantahan Ayat Suci dalam Lukisan
 
Hikayat Bahtera Nuh/pitogoestin 02012013
 Sepintas hanya gelondongan batang pohon tua. Ada lubang di sana sini. Terlihat rapuh dan lapuk. Namun gelondongan kayu itu membentuk laksana sebuah kapal tua yang besar, memanjang, dan tak utuh lagi. Badan kapal itu terdampar pada bebatuan yang surut airnya. Aneka jenis binatang berjalan beriringan melintasi perbukitan dari segala penjuru untuk menuju ke arah kapal tersebut. Itulah kapal Nabi Nuh yang dalam kisah kenabiannya mampu menyelamatkan binatang dan pengikutnya yang mau beriman kepada Allah SWT dari air bah. Perupa Hendra Buana memberinya judul “Hikayat Bahtera Nuh” yang dilukis dengan cat akrilik.
 
Tak cukup puas dengan menyajikan kisah bahtera Nabi Nuh dalam dua lukisan yang berbeda, Hendra kembali mengkesplorasi kisah kenabian lainnya. Ada kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis yang dilukis terpisah pada kanvas yang berbeda. Kisah nabi yang dikaruniai mukjizat berupa kemampuan berkomunikasi dengan binatang. Juga Ratu Balqis yang jelita dengan mengenakan hijab yang menutupi rambut hingga dadanya. Hendra melukisnya dengan judul “Ratu Balqis dalam Fantasi”.
 
“Ini yang membedakan karya saya dengan sebelumnya. Bukan lukisan kaligrafi, tapi lanskap yang saya beri sentuhan ayat suci,” kata Hendra kepada Tempo di Jogja Gallery, Rabu (2/1).
 
Hendra tak membantah, jika selama ini pelukis kelahiran Bukittinggi pada 59 tahun lalu itu dijuluki pelukis kaligrafi. Lantaran Hendra terbiasa bermain-main dengan ayat-ayat suci Al Quran untuk ditorehkan dalam kanvas dalam bentuk kaligrafi. Namun kini Hendra memunculkan bentuk lain. Meski tetap sama dengan bermain ayat suci, namun mengejawantahkan dengan bentuk yang berbeda berupa lukisan panaroma. Muaranya sama, yakni dari ayat-ayat suci Al Quran.
 
“Kalau kaligrafi jelas, itu pasti ada kesan religinya. Kalau lanskap itu diberi sentuhan ayat sehingga ada kesan religi,” kata Hendra.
 
Dalam pameran tunggalnya kali ini, Hendra banyak mengeksplorasi karya-karyanya yang lahir dari kepiawaiannya mengejawantahkan ayat dalam lanskap. Sebanyak 48 karya yang ditampilkannya di lantai I dan II Jogja Gallery itu berawal dari pengejawantahan atas Surat Al Hujurat ayat 13. Ayat surat itu berisi pesan, bahwa Tuhan telah menciptakan manusia bersuku-suku bangsa, untuk mengenal satu sama lain. Dan orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertaqwa. Hendra pun memberi tema Peaceful in Faith #2 dalam pameran tunggalnya kali ini yang digelar sejak 20 Desember 2012 hingga 9 Januari mendatang.
 
“Lanskapnya saya ambil dari kisah-kisah para nabi tentang perdamaian. Ayat itu mengajak kita untuk berdamai dan menghargai perbedaan,” kata Hendra.
 
Meskipun Hendra mulai berpaling pada lanskap, namun tak sepenuhnya menanggalkan kaligrafi. Bait-bait huruf Arab dari cukilan ayat masih disematkan pada beberapa lukisannya. Namun keberadaannya hanya sebagai pelengkap dari lukisan panorama yang lebih dominan.
 
“Soal saya masuk aliran apa, itu terserah penilaian public. Saya enggak melepaskan kaligrafi. Bagaimana pun karya saya total religius,” kata Hendra tegas.
 
Gerindra/pitogoestin 02012013
 Ada sebuah lukisan yang menggelitik di antara karya-karya rupa lainnya yang ditampilkannya. Sebuah lukisan tentang panorama gunung Merapi usai diterjang erupsi 2010 lalu. Ada gunung dan aktivitas penambangan pasir yang dilukiskan dengan truk-truk pengangkut pasir di kawasan sungai di sisi lembah. Namun susunan enam buah huruf yang membentuk tulisan GERINDRA muncul di puncak bukit. Seekor burung Garuda terbang dengan kedua sayapnya yang panjang di atasnya.
 
“Sebenarnya tulisan itu tak ada di sana. Tapi karena Prabowo adalah tokoh idola saya, maka itu cara saya agar lukisan itu bisa sampai kepadanya,” kata Hendra yang memasang harga hingga Rp 290 juta untuk lukisan-lukisan yang dipajangnya itu.
 
Ya, lantaran yang meresmikan pembukaan pameran tunggalnya adalah adik sang tokoh idola, yakni Hashim Djojohadikusumo. Melalui si adik, Hendra berharap lukisan itu sampai kepada si kakak. Rupanya tak hanya Hashim yang pernah membuka pameran tunggalnya. Beberapa deretan nama tokoh nasional pernah didaulat untuk membuka pameran tunggalnya. Ada Mufidah Jusuf Kalla (istri mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla) pada 2005, mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo pada 2006, dan mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim pada 2011.
 
Kurator seni rupa Kuss Indarto menilai Hendra masih meneguhkan identitas dirinya sebagai perupa kaligrafi Islam. Meskipun resikonya, Hendra seolah dipenjara atas gerak kreatifnya dengan label itu. Bahwa jika Hendra tak melukis kaligrafi, maka itu bukanlah Hendra sesungguhnya. Sehingga kembalinya Hendra dengan lanskap-lanskap religinya justru menjadi pengingkaran atas identitas selama ini yang melekat padanya.
 
“Hendra ingin keluar dari kutukan identifikasi publik itu,” kata Kuss.
 
Tak hanya soal corak melukis. Pengingkarannya kali ini juga menjadi petunjuk, bahwa karya-karyanya akan muncul dengan ukuran yang lebih besar. sebut saja karya lukisan yang turut dipajang dalam pameran kali ini yang mencapai panjang 16,30 meter. Lukisan itu terdiri dari delapan kanvas yang disusun menjadi satu kesatuan tema kolosal tentang perdamaian dunia. PITO AGUSTIN RUDIANA