Kamis, 09 Oktober 2008

Kuliner Wajik

Dari "Nyonya Week" hingga "Week"
BERMULA dari tradisi hajatan yang tak pernah lupa menyuguhkan aneka jenis penganan dari beras ketan, seperti wajik yang berwarna cokelat dan jadah yang berwarna putih. Sebuah tradisi yang masih banyak ditemui di pelosok-pelosok pedesaan. Alasan itu pula yang menggugah keinginan Nyonya Ong King Liem untuk membuat penganan wajik yang bisa dipasarkan ke mana-mana. Hingga lahirlah kali pertama penganan wajik komersiil pada 1931 di Desa Salaman, tepatnya di Jalan Salaman Raya, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah atau sekitar sembilan kilometer dari bangunan wisata eks tujuh keajaiban dunia, Candi Borobudur. 

Sepeninggal Ong King Liem, usaha rumahan yang hanya mengandalkan tenaga seorang karyawan ditambah para anggota keluarga itu dilanjutkan salah satu anaknya, Nyonya Ong Gwek Nio hingga 1972. Kemudian secara turun-temurun, wajik khas racikan Nyonya Ong King Liem itu diteruskan cucunya, Ong Hwa Nio hingga 1979, dilanjutkan lagi oleh cucunya yang lain atau kakak dari Ong Hwa Nio, yakni Ong Jow Tjwan hingga 1980. Barulah kini ditangani salah satu keponakan dari Ong Jow Tjwan, yakni Untung Giyanto (54). “Baru pada masa saya, wajik itu diberi nama “Wajik Nyonya Week”,” kata Untung saat ditemui Tempo di kediaman sekaligus toko wajiknya di Salaman, Kamis (9/10/2008). Nama “Week” sendiri diambil dari nama budhenya, yakni Ong Gwek Nio.


“Tapi lidah masyarakat sini sering menyebutnya dengan Week,” kenang Untung, lulusan Fakultas Sosial Politik Jurusan Komunikasi Universitas Diponegoro, Semarang itu. Pemberian nama pun berlanjut dengan pemasangan papan nama berukuran besar yang didesainnya sendiri di toko sekaligus rumahnya yang mungil dan sangat sederhana. Sangat kontras dengan toko-toko oleh-oleh yang berbangunan besar dan megah yang bertebaran di sepanjang jalan raya arah Muntilan hingga Magelang. Diakui Untung, toko-toko oleh-oleh yang menjual produk wajiknya itu telah meminta izin untuk memasang papan nama produknya, meski toko itu bukanlah miliknya. “Kami hanya punya dua toko, di sini (di rumah) dan satu cabang di pertigaan Palbapang,” ucapnya. 

Dalam mendesain huruf maupun background papan nama wajiknya, menurut Untung yang pernah kursus setahun di Jogja Design School itu tak lepas dari semangat nasionalismenya. Maklum, warna merah menyala terlihat mendominasi dengan pulasan warna putih. Alasannya, justru banyak produk dari luar negeri yang tidak menanggalkan identitas kenegaraannya. Dia pun ingin meniru hal itu. 

Tak hanya wajik yang diproduksinya, kala itu juga ada onde-onde, keripik tempe, serta rempeyek kacang. Namun saat tiba di tokonya, para pelanggan lebih banyak membeli wajiknya. Tak hanya pemasaran wajiknya yang kian digencarkan, Untung pun mengubah brand nama wajiknya menjadi hanya “Wajik Week” saja. Mengapa? “Soalnya banyak pembeli yang nanya, lha nyonyanya (Nyonya Gwek) mana?” jawab Untung sembari terkekeh. 

Menjaga kualitas adalah prinsip yang dipegang teguh penghobi fotografi itu. Tak heran, berbagai upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu dilakukannya agar konsumen percaya akan produknya. Misalnya, pantang bagi Untung untuk mengurangi takaran bahan baku wajiknya, meski pun harga bahan pokok naik. Dia lebih memilih untuk menaikkan harga, asalkan konsumen puas karena rasa wajiknya tetaplah sama. Cara pengolahannya pun tetap diikutinya sesuai standar yang digariskan para pendahulunya. Paling tidak, mulai dari merebus santan hingga keluar minyaknya, memasukkan gula kepala cair, lalu memasukkan ketan yang sudah dimasak dan mengaduk semua adonan menjadi satu itu membutuhkan waktu sekitar enam jam. 

“Ibaratnya, kalau 10 kilogram ketan seharusnya diolah selama enam jam, tapi hanya dua jam, apa jadinya?” ucapnya. Pengadukan satu adonan pun dilakukan secara manual di dalam kenceng atau sejenis wajan besar yang dipesan khusus dari Boyolali karena ukurannya berdiameter 70 centimeter. Pengadukan dengan alat, semisal dinamo, menurut Untung yang pernah mencobanya justru tak efektif karena tak kuat. Pasalnya, kian matang, adonan wajik kian liat, sehingga kian berat untuk diaduk.

foto: pitogoestin
Di sisi lain, pemasaran penganan basah semacam wajik, diakui Untung tak lepas dari kendala karena tak tahan lama. Sehingga upaya pemasarannya pun masih sebatas di kawasan Magelang, belum ke luar daerah.

“Karena produk kami tanpa pengawet. Kalau tidak dimasukkan dalam freezer tahan lima hari, jika dimasukkan bisa sebulan dan harus dikukus dulu sebelum dimakan,” paparnya. 
Dengan produk tanpa pengawet itu, maka pihaknya memang sepakat tidak banyak membuat produk dalam sehari. Jika semula hanya lima kilogram ketan sehari, kini dinaikkan sekitar 30 kilogram per hari dengan pemasaran seputar Magelang saja. Pagi diproduksi, harapannya sore hari telah habis. Rasanya pun hanya terdiri dua macam, yakni wajik cokelat dan wajik hijau rasa daun pandan. Wajik-wajik itu dikemas dalam kotak dengan dua ukuran berbeda. Kotak kecil seharga Rp 7.500, dan yang besar seharga Rp 15.000. 

Kini, Untung tak hanya memfokuskan produknya pada wajik yang telah banyak dikenal orang karena teksturnya yang empuk, manis, dan mengandung banyak minyak itu. Dia mulai mengembangkan produknya dengan tambahan produk Getuk Week, Bakpia Week, dan rencananya ada Kerupuk Week. Lantas, bagaimana triknya untuk bisa mengenalkan produk-produknya hingga banyak orang mengenal dan membelinya, mengingat lumayan nun jauh tokonya berada di luar pusat kota? “Yang paling efektif, ya mempersilahkan pada konsumen yang datang untuk mencicipi produk kami,” tandasnya yakin yang pernah pula mengiklankan produknya di radio maupun media cetak.

Trik itu pula diakui Untung diterapkan dalam mengenalkan produk wajiknya hingga sekarang. Siapa pun konsumen yang datang ke tokonya, khususnya yang baru kali pertama mengenal produknya akan dipersilahkan mencicip, meski tak harus membeli. Upaya itu pula yang akan diterapkan untuk produk-produk barunya. “Sopir pengantar tamu juga harus kita beri produk kita,” imbuhnya dengan harapan, suatu ketika si sopir tersebut akan mengantarkan kembali pelanggan baru kepadanya.  
(PITO AGUSTIN RUDIANA)

