Kamis, 27 Desember 2012

Seni mateREALITY

Mengembalikan Kenangan Kayu Anusapati
 
foto: pitogoestin
 Sebuah rel kereta api menempel pada dinding belakang Sangkring Art Space yang tinggi menjulang di Nitiprayan, kabupaten Bantul, Rabu (21/11/2012). Bentuk rel itu melengkung membentuk setengah huruf U dari sisi dinding bawah melengkung ke atas. Keunikannya, meskipun kerangka rel menggunakan besi rel yang tebal, namun bantalan rel menggunakan kayu. Dari struktur kayunya pun terlihat usang. Alur rel itu berhenti pada sebuah kotak kayu pula yang terbuka pintu lorongnya.
 “Itu bantalan kereta lama. Zaman dulu kan, pakai kayu. Untung masih ada yang jual,” kata pematung Anusapati yang menggeber karyanya dalam pameran tunggal di Sangkring Art Space tersebut.
 Anusapati mengembalikan kayu yang semula menjadi bantalan kereta menjadi bantalan kereta kembali. Tak hanya itu. Kayu-kayu tua bekas bantalan kereta itu disulapnya menjadi benda-benda menyerupai atap rumah juga seperti ujung pensil dengan diameter yang luas.
 Anusapati yang terbiasa bermain-main dengan kayu itu pun kembali mengapresiakan benda dari tumbuhan hidup itu dalam karyanya. Hanya saja dalam pameran bertajuk “mateREALITY” yang berlangsung dari 13 November-8 Desember itu, Anusapati ingin menampilkan sesuatu yang berbeda. Lewat karya patung, instalasi, dan lukisan dari usapan arang, Anusapati ingin mengajak publik untuk kembali dekat dengan benda yang disebut dengan kayu itu. Kayu sebagai material, bukan pada bentuk lagi.
 “Karena kayu itu material yang paling akrab dengan manusia sejak zaman dulu,” kata Anusapati saat dihubungi Tempo, Rabu (21/11) lalu.
 
foto: pitogoestin
 Perkembangannya, kayu pun menjadi komoditi massal. Seiring dengan perilaku dan gaya hidup manusia yang kian konsumtif akan kayu. Dan Anusapati ingin kembali mendekatkan manusia pada kayu. Ingin mengajak untuk mengenang masa lalu bagaimana sangat berartinya kayu untuk kehidupan manusia.
Untuk mewujudkan tujuannya, Anusapati mulai menyentil lewat karya-karyanya yang serba berukuran raksasa itu. Seperti karya berjudul “Going back in time” yang berupa potongan kayu dari pohon munggur dengan tinggi 4 meter dan diameter 225 centimeter. Batang pohon munggur itu dibelah menjadi empat bagian. Seolah Anusapati ingin mempertontonkan ujud sebuah kayu seutuhnya sebelum berubah menjadi barang konsumtif manusia.
 “Orang kan, sekarang suka perabot seperti meja yang gedhe-gedhe dari kayu munggur. Padahal itu pohon peneduh,” kata Anusapati.
foto: pitogoestin
   Begitu pun karya raksasa berupa pohon durian sepanjang 15 meter. Pohon yang masih lengkap dengan cabang dan rantingnya itu dibelah dalam posisi berbaring di atas lantai ruang pameran. Di sinilah Anusapati menunjukkan kepiawaiannya membuat karya instalasi. Batang kayu tanpa daun itu dipotong beberapa bagian. Pada bagian pangkal yang mempunyai diameter lebih lebar, Anusapati membelah bagian dalam kayu menjadi balok-balok kayu yang siap untuk bahan bangunan. Uniknya, potongan-potongan itu kemudian disatukannya dengan mengikatnya menggunakan baut panjang dan tali kawat yang kuat yang diikatkan pada langit-langit ruangan.
 “Satu hal, saya enggak menebang pohon untuk karya-karya saya. Tapi itu pohon durian yang sudah mati di sekitar terminal Giwangan. Kalau tidak ya beli kayu di toko bangunan,” kata Anusapati dengan nada serius.
 Bekas mahasiswanya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Rosyid Mulyadi, kekhasan karya Anusapati adalah ada korelasi antara konsep dengan bahan. Dan Anusapati mengemas karyanya dengan sistematis.
 
“Kalau ada pohon atau bahan kayu enggak waton ngambil,” kata Rosyid yang ditemui di studio pameran itu. PITO AGUSTIN RUDIANA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar