Kamis, 29 Mei 2008

Klangenan Sriwedari

Riwayatmu...

foto: pitogoestin

SLAMETO WS (59) kembali melemparkan kailnya ke dalam kolam yang airnya berwarna kuning kehijauan di depannya. Tali pancingnya diulur panjang demi bisa menggapai air kolam yang terlihat jauh dari permukaan kolam. Sembari menjepit pangkal tongkat pancingnya dengan sebelah telapk kakinya agar tak jatuh ke kolam, kedua tangannya yang telah keriput dimakan usia mulai memain-mainkan pelet. Umpan ikan berwarna cokelat mudah itu diberinya sedikit air agar sedikit lembek, lalu dibuatnya menjadi bulatan-bulatan kecil. Selanjutnya menunggu giliran jika umpan pertama tak terlahap mulut ikan yang diburunya.
Tak jauh beda dengan karibnya, Haryadi (52) yang duduk di sebelahnya. Entah sudah berapa batang rokok habis diisapnya sembari menunggu mata kailnya bergerak karena tersentuh mulut ikan-ikan di sana. Toh, kantong plastiknya masih juga kosong. Sebelah kakinya ditekuk dan didekapnya di dada. Sebelah lagi dijulurkan ke kolam seolah ingin menggapai permukaan air kolam. Namun kian jauh tak tergapai karena kian dangkal. Sedangkan dasar kolam yang semestinya terlihat jelas, kian buram oleh kumuhnya sampah dedaunan dan warna air kolam yang tak lagi jernih. Sementara itu, dua orang bocah seusia anak SMP mulai menghitung ikan-ikan Red Devil di dalam kantung plastik bening ukuran satu kiloan. Ada tiga ikan hias warna merah yang berhasil dipancingnya dan siap untuk mengisi akuarium di rumahnya.
“Dulu kedalaman airnya semeter lebih. Bahkan waktu SMA, saya suka berenang di sini,” kenang Slameto membuka perbincangan akan Taman Segaran, sebuah kolam yang berbentuk melingkar di komplek Sriwedari Solo itu, 29 Mei 2008.
“Jembatan itu dulunya dari kayu, sekarang sudah jadi beton. Terus pagar di sisi selatan itu dulu hanya dari kawat berduri, bukan tembok seoerti sekarang. Dulu saya suka ke sini mbrobos dari situ, biar nggak bayar tiket,” lagi-lagi pensiunan tukang wara-wara film keliling itu berkisah.
Rupanya Sriwedari begitu lekat dalam kenangan masa mudanya. Pun kini, menjelang senja yang dihabiskannya untuk memancing ikan di Taman Segaran. Meski pun tak harus ada seekor ikan yang dibawanya pulang.
Jika dilihat, Segaran adalah satu-satunya bangunan di Sriwedari yang menandakan kedekatannya dengan alam. Belum lagi pepohonan asem juga beringin dengan daunnya yang rimbun memayungi tepian kolam. Saban hari, meski jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari, ada saja pemancing yang di sana. Rata-rata kaum adam, baik tua mau pun anak kecil. Mereka duduk berjejer di tepian Segaran dengan peralatan masing-masing. Hanya itu, aktivitas yang masih bisa dilakukan di Segaran. Tak lagi bisa berlayar dengan perahu kecil karena kedalaman air yang dangkal. Pun menyisakan sebuah perahu kecil yang dibiarkan terapung-apung di tengah kolam dan sebuah dermaga kecil di ujung barat yang tak lagi berfungsi.
Sementara itu, di sebuah daratan kecil yang dibuat tinggi di tengah kolam --laiknya Pulau Samosir di Danau Toba—yang disebut Taman Kapujanggan, tampak sebuah bangunan kecil yang kini menjadi gudang. Dua bua jembatan yang dibuat melengkung di sisi utara dan selatan menjembatani pengunjung yang ingin ke sana. Menurut Slameto, dulu bangunan tersebut dibuat asri dengan alunan musik keroncong yang dimainkan para musikus tunanetra. Tak hanya itu, para raja dari Kasunanan Surakarta sering berkunjung ke sana pada malam ke-21 pada bulan puasa atau malam Lailatul Qadar untuk bersemedi di Gua Swara yang ada di bawahnya. Yakni sejak masa Paku Buwono X dan tak lagi berlangsung pada masa Paku Buwono XII. Itulah mengapa Sriwedari, konon adalah tempat wisata raja-raja Surakarta sehingga sempat akrab disebut dengan Kebon Raja.
Berdasarkan sejarah, sebagaimana dikemukakan budayawan Surakarta, Kalingga, bahwa bangunan awal di Sriwedari adalah Gedung Kadipolo yang kini menjadi Museum Radya Pustaka yang berada di sebelah timur Taman Segaran, serta Segaran itu sendiri. Tanah Gedung Kadipolo diambil dari tanah sitihinggil, sedangkan air di Taman Segaran dialiri langsung dari mata air di Pengging, Kabupaten Boyolali. Pembangunan Sriwedari sendiri dimulai pada 1 Januari 1901 pada masa pemerintahan Paku Buwono X.
“Pentas wayang orangnya sudah ada sejak 1907. Sedangkan untuk bioskop sudah ada sejak ada gambar sorot bisu (film bisu). Mulai 1927 juga diramaikan maleman Sriwedari dengan semacam pasar malam. Ya, setelah malam 21 puasa itu,” tutur Kalingga.
Ditambahkan oleh Kepala Sie Pelayanan dan Informasi Wisata Dinas Pariwisata Solo, Mufti Raharjo, pembangunan Sriwedari sendiri yang berdiri di atas lahan seluas sekitar 10 hektar itu diilhami adanya taman untuk konservasi alam yang dibangun Belanda di Bogor. Sedangkan nama Sriwedari diambil dari istilah surga atau taman yang indah sekali dalam dunia pewayangan. Sebagaimana pernah dikemukakan Slameto, bahwa nama itu ada dalam kisah pewayangan Sumantri dan Sukasrana.
“Jadi pada masa PB X itu sangat memperhatikan konsep keseimbangan alam. Makanya Sriwedari pun dibangun dengan konsep tersebut. Yakni taman yang dijadikan sebagai hutan kota sekaligus resapan air. Itu bisa dilihat dari Taman Segaran. Dulu, air dari umbul Pengging itu mengalir terus,” tutur Mufti.
Pada 1980-an, Walikota Solo kala itu melakukan revitalisasi. Antara lain, memindahkan kebun binatang ke Taman Jurug. Dan Walikota sekarang, Joko Widodo pun berniat untuk merevitalisasi Sriwedari kembali ke konsep awal, sebagai konservasi alam. Hanya saja, kapan terealisasi, belum ada kepastian. 
foto: pitogoestin
Namun jika ditilik dari bangunan di atas lahan seluas sekitar 10 hektar itu, memang tak hanya Taman Segaran yang menjadi ciri khas Sriwedari. Dimulai adanya stadionnya sebagai ajang pertandingan sepakbola. Bahkan Pekan Olah Raga Nasional (PON) kali pertama di Indonesia pada 1949 digelar di sana. Di sebelah timurnya adalah taman hiburan rakyat (THR). Di sana biasa digelar pentas musik dangdut dengan grup musik yang rata-rata dari kawasan lokal. Kebanyakan adalah kaum muda mudi yang rela berjubel demi bisa bergoyang di sana.
Di tempat itu pula menjadi jujugan utama anak-anak usia bawah lima tahun (balita) hingga sekolah dasar (SD). Pasalnya, aneka permainan seperti komidi putar, bom bom car atau yang biasa mereka sebut mobil senggol, dan sejenisnya ada di sana. Tempat tersebut mulai ramai dikunjungi pada akhir pekan, kala anak-anak libur sekolah.
Di sebelahnya lagi adalah kawasan dimana bangunan-bangunan untuk berkesenian dibangun. Saat datang, pengunjung disambut oleh gapura dengan loket karcis yang terlihat sepi pada hari-hari biasa. Namun sejak malam Minggu hingga Minggu malam, siapa yang ingin masuk harus merogoh kocek sebesar Rp 1.000. Sebuah pendapa untuk aneka pentas seni, seperti teater atau pun wayang kulit berada di sisi tengah, usai lokasi parkir mobil. Di depan pendapa bertengger patung Gathotkaca yang tengah memangku istrinya, Pergiwa dalam lakon wayang “Pergiwa Pergiwati”.
“Patung itu untuk menghormati Pak Rusman dan Bu Darsi. Keduanya adalah pemain lama wayang orang yang sangat disegani yang sering memainkan lakon Gathotkaca dan Pergiwa. Tapi Pak Rusman sudah meninggal dunia,” tutur Welas (52), pedagang kupat tahu yang mangkal di sana sejak 1979.