Kisah Plempungan

Mengais Rezeki dari Selongsongan Peluru

foto: pitogoestin
LAPANGAN Plempungan di kawasan Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, sedari Kamis (9/10/2008) pagi kemarin sudah terlihat ramai. Ratusan orang berbadan tegap dan kekar dengan seragam loreng-loreng warna hijaunya tampak berdiri berjejer memanjang dengan senapan laras panjang di tangan. Sesekali terdengar aba-aba seorang komandan di depannya yang langsung disambut dengan teriakan saling bersahutan dari mereka. Mereka pun melanjutkannya dengan berlari sembari berbaris mengelilingi lapangan.
Di tepi lapangan, puluhan pasang mata memandang latihan militer para taruna Akademi Militer Magelang itu dengan sesekali berdecak kagum. Para pengendara sepeda motor yang melintasi kawasan itu pun rela berhenti sejenak untuk melihat latihan perang mereka. Beberapa kali terdengar suara tembakan beruntun dilepaskan ke arah gundukan tanah yang berdiri memanjang di sisi luar lapangan, dekat perkebunan.
“Maklum, paling nggak tiga kali setahun baru ada latihan,” kata Sandy (16), pemuda berparas tampan dan berambut cepak yang sedari awal menonton di pinggir lapangan.
Sementara itu, menjelang siang, dari kejauhan, tampak berbondong-bondong warga kampung sekitar mendatangi lapangan itu. Kedatangannya pun beragam, mulai dari laki dan perempuan, tua dan muda, bahkan anak-anak di bawah usia sekolah. Tentulah mereka tak sekedar meluangkan waktu kerjanya di sawah sebagai petani untuk melihat tontonan gratis dan menarik yang hampir pada waktunya bisa dinikmati di kawasan desa mereka. Terbukti, berbagai alat pertukangan hingga pertanian, semacam sabit, linggis, cetok, pisau, ember kecil, juga botol bekas minuman mineral dibawanya.
“Mau nyari selongsongan peluru untuk dijual,” sahut Ngudi (85), lelaki renta yang turut bergabung dalam rombongan warga itu.
Menurut Ngudi, kegiatan mencari ratusan, bahkan ribuan selongsongan peluru yang telah dimuntahkan para taruna dalam latihan perang itu sudah biasa mereka lakukan. Bahkan ada koordinasi antara pihak Akmil dengan perangkat desa setempat. Warga setempat mengakui, mereka diizinkan untuk mencari selongsongan peluru yang berupa timah dan kuningan yang terpendam di dalam gundukan tanah itu sekaligus ditugasi untuk merapikan kembali tanah yang sempat longsor akibat untuk latihan itu. Selongsongan peluru itu mereka jual sekitar seharga Rp 17.000 per kilogramnya.
“Ada lho, yang pernah dapat Rp 12 juta,” imbuh Ngudi berbinar.
Hingga kemudian, aba-aba komandan pun menandai berakhirnya latihan itu. Dengan aba-aba sekenanya pula, warga yang sudah siap di tepi lapangan langsung berlari menuju ke arah gundukan, memburu selongsongan peluru demi rupiah.
Tak ketinggalan anak-anak kecil yang ikut mengaduk-aduk tanah hingga lumayan dalam dengan potongan bambu atau kayu. Semangat mereka pun tak kalah dengan kakak-kakak, bahkan ibu dan ayah mereka yang berupaya mendulang rupiah.
“Lumayan, buat ditabung,” aku Aan (11), bocah kelas V sekolah dasar itu sambil tersenyum. Dia memperlihatkan beberapa potong besi kuningan di dalam botol bekas minuman mineral yang diperkirakan bisa membawa pulang selembar Rp 100.000.
“Buat jajan saja,” timpal Nurul (10), adik kelasnya mantap. (PITO AGUSTIN RUDIANA)

