Mengembalikan Kenangan Kayu Anusapati
foto: pitogoestin |
Sebuah rel kereta api menempel pada dinding belakang Sangkring
Art Space yang tinggi menjulang di Nitiprayan, kabupaten Bantul, Rabu (21/11/2012). Bentuk
rel itu melengkung membentuk setengah huruf U dari sisi dinding bawah melengkung
ke atas. Keunikannya, meskipun kerangka rel menggunakan besi rel yang tebal,
namun bantalan rel menggunakan kayu. Dari struktur kayunya pun terlihat usang. Alur
rel itu berhenti pada sebuah kotak kayu pula yang terbuka pintu lorongnya.
“Itu bantalan kereta lama. Zaman dulu kan, pakai kayu. Untung
masih ada yang jual,” kata pematung Anusapati yang menggeber karyanya dalam
pameran tunggal di Sangkring Art Space tersebut.
Anusapati mengembalikan kayu yang semula menjadi bantalan
kereta menjadi bantalan kereta kembali. Tak hanya itu. Kayu-kayu tua bekas
bantalan kereta itu disulapnya menjadi benda-benda menyerupai atap rumah juga
seperti ujung pensil dengan diameter yang luas.
Anusapati yang terbiasa bermain-main dengan kayu itu pun
kembali mengapresiakan benda dari tumbuhan hidup itu dalam karyanya. Hanya saja
dalam pameran bertajuk “mateREALITY” yang berlangsung dari 13 November-8
Desember itu, Anusapati ingin menampilkan sesuatu yang berbeda. Lewat karya
patung, instalasi, dan lukisan dari usapan arang, Anusapati ingin mengajak publik
untuk kembali dekat dengan benda yang disebut dengan kayu itu. Kayu sebagai
material, bukan pada bentuk lagi.
“Karena kayu itu material yang paling akrab dengan manusia
sejak zaman dulu,” kata Anusapati saat dihubungi Tempo, Rabu (21/11) lalu.
foto: pitogoestin |
Perkembangannya, kayu pun menjadi komoditi massal. Seiring dengan
perilaku dan gaya hidup manusia yang kian konsumtif akan kayu. Dan Anusapati
ingin kembali mendekatkan manusia pada kayu. Ingin mengajak untuk mengenang
masa lalu bagaimana sangat berartinya kayu untuk kehidupan manusia.
Untuk mewujudkan tujuannya, Anusapati mulai menyentil lewat
karya-karyanya yang serba berukuran raksasa itu. Seperti karya berjudul “Going
back in time” yang berupa potongan kayu dari pohon munggur dengan tinggi 4
meter dan diameter 225 centimeter. Batang pohon munggur itu dibelah menjadi
empat bagian. Seolah Anusapati ingin mempertontonkan ujud sebuah kayu seutuhnya
sebelum berubah menjadi barang konsumtif manusia.
“Orang kan, sekarang suka perabot seperti meja yang
gedhe-gedhe dari kayu munggur. Padahal itu pohon peneduh,” kata Anusapati.
foto: pitogoestin |
Begitu pun karya raksasa berupa pohon durian sepanjang 15
meter. Pohon yang masih lengkap dengan cabang dan rantingnya itu dibelah dalam
posisi berbaring di atas lantai ruang pameran. Di sinilah Anusapati menunjukkan
kepiawaiannya membuat karya instalasi. Batang kayu tanpa daun itu dipotong
beberapa bagian. Pada bagian pangkal yang mempunyai diameter lebih lebar,
Anusapati membelah bagian dalam kayu menjadi balok-balok kayu yang siap untuk
bahan bangunan. Uniknya, potongan-potongan itu kemudian disatukannya dengan
mengikatnya menggunakan baut panjang dan tali kawat yang kuat yang diikatkan
pada langit-langit ruangan.
“Satu hal, saya enggak menebang pohon untuk karya-karya
saya. Tapi itu pohon durian yang sudah mati di sekitar terminal Giwangan. Kalau
tidak ya beli kayu di toko bangunan,” kata Anusapati dengan nada serius.
Bekas mahasiswanya di Institut Seni Indonesia (ISI)
Yogyakarta, Rosyid Mulyadi, kekhasan karya Anusapati adalah ada korelasi antara
konsep dengan bahan. Dan Anusapati mengemas karyanya dengan sistematis.
“Kalau ada pohon atau bahan kayu enggak waton
ngambil,” kata Rosyid yang ditemui di studio pameran itu. PITO AGUSTIN RUDIANA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar