Rabu, 17 Desember 2008

Kisah Mesin Ketik

Yang Bertahan dengan Mesin Ketik 

foto: pitogoestin
TINI (35) semula tak menyangka. Hingga dunia memasuki era komputer dengan teknologi supercanggih, dia masih berkutat dengan mesin ketiknya. Bahkan, perempuan asal Pajangan, Kabupaten Bantul itu mengandalkan pemasukan sehari-hari dari jasa pengetikan dengan mesin ketik sejak 1992. Semula usaha jasa yang dirintis kakaknya itu dimulai di Jalan Gejayan Yogyakarta sejak 1975. Kemudian membuka cabang di ujung Jalan Colombo Yogyakarta pada 1992.
  “Daripada di rumah nggak ada kerjaan,” kata lulusan Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) yang kini jadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) itu saat ditemui Tempo, Rabu (17/12/2008) lalu.
  Namun berkat kesetiaannya terhadap mesin ketik bermerek Olympia yang dipakainya sejak dia bekerja di sana, Tini terbukti tetap bertahan hingga saat ini. Mungkin dia satu-satunya penyedia jasa pengetikan dengan mesin ketik di Yogyakarta. Sebuah profesi langka yang terbilang aneh di tengah-tengah masyarakat yang lebih senang membicarakan soal komputer dan internet ketimbang pita mesin ketik yang terkadang harus diputar manual jika sudah mentok.
  Tempat kerjanya persis di jalan raya yang ramai. Bahkan ruangan berukuran sekitar dua kali tiga meter itu berhimpitan dengan kios-kios serupa yang menjual sapu ijuk, permak jins, reparasi tas, dan sejenisnya. Bahkan orang nyaris tak melihatnya jika betul-betul secara cermat membaca stiker bertuliskan “Pengetikan Mesin Ketik” pada kaca yang mulai kabur.
  “Dulu, di belakang sini masih sawah. UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) belum seluas ini,” kenangnya sambil asyik memencet tuts-tuts mesin ketiknya yang disebutnya jadul alias jaman dulu itu.
  Meski suasana pada saat itu tak seramai sekarang, namun usahanya laris manis bak kacang goreng kala itu. Meski pula usaha-usaha yang serupa ditekuninya juga sebejibun jumlahnya. Maklum, orang belum mengenal teknologi pengetikan canggih semacam komputer. Tak hanya instansi perkantoran yang memanfaatkan jasanya. Paling banyak adalah mahasiswa yang tengah mengerjakan tugas akhir berupa penulisan skripsi. Satu bundel skripsi bisa selesai dalam waktu tiga hari. Kecuali skripsi mahasiswa Fakultas Hukum yang rata-rata tebal.
  “Bisa 125 halaman. Ya, seminggulah,” ucap Tini.
  Tak heran, dia mempekerjakan tujuh orang karyawan di Jalan Gejayan dan tiga orang di Jalan Colombo. Satu orang karyawan digaji Rp 75 per lembarnya. Harga selembar kertas berisi ketikan pada 1992 ada Rp 350. Kemudian naik menjadi Rp 700 per lembar pada 1993 dan Rp 1.000 pada 1995. Dirinya pun termasuk orang yang ikut mengetik berkat menimba ilmu mengetik dari sekolah.
  “Dulu sering ikut lomba mengetik lho,” kata Tini tersipu.
  Untuk menjadi karyawannya, tak terlalu sulit persyaratannya. Tak perlu bisa benar-benar mahir mengetik, seperti tak perlu melihat tuts saat mengetik. Yang terpenting, bisa mengetik dengan bagus.
  “Pakai dua jari juga nggak masalah,” katanya yang menurut dia, persoalan teknis itu bisa dilatih.
  Standar ukuran bagus yang diterapkan adalah bisa mengetik standar dengan ejaan sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Yang agak sulit adalah memahami standar pemenggalan kata.
  Lain dulu, lain sekarang. Jalan Colombo bukan jalanan yang sepi lagi. Lalu lintas hilir mudik di depan kiosnya tiada henti. Namun usaha Tini terlihat sepi. Di dalam kiosnya pun, hanya Tini seorang diri tanpa seorang karyawan pun. Sebuah suasana yang berangsur-angsur dialaminya sejak 1994, persisnya sejak orang mulai mengenal komputer.
  “Skripsi sudah pakai komputer, meski belum semua,” kata perempuan berkerudung itu.
   Omset pengetikan pun berangsur menurun. Jika semula bisa mencapai 50 pesanan per harinya, kini paling banter hanya 10 pesanan. Tak heran jika satu per satu karyawannya undur diri karena usaha yang kian sepi peminat. Meski harga satu lembarnya sudah mencapai Rp 2.000 saat ini.