Rabu, 08 Oktober 2008

Kuliner Getuk

Awalnya Makanan Khas Magelang
foto: pitogoestin
  AWALNYA dari sepotong singkong yang dibuat getuk, makanan alternatif masyarakat Magelang, Provinsi Jawa Tengah sebagai pengganti nasi sedari zaman Belanda. Apalagi, beberapa daerah di Magelang adalah penghasil singkong berkualitas baik. Semisal singkong dari Desa Candimulyo, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten Magelang. Kala itu, singkong hanya ditumbuk halus, lalu dicetak dengan berbentuk kotak memanjang dan berwarna hitam seperti wungkal, batu untuk mengasah pisau. Tak heran, masyarakat pun menyebutnya dengan getuk wungkal. Sekedar pemanis cukup diberi parutan kelapa atau gula pasir. Makanan bertekstur lunak itu lebih banyak dijual di pasar-pasar tradisional sebagai makanan khas masyarakat menengah ke bawah di Magelang. 
"Mengapa makanan khas itu tidak dinaikkan derajatnya?" tanya almarhum Hendri Samadhana, pendiri perusahaan getuk Trio, getuk komersiil pertama di Magelang, sebagaimana ditirukan anak bungsunya dari tiga bersaudara, Herry Wiyanto (49) saat ditemui Tempo di tokonya di Jalan Tentara Pelajar, Magelang, 8 Oktober 2008. 
Kala itu, Hendri yang sehari-hari membuka bengkel aneka peralatan pertanian, kerap melihat orang menjual getuk wungkal itu di pasar. Yang menarik perhatiannya adalah tektur getuk itu relatif kasar karena hanya ditumbuk secara manual. Terpikir olehnya untuk menciptakan mesin penumbuk singkong yang menghasilkan getuk yang halus demi mengangkat derajat getuk agar citranya lebih baik. 
Akhirnya, dengan bermodal mesin yang dibuatnya, keluarga Hendri mulai membuka
usaha getuk kali pertama pada 1958. Bentuk getuknya saat itu seperti kue rol yang panjang, lalu dipotong-potong. Bagian luar berwarna putih, bagian dalam berwarna cokelat. Saat itu hanya 2-3 kilogram singkong yang dibutuhkan tiap harinya. Hasilnya cukup dititipkan ke warung-warung sekitar, hingga kemudian berkembang di toko-toko.
Gayung bersambut. Pada 1960-an, Magelang kedatangan tamu kehormatan Ratu dari Thailand, Ratu Sirikit. Selain mengunjungi Candi Borobudur, dia juga sempat singgah di Akademi Militer Nasional di Magelang (sekarang Akademi Militer/Akmil). Pihak AMN pun memilih getuk milik Hendri sebagai salah satu makanan khas Magelang yang dihidangkan. 
"Ternyata Ratu senang. Getuk kami pun dikenal masyarakat dengan getuk Sirikit," kenang Herry. 
Getuk Sirikit pun menjadi langganan AMN untuk membekali para tarunanya saat pulang kampung kala cuti tahunan tiba. Getuk itu melanglang buana nyaris ke seantero Nusantara, mengingat para taruna itu berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Hingga lama kelamaan, keluarga Hendri merasa rikuh dengan sebutan nama getuknya yang memakai nama seorang ratu. Akhirnya, dipilihnya nama "Trio" untuk menggantikanya. Nama itu diambil dari nama bengkel vulkanisir ban milik saudaranya yang sudah punya nama. 
"Juga karena anaknya ayah saya ada tiga," sambungnya. 
Begitulah, Herry berkisah bagaimana cikal bakal getuk tak hanya menjadi makanan khas Magelang. Melainkan sekaligus menaikkan pamor Kabupaten Magelang sebagai Kota Getuk. Perkembangannya pun, kian banyak bermunculan usaha getuk-getuk sejenis dengan aneka bentuk di Magelang. Ada getuk Eco, Marem, Kinanti, Kyai Langgeng, Sarinah, Rio, Trio Aroma, dan beberapa lagi. Mereka mempunyai ciri khas sama, yakni dikemas dalam kotak-kotak mungil berukuran sekitar 15 x 15 x 15 centimeter. 
"Dulu dikemas dalam besek (kotak dari anyaman bambu) kecil dan dibungkus dengan kertas sirsak," kata Herry. 
Oleh karena kian sulitnya memperoleh besek yang didatangkan dari Yogyakarta dan kian langkanya kertas sirsak, pada 1970-an mereka mengganti bungkus dengan plastik dan kemasannya dengan kotak kardus. Bentuk getuk yang dijual pun tak lagi sebesar kue rol, melainkan lebih kecil dan dibuat bertumpuk yang terdiri tiga warna dan tiga rasa. Warna kekuningan berasa asli singkong, warna cokelat berasa cokelat, warna merah muda berasa frambozen.
"Pernah mencoba rasa durian, tapi nggak semua suka durian. Ya, sekarang tergantung pesanan dan musimnya," tukasnya yang telah mempunyai dua toko di Jalan Mataram dan Jalan Tentara Pelajar itu.
Uniknya, usaha yang kini diteruskan ibunya, Setyawati (77) dan dikelola bersama Herry itu hanya menghasilkan sedikit produk saban harinya. Hanya 1 kuintal singkong untuk 150 kardus isi 12 biji per kardus tiap harinya. Tak heran, karyawannya pun hanya 10 orang. 
"Prinsipnya, getuk ini harus baru tiap harinya, karena hanya tahan dua hari," tandasnya yang mengaku tak menggunakan bahan pengawet apapun. Getuk yang berwarna putih adalah salah satu ciri getuk yang memakai bahan pengawet.

foto: pitogoestin
Tiap hari pihaknya akan mengirim produknya ke toko-toko langganan, dan tiap hari pula ditarik, habis atau pun tidak. Sebagai penanda, pihaknya memasang label bertuliskan tanggal pembuatan, bukan tanggal kadaluwarsa. Produknya pun dipasarkan seputar Magelang Raya, mulai Kota Muntilan hingga Secang saja.
"Getuk yang berkualitas baik adalah yang kenyal, empuk, dan tidak lengket di mulut kalau dimakan," terangnya membuka rahasia. Getuk semacam itu biasa didapatkan dari singkong jenis kinanti yang kulit luarnya cokelat dan tidak mengelupas, dagingnya berwarna kemerahan, dan ditanam di tanah pasir yang berlumpur.
 Belum lebarnya sayap pemasaran getuk khas Magelang itu pun diakui Andreas Kurniawan Purnomo (34), pengelola getuk "Eco" bersama ayahnya, Ridwan Purnomo (57). Pihaknya lebih banyak memfokuskan pemasaran di seputaran Magelang Raya, ditambah Yogyakarta dan Semarang dengan mengandalkan dua karyawannya yang khusus bertugas untuk berkeliling dari satu toko ke toko lain untuk mendistribusikan produknya.
 "Karena getuk kan khas Magelang," ucapnya memberi alasan.
 Usaha yang dirintis lewat home industry itu dimulai sekitar 1975-an dengan hanya dua orang karyawan. Bahkan hingga saat ini pun, keluarganya masih mengelolanya sebagai industri rumahan pula dengan 20 orang karyawan. Belum ada satu toko pun yang dimiliki, namun cukup dititipkan ke toko-toko lain yang telah menjadi langganan tetap.
 "Bahkan ada toko yang memasang plang sebagai agen resmi getuk "Eco", mereka sendiri yang minta," imbuhnya yang berencana akan membangun sebuah toko taahun depan.
 Pabriknya pun berada di tengah perkampungan padat di Jalan Jambon Tengah di Kabupaten Magelang. Untuk menuju ke sana haruslah melalui gang sempit yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Sebuah rumah yang terletak di belakang rumah yang lain. Pihaknya pun melayani pembelian secara eceran yang langsung ke pabriknya.
 "Harganya lebih murah, kami jual Rp 10.000 per kotak. Kalau di toko, kabarnya sampai Rp 15.000 per kotak," ucapnya yang menamai "Eco" dari bahasa Jawa halus yang berarti enak.
 Sehari ada sekitar 500 kotak dengan isi 16 biji per kotak yang dibuat. Getuknya pun punya kekhasan bentuk kecil memanjang yang terdiri tiga warna dn tiga rasa yang disusun berhimpitan. Ada rasa cokelat, rasa vanila, juga frambozen.
 "Soal rasa, pembeli yang menilai. Menurut mereka masih ada rasa khas singkongnya," terangnya setengah berpromosi.
 Sebagai inovasi, pihaknya pernah menjual getuk dengan rasa yang sama dalam tiga warna kemasan kotak yang berbeda. Ada warna hijau, biru, dan merah. Namun ternyata konsumen lebih memilih kotak warna merah, meski rasanya semua sama.
 "Mungkin ini efek psikologis warna merah ya," celetuknya sembari tertawa. Akhirnya, kemasan kota warna merah menjadi ciri khas getuk "Eco" sampai sekarang.
 Berbeda dengan pihak getuk "Trio" yang sempat merasa tak nyaman ada usaha getuk lain yang mempunyai nama mirip nama getuknya, sehingga sempat menjadi kendala. Bagi pihak getuk "Eco", kian sulitnya untuk mendapatkan singkong adalah kendala besar karena terkait keberlangsungan usahanya. Menurut Andreas, kian tak banyak penjual singkong di pasar-pasar.
 "Mungkin karena usaha keripik singkong juga makin banyak," ucapnya.
 Tak pelak, selain mengupayakan jemput bola dengan mencari singkong ke daerah-daerah lain, pihaknya pun terkadang membeli singkong yang belum cukup umur. Jika masa tanam singkong biasa sekitar 10-12 bulan, terkadang usia delapan bulan sudah dipanen sebelum diburu oleh pihak lain. (PITO AGUSTIN RUDIANA)

Minggu, 05 Oktober 2008

Kuliner Bakpia

Bermula dari Nomor Rumah

foto: pitogoestin
SINGGAH di Yogyakarta terasa tak lengkap jika pulang tak membawa buah tangan berupa bakpia dan gudeg. Begitulah, dua jenis makanan khas Yogyakarta yang turut menambah perbendaharaan wisata kuliner seantero Nusantara. Bahkan, karena kekhasannya pula, nama-nama kampung yang merupakan cikal bakal ketenaran dua jenis makanan itu menjadi tempat wisata kuliner yang terasa kurang jika dikunjungi.
Pathuk. Begitulah orang menyebut sebuah kampung di Kelurahan Ngampilan, Kecamatan Ngampilan, Kota Yogyakarta sebagai kampung bakpia. Di sanalah, sebuah toko bakpia terbesar, Bakpia 75 yang merupakan cikal bakal bakpia di Yogyakarta, berdiri megah. Awalnya hanya sebuah usaha rumahan (home industriy) milik keluarga Liem Bok Sing yang merintis di Jalan Dagen, atau sisi barat Malioboro pada 1948. Kue basah itu asal China itu dijual di rumah, juga dijajakan secara berkeliling oleh dua orang karyawannya. Keterbatasan tenaga membuat keluarga Liem banyak menolak pesanan-pesanan bakpia. Hingga pada 1955, keluarga itu pindah ke Jalan AIP II Karel Sasuit Tubun yang terletak di kawasan Pathuk hingga sekarang. Di kawasan itu pula, mulailah bermunculan industri-industri bakpia, dari yang besar seperti Bakpia 25 yang sering disebut-sebut sebagai kompetitor Bakpia 75, pun industri-industri sedang hingga kecil lainnya, seperti Bakpia 555, Bakpia 21, Bakpia Bu Sri, Bakpia 932, Bakpia 73B, dan sebagainya.
Nama 75 diambil dari nomor rumah tempat bakpia itu diproduksi,” kata Manajer Operasional Bakpia 75, Dwi Yuniati saat ditemui Tempo di tempatnya bekerja akhir pekan silam, 5 Oktober 2008.
Sepeninggal Liem, usaha itu diteruskan anak laki-lakinya, Yeni Susanto. Pesanan dari para pelanggan pun diterimanya, sehingga dia menambah karyawannya menjadi lima orang. Pada 1980-an, bakpia tak lagi dijual dengan berkeliling, tapi dipasarkan di toko-toko yang juga menjual aneka makanan kering khas Yogyakarta. Bahkan pada 1990-an, bakpia yang diproduksinya pun banyak dipesan dari pihak-pihak hotel, pun dari berbagai toko. Usaha pun diteruskan istrinya usai Yeni meninggal. Hingga kini, Bakpia 75 mengembangkan sayap menjadi empat toko. Yakni di Jalan AIP II KA Tubun Nomor 75 dan Nomor 83 yang berdiri berdampingan, serta di Jalan HOS Cokroaminoto 119B dan Jalan Magelang Km 4,5 yang semuanya terletak di Yogyakarta. Proses produksi tak lagi dilangsungkan di rumah, melainkan di toko-toko tersebut yang selain menjadi tempat pemasaran, sekaligus pabrik. Kecuali toko di Jalan Magelang yang hanya menjadi lokasi pemasaran saja. Jika semula hanya mempekerjakan dua karyawan, kini total mencapai 150-an orang karyawan.
Jika semula bakpianya hanya berisi umbu (kacang hijau), sekarang ada cokelat, keju, juga durian.
“Khusus bakpia isi durian diproduksi jika musim durian saja,” imbuhnya.
Alasannya, isi bakpia haruslah dari bahan asli, bukan sekedar aroma, bukan pula buatan. Tak hanya hanya itu, per 29 September 2008 lalu, Bakpia 75 juga memproduksi pia, yakni bakpia kering dengan adonan mentega yang relatif tahan lama hingga sebulan. Berbeda dengan bakpia isi kacang hijau yang hanya tahan sekitar empat hari, atau isi keju, durian, dan cokelat yang bisa tahan hingga seminggu.
Momentum lebaran, juga libur panjang menjadi kesibukan tersendiri bagi karyawan di sana. Tak tanggung-tanggung, dalam sehari bisa memproduksi bakpia sebanyak satu hingga satu setengah kuintal bakpia. Jauh lebih banyak ketimbang hari-hari normal yang hanya memproduksi 25-30 kilogram bakpia.
Harga sekotak bakpia isi umbu Rp 17.500, kalau yang rasa lain Rp 20.000,” terangnya untuk satu kotak isi 20 biji.
Seperti siang pada akhir pekan lalu. Kala para pemudik mulai bersiap-siap kembali seiring arus balik lebaran, jalan di kawasan itu terlihat padat dan macet dengan kendaraan pribadi, mulai dari mobil dan sepeda motor, hingga kendaraan umum sebangsa taksi dan bus pariwisata. Tujuannya sama, mampir ke kawasan Pathuk untuk berburu bakpia aneka rasa khas Yogyakarta.
Mau nyari bakpia, Mbak? Di situ saja,” tunjuk seorang ibu yang mengaku asal Surabaya yang baru saja keluar dari mulut sebuah gang kecil sambil menenteng beberapa tas kecil berisi kotak-kotak bakpia. Gang itu memisahkan antara dua toko sekaligus pabrik Bakpia 75 yang berada di jalan yang sama. Saat melongok ke gang yang hanya muat dilalui kendaraan roda dua dan tiga itu, tampak aneka papan nama bertuliskan bakpia berdiri saling membelakangi. Saat Tempo menanyakan mengapa dia rela menyusuri gang-gang sempit hanya untuk membeli bakpia, mengingat banyak sekali toko-toko bakpia di sepanjang jalan itu.
“Wah, rasanya sama saja,” ucapnya sembari tersenyum.
Komentar soal rasa yang sama, juga diakui Aji (25), anak sulung dari Waljiyah (54), pemilik home industry Bakpia 932 di salah satu gang kecil. Dia mengisahkan, ada pembeli yang semula datang ke rumahnya, mencicip bakpianya, menanyakan harganya, lantas pergi tanpa membeli. Namun tak berapa lama, dia kembali untuk membeli beberapa kotak bakpia.
“Biasanya karena harga di industri-industri rumahan lebih rumah, sedangkan rasanya tak jauh beda,” ucapnya.
Dirinya berani menjual dengan harga terpaut lebih murah ketimbang industri bakpia yang sudah punya nama. Sebutlah, untuk satu kotak isi 15 biji seharga Rp 9.000 dan Rp 12.000 untuk 20 biji. Rasanya pun tak jauh beda dengan bakpia-bakpia yang sudah berkelas.
“Kakek saya dulu adalah karyawan angkatan pertama di Bakpia 75,” kata Aji.
Dari kakeknya pula, kepiawaian membuat bakpia, termasuk pengetahuannya soal bumbu “rahasia” diturunkan pada ibunya yang merupakan menantunya. Hanya saja, ibunya baru mulai membuat bakpia pada Agustus 2007 untuk kesibukan kala pensiun tiba.
Kakek berpesan, jika ingin membuat bakpia agar dilakukan setelah kakek meninggal,” imbuhnya yang masih memasarkan bakpianya sebatas di sebuah rumah sakit swasta dan di rumah tentunya. Dalam sehari, lewat modal awal sekitar Rp 7 juta hingga Rp 10 juta, pihaknya bisa memproduksi 10 hingga 20 kilogram per harinya. Namun saat lebaran tiba bisa melonjak hingga 50 kilogram per hari.

