Minggu, 05 Oktober 2008

Kuliner Bakpia

Bermula dari Nomor Rumah

foto: pitogoestin
SINGGAH di Yogyakarta terasa tak lengkap jika pulang tak membawa buah tangan berupa bakpia dan gudeg. Begitulah, dua jenis makanan khas Yogyakarta yang turut menambah perbendaharaan wisata kuliner seantero Nusantara. Bahkan, karena kekhasannya pula, nama-nama kampung yang merupakan cikal bakal ketenaran dua jenis makanan itu menjadi tempat wisata kuliner yang terasa kurang jika dikunjungi.
Pathuk. Begitulah orang menyebut sebuah kampung di Kelurahan Ngampilan, Kecamatan Ngampilan, Kota Yogyakarta sebagai kampung bakpia. Di sanalah, sebuah toko bakpia terbesar, Bakpia 75 yang merupakan cikal bakal bakpia di Yogyakarta, berdiri megah. Awalnya hanya sebuah usaha rumahan (home industriy) milik keluarga Liem Bok Sing yang merintis di Jalan Dagen, atau sisi barat Malioboro pada 1948. Kue basah itu asal China itu dijual di rumah, juga dijajakan secara berkeliling oleh dua orang karyawannya. Keterbatasan tenaga membuat keluarga Liem banyak menolak pesanan-pesanan bakpia. Hingga pada 1955, keluarga itu pindah ke Jalan AIP II Karel Sasuit Tubun yang terletak di kawasan Pathuk hingga sekarang. Di kawasan itu pula, mulailah bermunculan industri-industri bakpia, dari yang besar seperti Bakpia 25 yang sering disebut-sebut sebagai kompetitor Bakpia 75, pun industri-industri sedang hingga kecil lainnya, seperti Bakpia 555, Bakpia 21, Bakpia Bu Sri, Bakpia 932, Bakpia 73B, dan sebagainya.
Nama 75 diambil dari nomor rumah tempat bakpia itu diproduksi,” kata Manajer Operasional Bakpia 75, Dwi Yuniati saat ditemui Tempo di tempatnya bekerja akhir pekan silam, 5 Oktober 2008.
Sepeninggal Liem, usaha itu diteruskan anak laki-lakinya, Yeni Susanto. Pesanan dari para pelanggan pun diterimanya, sehingga dia menambah karyawannya menjadi lima orang. Pada 1980-an, bakpia tak lagi dijual dengan berkeliling, tapi dipasarkan di toko-toko yang juga menjual aneka makanan kering khas Yogyakarta. Bahkan pada 1990-an, bakpia yang diproduksinya pun banyak dipesan dari pihak-pihak hotel, pun dari berbagai toko. Usaha pun diteruskan istrinya usai Yeni meninggal. Hingga kini, Bakpia 75 mengembangkan sayap menjadi empat toko. Yakni di Jalan AIP II KA Tubun Nomor 75 dan Nomor 83 yang berdiri berdampingan, serta di Jalan HOS Cokroaminoto 119B dan Jalan Magelang Km 4,5 yang semuanya terletak di Yogyakarta. Proses produksi tak lagi dilangsungkan di rumah, melainkan di toko-toko tersebut yang selain menjadi tempat pemasaran, sekaligus pabrik. Kecuali toko di Jalan Magelang yang hanya menjadi lokasi pemasaran saja. Jika semula hanya mempekerjakan dua karyawan, kini total mencapai 150-an orang karyawan.
Jika semula bakpianya hanya berisi umbu (kacang hijau), sekarang ada cokelat, keju, juga durian.
“Khusus bakpia isi durian diproduksi jika musim durian saja,” imbuhnya.
Alasannya, isi bakpia haruslah dari bahan asli, bukan sekedar aroma, bukan pula buatan. Tak hanya hanya itu, per 29 September 2008 lalu, Bakpia 75 juga memproduksi pia, yakni bakpia kering dengan adonan mentega yang relatif tahan lama hingga sebulan. Berbeda dengan bakpia isi kacang hijau yang hanya tahan sekitar empat hari, atau isi keju, durian, dan cokelat yang bisa tahan hingga seminggu.