foto: pitogoestin
Hingga akhirnya tinggal Tini yang bertahan seorang diri. Di sebuah ruangan dengan temboknya yang berlubang sana sini, juga kayu-kayu di langit-langit yang terlihat lapuk. Saat masuk ke kiosnya pun terasa seperti memasuki bangunan musium. Tampak tumpukan berkas-berkas yang terjilid rapi di atas lemari terlihat berdebu. Dua buah kursi usang dengan kaki-kakinya yang sudah tersambung dengan kayu lainnya lantaran patah, seolah kian berat menyangga beban tumpukan buku di atasnya. Tini pun menyimpan sebuah mesin stensil kuno dan mesin pembuat lubang kertas yang tak kalah kuno pula. Terakhir, mesin stensil itu bisa dioperasikan pada 1997. Belum lagi, kurang dari 10 mesin ketik aneka ukuran dan merek tersusun rapi di atas meja di sisi utara. Ada yang terliht masih baru, ada pula yang sudah butut.
  “Itu mesin ketik yang saya repasi, ada juga yang dijual,” akunya yang juga menjual pulsa handphone di kiosnya.
  Harga jasa servis mesin ketik mencapai Rp 30.000. Biasanya, keluhan pelanggan adalah jika ada kawat string yang putus atau salah satu tuts huruf yang hilang. Apesnya lagi, mencari spare part mesin ketik tak segampang dulu. Tak semua toko menjualnya. Begitu pun, tak semua toko alat tulis menjual pita mesin ketik. Lantas, apa akalnya?
  “Saya beli mesin ketik bekas untuk diambil onderdilnya,” ucapnya sambil tersenyum.
  Mesin ketik bekas yang dibelinya dan sudah diperbaikinya ada juga yang dijualnya. Harganya berkisar Rp 170.000 hingga Rp 180.000.
  Di sela-sela kesunyiannya, tetap saja ada yang mencari dan membutuhkan jasanya. Seperti pagi itu. Tini yang biasa membuka usaha pukul 08.00 hingga 17.00 WIB itu ternyata telah kedatangan antrean empat orang pelanggan.
  “Susah kalau ngisi kolom-kolom dengan komputer,” kata Wiji, karyawan Dinas Pendidikan Provinsi DIY kala itu yang tengah mendapat tugas kantor.
  Begitu pun dengan Adi, mahasiswa Jurusan Manajemen UNY yang sebentar lagi diwisuda. Dia juga menggunakan jasa Tini untuk mengetik formulir kelulusan.
  “Biar nggak rumit,” tukasnya.
  Tini pun belum berniat untuk meninggalkan usahanya dan beralih ke usaha lain, terutama pengetikan dengan komputer. Dia masih yakin, rezekinya berasal dari mesin ketiknya yang setia dan belum pernah sekali pun diganti hingga kini. Lalu, apa resepnya bisa bertahan?
  “Jangan sampai saya jutek sama orang,” jawabnya lagi-lagi sambil tersenyum, biar pun penghasilannya hanya Rp 25.000 per hari. (PITO AGUSTIN RUDIANA)