Nasib patung yang dipoles dengan cat kuning keemasan itu terlihat tak terawat. Sebelah tangan Pergiwa buntung hingga ujung lengan dan sebelah tangan Gathotkaca putus hingga pangkal lengan. Tak jauh beda dengan kondisi pendapa yang catnya terlihat kusam. Pendapa itu sendiri lebih banyak dipergunakan pengunjung untuk beristirahat karena kelelahan, sekedar ngobrol dengan rekan, atau membaca koran.
Sedangkan gedung wayang orangnya itu sendiri terletak di sisi belakangnya. Kondisinya pun tak terlalu bagus. Atap gedung yang terbuat dari papan triplek, sebagian sudah terlihat menganga. Sungguh pun demikian, Gedung Wayang Orang Sriwedari itu merupakan gedung kesenian yang paling aktif digunakan ketimbang bangunan seni lainnya di sana. Tiap malam, mulai pukul 20.00 WIB hingga tengah malam, sebuah pentas wayang orang pasti dipertunjukkan. Bahkan sebuah jadwal pentas dengan lakon yang berbeda telah tersusun dari tanggal satu hingga terakhir dalam satu bulan. Jadwal yang hanya diketik dengan komputer pada selembar kertas putih itu tertempel di kaca meja loket.
“Yang main bagus-bagus, kok. Ya, ketimbang dulu lebih bagus sekarang. Bisa dilihat dari busananya lebih lengkap, tariannya lebih luwes, tata panggungnya juga lumayan. Cuma Rp 3.000,” terang Harmanto (42).
Lelaki nyaris paruh baya itu terlihat duduk-duduk di teras gedung dengan sebuah sepeda ontel di sampingnya. Dia mengaku suka menonton wayang orang di sana, meski harus rela mengayuh sepedanya dari Cemani, Kabupaten Sukoharjo. Di tengah kesendiriannya, dia menikmati suara musik yang terdengar campur bawur dari aneka permainan anak di THR yang ada di sisi baratnya.
“Padahal itu (THR) dulu adalah kebun binatang. Tapi sejak dibangun Taman Jurug, binatang-binatang di situ dipindah ke sana. Masih ingat saya, saat melihat gajah-gajah itu diangkut pakai truk,” akunya sambil tersenyum simpul.
Di sisi utara gedung terdapat area parkir untuk kendaraan roda dua. Pun ditambah bangunan-bangunan berukuran kecil sebagai warung makan. Sayangnya, penempatan bangunan-bangunan itu tak memperhatikan estetika yang baik agar mengesankan. Justru terkesan seadanya.
Jika menginginkan suasana yang sepi, namun tak nyaman, bolehlah berjalan ke arah timur. Di sanalah, bangunan Solo Theatre yang sudah tak lagi memutar film sejak sekitar 1996, masih berdiri. Tak ada sisa-sisa poster-poster film di sana. Siapa pun yang baru kali pertama ke sana, tak menyangka bahwa bangunan dengan dinding depan berupa kaca rayban hitam itu dulunya adalah gedung bioskop. Saat mengintip dari kaca, tampak beberapa meja tak tertata rapi. Tumpukan poster-poster film dibiarkan teronggok di dekat pintu masuk ke studio. Atap langit-langit pun serasa akan jebol karena menganga di sana sini. Dan saat melihat pintu studio yang terbuka, tampak samar-samar beberapa anak tangga yang dilapisi karpet merah menjadi jalan masuk penonton. Selebihnya, gelap.
“Kalau ingin adu nyali ya, di sana (gedung bisokop) itu. Jadi kalau nonton pasar malam, nggak usah ke rumah hantu, ke bioskop itu saja,” gurau Slameto memberi perumpamaan, betapa angkernya gedung itu.
Dia sendiri enggan menjelaskan seperti apa keangkeran yang dimaksud. Dulu, tiap ada film baru, lelaki kurus itu bertugas menginformasikan kepada masyarakat lewat pengeras suara dengan mobil yang membawanya berkeliling. Meski dicap angker, tak demikian bagi beberapa pengemis dan gelandangan di sana. Bahkan mereka memanfaatkan teras bangunan pada sisi barat dan selatan sebagai tempat beristirahat. Lengkap dengan aneka buntalan warna kusam dan kumuh yang bagi mereka tetaplah berguna meski bagi orang umumnya sudah terbuang. (PITO AGUSTIN RUDIANA)