Kamis, 27 Desember 2012

Seni Ketoprak Kolaborasi

Ada Instalasi dalam Pentas Ketoprak
 
foto: pitogoestin
 TIDAK ada kursi singgasana yang empuk dan berukir. Tak ada pula empat kursi kayu tua yang disusun mengelilingi meja kecil dengan cangkir-cangkir kecil di atasnya. Suasana panggung pementasan ketoprak menjadi tak biasa pada malam lalu, Selasa (11/12/2012) malam. Panggung Taman Budaya Yogyakarta itu justru diisi dengan patung kerbau berukuran raksasa yang ngelesot menjadi latar belakang panggung dan dua patung tikus di depan samping panggung. Kerbau melambangkan rakyat yang mudah dicocok hidungnya dan tikus perlambang korupsi. Juga ada tumpukkan karung-karung goni di atas sebuah kotak yang menyimbolkan daerah pertanian. Tak ketinggalan susunan bambu yang dibuat bertingkat seperti menara sutet dengan asesoris aneka perabotan dapur yang digantung pada setiap sudut bambu.
 Itu baru kolaborasi dua bentuk seni: ketoprak dan seni instalasi dari Wayang MILEHNIUMWAE. Saat pementasan ketoprak berlangsung, barulah ketahuan ada yang berbeda dalam tata musik. Tiap kali gamelan akan ditabuh, seorang wiyaga akan memulai dengan aba-aba berupa syair lagu dari mulutnya. Peran kelompok seni suara Acapella Mataraman bisa dirasakan kehadirannya di sana.
 “Ini eksperimen kami. Bagaimana ketoprak berkolaborasi dengan bentuk kesenian lain, biar tidak stagnan,” kata penulis naskah pementasan ketoprak kolaboratif yang mengusung lakon “Lebak 1848”, Bondan Nusantara saat ditemui usai pementasan.
 Lebak 1848 sendiri mengambil latar belakang zaman penjajahan colonial Belanda di Lebak, Banten pada 1848. Rakyat tak hanya ditindas oleh penjajah itu sendiri, melainkan juga perilaku penguasa di sana yang korup. Para bupati pun sudah ditulari virus korup tersebut. Rakyat diminta menyerahkan ternak-ternak mereka yang berupa kerbau, sapi, kambing, hingga bebek dan ayam demi bisa menjamu tamu bupati Lebak yang sesama bupati pula.
 Ada Max Havelaar yang menjadi asisten residen yang baru. Dia mempunyai janji untuk memberantas korupsi. Namun tetap tak ada perbaikan bagi rakyat. Bahkan rakyat yang melakukan perlawanan di bawah kepemimpinan tokoh masyarakat bernama Karya pun harus mati meregang nyawa semua.
 Jika melihat sinopsis cerita, kening dibuat berkerut lantaran terlihat cerita yang serius. Namun saat menonton jalannya adegan demi adegan, penonton justru diajak menguras air mata karena kebanyakan tertawa. Boleh dibilang, 80 persen cerita berisi komedi. Dimulai dari adegan lawak dua bocah desa pada pembukaan pementasan. Adegan lawak yang selalu ada dalam setiap pementasan ketoprak maupun wayang. Dari situlah, presepsi penonton tentang lakon yang serius dibuat luruh. Lantaran adegan dialog bupati Lebak dengan istri mudanya juga tak luput dari komedi bergaya satire. Termasuk rayuan maut ki Demang terhadap Adinda, kekasih Saijah pun dibuat konyol. Begitupun dialog antara Max Havelaar sebagai asisten residen dengan Multatuli sebagai penulis bukunya. Keduanya saling sindir soal efektifitas pemberantasan korupsi yang dilakukan: menjadi asisten residen dan penulis. Namun sama-sama tak berdampak alias korupsi tetap merajalela.
 “Jas bukak iket blangkon. Sama juga sami mawon,” kata Max menyindir.
 
foto: pitogoestin
 Hanya 20 persen adegan yang serius dan berujung tragedi, yakni saat perlawanan Karya dan masyarakat melawan kumpeni Belanda. Semangat rakyat yang berkobar ditandai dengan instalasi berupa gunungan yang dibawa, diacungkan, dikibaskan warga. Gunungan sendiri merupakan piranti khas dalam pentas wayang kulit. Sayangnya, hanya separuh kursi yang terisi malam itu oleh penonton.
 Yang menarik, tak ada tokoh sentral laiknya pementasan ketoprak umumnya. Semuanya menjadi tokoh, baik bupati Lebak, ki Demang, Saijah dan Adinda, Max Havelaar dan Multatuli, juga adegan rakyat yang melawan.
 “Memang kami tiadakan pemeran utama, karena tokoh itu ya cerita tentang korupsi itu sendiri,” kata Bondan.
 Waktu persiapan yang hanya dua bulan dinilai Bondan tak cukup. Semestinya butuh waktu antara 4-5 bulan. Meski begitu, Kepala TBY Dyan Anggraini Rais menilai kolaborasi tersebut menjadi gebrakan untuk membangkitkan kembali kesenian ketoprak.
 “Ini terobosan karena membuat ketoprak tidak normatif. Jadi jangan takut lepas dari pakem, karena ini justru memperkaya berkesenian,” kata Dian. PITO AGUSTIN RUDIANA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar