Jumat, 10 Juli 2009

Sosoh Alat Tenun Bukan Mesin

Awalnya, Cukup Merogoh Rp 15 Ribu Satu Set 
foto: pitogoestin

TANGAN keriput Tumiyem memasukkan pilahan batang enceng gondok di sela-sela benang tenun warna hijau tua. Bersamaan dengan itu, kedua kakinya menginjak semacam pedal hingga celah di antara dua barisan benang itu membuka. Dengan tangan keriputnya pula, perempuan tua usia 60 tahun itu menarik batang loket hingga batang-batang lidi itu merapat pada barisan benang. 

Thak, thek, thok. Thak, thek, thok.... 

Begitulah terus-menerus Tumiyem mengulangi aktivitasnya dengan mengandalkan gerak tangan dan kakinya. Lantaran semua bagian alat tenun yang dipergunakannya dari kayu. Tak bermesin hingga tak cukup memencet tombol listrik dengan jari untuk menjalankan mesin tenun. Alat tenun dari kayu yang lebih dikenal dengan sebutan alat tenun bukan mesin (ATBM) itu tetap awet sejak 1950-an yang dipergunakan para pengrajin kain tenun di Dusun Gamplong, Desa Sumberrahayu, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman.

 “Wah, lama sekali, sampai anak-anak saya habis (sudah mandiri) semua,” kata Tumiyem menuturkan lamanya waktu dia bekerja di sana, 10 Juli 2009.

 Tumiyem dan teman-temannya yang rata-rata berusia lebih dari paruh baya itu akan berhenti saat makan siang tiba. Atau pun ketika kain tenunannya selesai dibuat. Untuk menghasilkan kain tenun dengan panjang 10 meter, Tumiyem membutuhkan waktu satu setengah hari. Sedangkan waktu kerjanya dari pukul 08.00 WIB hingga 15.00 WIB atau 17.00 WIB. Waktu pembuatan kain tenun akan terhambat kala benang tenunnya terputus.

 “Itu kendalanya. Tapi bisa diatasi tanpa harus kursus khusus,” kata Tumiyem yang mengaku hanya belajar secara otodidak dengan melihat dan mencoba untuk mengoperasikan ATBM.


foto: pitogoestin
 Cukup uzurnya usia ATBM, tak heran jika alat tenun dari kayu yang berada di ruang seluas sekitar 10 x 7 meter di rumah Sumiyati, pemilik usaha tenun rumahan “Nopi Craft” itu terlihat usang. Debu dan jaring laba-laba banyak menghiasi bagian atas ATBM yang jarang dipakai. Bagian ATBM yang sering dipergunakan pun telah banyak ditambahi dengan kain usang yang diikat sedemikian rupa dari bagian satu ke bagian lain untuk menggerakkan pedal naik dan turun. Sebelumnya, alat penggerak pun berupa kayu kecil yang berfungsi sebagai tuas.

 “Semuanya memang dari kayu, kayu jati,” kata Sumiyati.

 Lantaran dari kayu pula, tak ada toko yang menjual onderdil jika ATBM rusak.

 “Cukup memanggil tukang kayu,” kata Sumiyati.

 Usaha tenun dengan ATBM di Dusun Gamplong merupakan usaha turun-temurun yang berlangsung di rumah-rumah penduduk. Seperti Sumiyati yang meneruskan usaha orangtuanya semenjak 1975 dengan ATBM yang telah ada sejak 1950. Ataupun Walludin yang melanjutkan usaha ayahnya sejak 2001. Para pengusaha kain tenun di Gamplong yang kini berjumlah 24 orang membeli ATBM dari Dusun Ceper, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yang semula juga dikenal menggeluti usaha pembuatan kain tenun. Menurut Walludin, lantaran usaha di sana mulai surut, maka banyak ATBM yang dijual. Warga Gamplong yang termasuk pembelinya.

