Rabu, 15 April 2009

Klangenan Pasar Kotagede

Tiang Pancang dari Rel Kereta Api

foto: pitogoestin
WAJAH pasar sebagai pusat perekonomian serasa tak lekang tergambar di Pasar Legi Kotagede. Pasalnya, perputaran roda dari waktu ke waktu tak membuat pasar tradisional di Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta itu mati. Sedari pagi hingga kembali ke pagi lagi, pasar itu tetap meriakkan tanda-tanda kehidupan. 
“Pasar Kotagede itu dua puluh empat jam,” kata Rustandi, pedagang sembilan bahan pokok (sembako) yang berjualan di sana sejak 1974 kepada Tempo, Rabu (15/4/2009). 
Kehidupan yang tak surut itu bisa dilihat sejak kedatangan bakul-bakul sayuran di pasar peninggalan kerajaan Mataram. Mereka datang seiring mobil-mobil bak terbuka yang mengangkut aneka jenis sayuran dari berbagai daerah pada pukul 02.00 WIB. Aktivitas jual beli pun berlanjut hingga pukul 12.00 WIB siang. 
Di dalam pasar pun tersebar berbagai macam jenis barang tradisional yang ditawarkan dan dijual. Meski masih terlihat acak, pembeli tak begitu sulit menemukan barang-barang yang dicarinya. Semisal, di bangunan ujung selatan adalah tempat dijualnya berkarung-karung arang. Kondisi yang terlihat kumuh pun terlihat di arena penjualan bahan bakar yang masih banyak dipergunkan masyarakat Kotagede itu. Menyisir ke arah utara mulai dijual bumbu pasar dan sayuran. Tak ketinggalan los daging yang menempati bangunan tersendiri di tengah pasar. Kemudian aneka perkakas dapur, mulai dari besek, tampah, tusuk sate, dan sebagainya dijual di sisi timur. Juga sembilan bahan pokok (sembako) dan perhiasan emas yang banyak disediakan di kios-kios pasar yang melingkar di sisi luar dari utara ke barat. Sedangkan pakaian, sepatu, sandal dijual di sisi luar pasar sebelah timur. 
Pergantian waktu pun mengiringi pergeseran jenis barang yang dijual. Meski kios-kios masih buka seiring lorong di dalam pasar kian sepi, keramaian bergeser ke pelataran pasar di sisi utara dan barat. Aneka jenis sayuran dan bahan mentah makanan lainnya yang dijual pagi hari telah berubah menjadi bermacam-macam makanan jadi untuk dijual sore hari. Para pedagang menjualnya dengan gerobak dorong. Ada gerobak isi klepon dan getuk, ada gerobak gorengan, gerobak gudeg, dan sebagainya. Jika menginginkan lauk dan sayur untuk teman makan malam hari pun disediakan mbok-mbok bakul pecel, gudangan, juga cap jay. Atau merindukan jajanan tradisonal serupa ketela rebus, singkong rebus, pisang rebus, kacang rebus, gatot, tiwul, gerontol, juga entok-entok (jajanan dari jagung yang ditumbuk dan dicetak bulat-bulat), tersedia pula. 
“Harganya murah dan banyak. Beli gatot dan tiwul Rp 1.000 nggak habis, bisa dibagi tiga bungkus,” kata Mohammad Natsir, warga asli Kotagede yang menjadi Ketua Yayasan “Kantil”, lembaga pengembangan sni budaya Kotagede. 
Tak ketinggalan jajanan-jajanan pasar yang menempati lapak-lapak di sudut barat laut yang menyediakan arem-arem, putu ayu, wajik, lemper, juga kipo dari kata “iki opo”, makanan khas Kotagede. 
“Kalau hari biasa, kami buat 250-an bungkus, kalau hari minggu sampai 500-an,” kata Amanah, penjual kipo yang meneruskan usaha neneknya, Jito yang hidup semasa penjajahan Jepang. Harganya pun murah, sebungkus Rp 500 yang berisi lima biji. 
Sekitar pukul 21.00 WIB ke atas, jenis makanan yang ditawarkan pun berubah, mengikuti selera pembeli malam hari. Sebutlah aneka wedang, seperti wedang ronde yang dijual Rp 2.500 per mangkuk, juga wedang kunir asem Rp 1.500. Tak lupa angkringan yang menyediakan nasi kucing beserta lauknya. Tak sekedar datang mampir ngombe, pelataran pasar pun dijadikan ajang ngobrol aneka topik. Diterangi nyala lampu dengan stop kontak yang dipasang di pepohonan depan pasar dengan kabel yang berseliweran di atasnya. Kehangatan sajian malam itu akan menemani hingga para bakul sayur kembali berdatangan. 
“Makanya, kami berencana menjadikan pasar Kotagede sebagai wisata kuliner malam hari,” kata Natsir yang mengaku tengah melakukan pembahasan dengan beberapa pihak yang peduli untuk merealisasikan rencana itu. 
Rencana tersebut tak lebih dari sebuah upaya untuk menegaskan kembali pasar tradisional tersebut, tak hanya sebagai pusat ekonomi, namun juga pusat peradaban Kotagede. Mengingat Kotagede sendiri menjadi kawasan yang sempat ‘hilang’ sejak keraton berpindah dari Kotagede ke Pleret, kemudian ke Kartasura dan ke Surakarta. Jenis-jenis barang dan makanan yang dijual cukup mencerminkan peradaban masyarakat yang mendiami kawasan tersebut. Begitu pula aktivitas dan karakter masyarakat di dalamnya. Terbukti, papan bertuliskan “Pasare resik, atine becik, rezekine apik” tertempel di beberapa bagian dinding pasar. Meskipun kondisi pasar yang kumuh, kotor, dan bau masih terlihat di beberapa sudut pasar. 
“Kita lupa, bahkan mengabaikan bahwa Pasar Kotagede ini situs sejarah,” tandas Natsir.