foto: pitogoestin
Tak hanya soal kekhasan rasa bakpia yang legit, Aji dan keluarganya pun memberi nama usahanya sesuai dengan nomor rumahnya, 932. Sama dengan yang dilakukan usaha pendahulunya.
“Di sini semua juga begitu. Kalau namanya pakai angka, itu nomor rumah. Kalau pakai nama orang, biasanya nama pemilik atau anaknya,” terang Aji.
Sama pula yang dilakukan keluarga Lis Wahyuni (50) yang memberi nama usahanya dengan nomor rumahnya di sebuah gang sempit di belakang Toko Bakpia 75, Bakpia 73B. Menurut salah satu anaknya, Nico Sulistyo (25), sebelumnya sebagian rumahnya yang terletak tepat di belakang pabrik Bakpia 75 itu dibeli pihak Bakpia 75. Ada lorong kecil sebagai jalan yang menghubungkan antara Jalan AIP II KS Tubun, pabrik, juga rumahnya.
“Mau tak mau, keluarga saya sering lihat bagaimana proses membuat bakpia. Ibu saya pun belajar dari karyawan di sana,” aku Nico.
Akhirnya, pada 2005, rumah mereka itu pun disulap sebagai pabrik sekaligus tempat pemasaran bakpianya. Proses pembuatannya pun memanfaatkan lorong kecil memanjang selebar sekitar satu meter di rumah itu. Mulai dari proses mengaduk adonan, mencetak, hingga proses penggorengan, pendinginan, dan memasukkannya ke dalam kotak-kotak karton.
“Lebaran begini, produksinya bisa naik tiga hingga empat kali lipat,” imbuhnya sembari menambahkan bahwa pada hari biasa memproduksi sekitar 100 kotak berisi 20 biji per kotaknya.
Tak hanya membuat bakpia menjadi kesibukan masyarakat sehari-hari di kawasan Pathuk. Warga lainnya pun memanfaatkannya untuk menjaring konsumen dengan menjadi tukang parkir atau pun menjadi pekerja di bagian pemasaran yang ikut mempromosikan bakpia-bakpia yang dijual di sana. Sebutlah, sejumlah warga yang mengajak pengunjung yang datang untuk membeli bakpia di rumah-rumah industri kecil sembari berteriak-teriak setengah berpromosi di mulut gang. (PITO AGUSTIN RUDIANA)