 “Mungkin karena orang Yogyakarta terkenal suka membuat aneka kerajinan,” kata Walludin mengemukakan alasan membeli ATBM dari Klaten.

 Harga ATBM saat itu relatif murah. Pada 1975, harganya hanya Rp 15.000 tiap satu setnya. Sedangkan pada 2001, harganya sekitar Rp 400.000. Kini, harga ATBM bisa mencapai Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta. Untuk mengangkutnya saja tak perlu menyewa mobil bak terbuka. Cukup diurai komponennya, lalu diangkut dengan sepeda motor, barulah dirakit kembali ketika sampai di tempat tujuan. Kesetiaan pengusaha tenun Gamplong menggunakan alat tenun dari kayu cukup teruji. Bahkan hingga kini, tak ada satu pun yang membuat kain tenun dengan menggunakan mesin.

 “Saya malah belum tahu, membuat tenunan dengan mesin seperti apa,” kata Walludin.

 Berbeda dengan Sumiyati yang menilai pembuatan kain tenun dengan mesin justru menghilangkan ciri khas kain tenun itu sendiri. Meski pun penggunaan mesin mempercepat proses produksi kain tenun. Kain tenun hasil olahan mesin terlihat rapat, sehingga tak jauh beda dengan kain-kain biasa pada umumnya. Selain itu, harga alat bermesin itu pun tentunya lebih mahal.

 “Kain tenun hasil manual terlihat rongganya. Itu justru ciri khas kain tenun,” kata Sumiyati.

 Lantaran digerakkan secara manual pula, lebih banyak pekerja pembuat kain tenun dengan ATBM rata-rata perempuan dan berusia lanjut. Menurut Walludin, karena pembuatan kain tenun tersebut membutuhkan kesabaran dan keuletan. Seperti memasukkan bilah-bilah asesoris kain tenun satu per satu di antara benang-benang pintalan. Asesoris yang bisa berupa potongan batang enceng gondok, batang lidi, akar wangi, daun pandan, atau pun mendong itulah yang membuat kain tenun terlihat bervariasi motifnya. Ada yang bergaris-garis, kotak-kotak, atau membuat motif bunga.

 “Yang muda cenderung nggak sabaran, makanya banyak yang memilih kerja lain,” kata Walludin. (PITO AGUSTIN RUDIANA)

 

 
Dari Benang Pintal hingga Eceng Gondok
 

Hanya berbekal alat tenun dari kayu yang digerakkan secara manual, para pengusaha kain tenun dan pekerjanya yang menjalankan usaha turun-temurun di Dusun Gamplong, Desa Sumberrahayu, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman itu dapat menyambung hidupnya. Bermula dari pembuatan stagen alias kain panjang untuk merampingkan perut yang merupakan produk awal kain tenun Gamplong. Hingga kini beralih penghasil kain tenun untuk bahan kerajinan tangan seperti tas, alas piring, alas meja, maupun sampul kulit kotak pensil, boks buku, dan sejenisnya.

 “Beralih ke kerajinan sejak krisis 1997,” kata Sumiyati maupun Walludin.


foto: pitogoestin
Alasannya, harga benang pintal yang didatangkan dari Semarang itu semakin mahal. Kenaikannya hingga 300 persen. Satu pak benang yang semula seharga Rp 60.000 meningkat menjadi Rp 180.000. Padahal, satu bal terdiri dari 40-an pak benang. Benag-benag pintalan itu dijemur di bawah terik panas matahari terlebih dahulu sebelum digunakan. Bisa pula diberi pewarna sesuai keinginan. Dengan beralih ke produk kerajinan, maka benang pintal bukanlah satu-satunya bahan baku tenun. Melainkan bisa dikombinasikan dengan enceng gondok, akar wangi, mendong, daun pandan, juga lidi. Para pengusaha tenun itu menjual kepada pengrajin yang juga berasal dari Yogyakarta dalam bentuk lembaran seharga Rp 10.000 – Rp 70.000. (PITO AGUSTIN RUDIANA)