foto: pitogoestin
Sisa-sisa peninggalan sejarah itu bisa dilihat dari empat bangunan di sana. Bangunan pasar itu sendiri yang lokasinya di sebelah utara alun-alun Kerajaan Mataram. Ada monumen atau tugu peringatan jumenengan Sultan Hamengku Buwono IX yang dibuat masyarakat setempat tertanggal 18 Maret 1940 yang terletak di sisi timur laut pasar dengan aksara Jawa. Kemudian gardu listrik (aniem) peninggalan pemerintah kolonial Belanda di sisi barat laut dan monumen jumenengan Paku Buwono X.
 
Upaya yang telah dilakukan antara lain mengembalikan bentuk bangunan pasar, monumen, serta gardu listrik seperti asalnya berbekal dokumentasi foto pribadi tahun 1971. Menurut Natsir, gempa 2006 yang merobohkan bangunan bagian depan pasar dan tugu monumen itu menjadi kesempatan untuk melakukan konservasi bangunan cagar budaya itu seperti sedia kala. Dari sanalah, Natsir mengaku diingatkan. Bahwa bangunan pasar tradisional itu menggunakan konstruksi dari rel kereta api yang terbuat dari baja. Konstruksi-konstruksi tersebut masih terlihat pada langit-langit atap bagian dalam bangunan, maupun kosntruksi los-los pasar di dalamnya. Hal tersebut dibenarkan Rustandi yang menilai besi-besi baja itu adalah peninggalan Belanda. 
“Kami diingatkan, bahwa konstruksi dari rel kereta api itu keunikan pasar Kotagede,” kata Natsir. 
Kini, wajah pasar itu kembali ke bentuk lama. Termasuk menghilangkan pagar pembatas dari kawat berduri, sehingga tak ada lagi sekat-sekat antara pasar dengan manusia di sekitarnya. Meskipun, diakui Natsir, proses konservasi itu membutuhkan waktu yang tak sedikit. 
“Minimal 20 tahun,” kata Natsir. (PITO AGUSTIN RUDIANA)
 
   
Kini Disebut Pasar Legi Kotagede
 
Saat Ki Ageng Pemanahan atau kakek buyut Sultan Agung Hanyakrakusuma melakukan babat alas Mentaok, yang kemudian menjadi cikal bakal Kotagede, pasar menjadi bangunan pertama yang dibangun sebagai pusat ekonomi seiring bangunan rumah-rumah warga di sebelah utara pasar. Baru kemudian menyusul bangunan keraton, alun-alun di selatan pasar, dan masjid. Begitulah konsep catur gatra yang menjadi ciri khas bangunan keraton Hindu kuno, termasuk Kerajaan Mataram.
foto: pitogoestin
Laiknya pasar-pasar tradisional lainnya, pasar Kotagede mempunyai puncak keramaian sendiri, yakni tiap pasaran Legi hingga kini. Dengan alasan itu pula, Muhammad Natsir bersikukuh mengubah nama Pasar Kotagede menjadi Pasar Legi Kotagede pascagempa 2006 lalu. Sekaligus untuk membedakan dengan Pasar Gede dan Pasar Legi di Surakarta yang mempunyai usia historis jauh lebih muda ketimbang Pasar Legi Kotagede. Nama itu pula yang kini menghiasi atap depan pasar yang tengah memasuki tahap konservasi bangunan cagar budaya. Apalagi, Sultan Agung sebagai Raja Mataram ketiga (1612-1645) merupakan sosok penemu penanggalan Jawa. 
“Jadi Legi bukan sekedar pasaran, tapi konsep pemerataan ekonomi,” tandas Natsir.
Pemerataan ekonomi terlihat lantaran untuk pasaran selain Legi, keramaian bergeser ke pasar-pasar tradisional lainnya. Sayangnya, konsep itu mulai bergeser pada prinsip kapitalisme untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, tanpa mau berbagi dengan yang lain. Terbukti, saat pasaran Legi tiba, masih banyak pedagang yang berjualan di luar kawasan pasar. Padahal pasar adalah kawasan yang menjadi hak bagi pedagang untuk berjualan, pun ketika hari pasarannya tiba. (PITO AGUSTIN RUDIANA)