Momentum lebaran, juga libur panjang menjadi kesibukan tersendiri bagi karyawan di sana. Tak tanggung-tanggung, dalam sehari bisa memproduksi bakpia sebanyak satu hingga satu setengah kuintal bakpia. Jauh lebih banyak ketimbang hari-hari normal yang hanya memproduksi 25-30 kilogram bakpia.
Harga sekotak bakpia isi umbu Rp 17.500, kalau yang rasa lain Rp 20.000,” terangnya untuk satu kotak isi 20 biji.
Seperti siang pada akhir pekan lalu. Kala para pemudik mulai bersiap-siap kembali seiring arus balik lebaran, jalan di kawasan itu terlihat padat dan macet dengan kendaraan pribadi, mulai dari mobil dan sepeda motor, hingga kendaraan umum sebangsa taksi dan bus pariwisata. Tujuannya sama, mampir ke kawasan Pathuk untuk berburu bakpia aneka rasa khas Yogyakarta.
Mau nyari bakpia, Mbak? Di situ saja,” tunjuk seorang ibu yang mengaku asal Surabaya yang baru saja keluar dari mulut sebuah gang kecil sambil menenteng beberapa tas kecil berisi kotak-kotak bakpia. Gang itu memisahkan antara dua toko sekaligus pabrik Bakpia 75 yang berada di jalan yang sama. Saat melongok ke gang yang hanya muat dilalui kendaraan roda dua dan tiga itu, tampak aneka papan nama bertuliskan bakpia berdiri saling membelakangi. Saat Tempo menanyakan mengapa dia rela menyusuri gang-gang sempit hanya untuk membeli bakpia, mengingat banyak sekali toko-toko bakpia di sepanjang jalan itu.
“Wah, rasanya sama saja,” ucapnya sembari tersenyum.
Komentar soal rasa yang sama, juga diakui Aji (25), anak sulung dari Waljiyah (54), pemilik home industry Bakpia 932 di salah satu gang kecil. Dia mengisahkan, ada pembeli yang semula datang ke rumahnya, mencicip bakpianya, menanyakan harganya, lantas pergi tanpa membeli. Namun tak berapa lama, dia kembali untuk membeli beberapa kotak bakpia.
“Biasanya karena harga di industri-industri rumahan lebih rumah, sedangkan rasanya tak jauh beda,” ucapnya.
Dirinya berani menjual dengan harga terpaut lebih murah ketimbang industri bakpia yang sudah punya nama. Sebutlah, untuk satu kotak isi 15 biji seharga Rp 9.000 dan Rp 12.000 untuk 20 biji. Rasanya pun tak jauh beda dengan bakpia-bakpia yang sudah berkelas.
“Kakek saya dulu adalah karyawan angkatan pertama di Bakpia 75,” kata Aji.
Dari kakeknya pula, kepiawaian membuat bakpia, termasuk pengetahuannya soal bumbu “rahasia” diturunkan pada ibunya yang merupakan menantunya. Hanya saja, ibunya baru mulai membuat bakpia pada Agustus 2007 untuk kesibukan kala pensiun tiba.
Kakek berpesan, jika ingin membuat bakpia agar dilakukan setelah kakek meninggal,” imbuhnya yang masih memasarkan bakpianya sebatas di sebuah rumah sakit swasta dan di rumah tentunya. Dalam sehari, lewat modal awal sekitar Rp 7 juta hingga Rp 10 juta, pihaknya bisa memproduksi 10 hingga 20 kilogram per harinya. Namun saat lebaran tiba bisa melonjak hingga 50 kilogram per hari.

foto: pitogoestin
Tak hanya soal kekhasan rasa bakpia yang legit, Aji dan keluarganya pun memberi nama usahanya sesuai dengan nomor rumahnya, 932. Sama dengan yang dilakukan usaha pendahulunya.
“Di sini semua juga begitu. Kalau namanya pakai angka, itu nomor rumah. Kalau pakai nama orang, biasanya nama pemilik atau anaknya,” terang Aji.
Sama pula yang dilakukan keluarga Lis Wahyuni (50) yang memberi nama usahanya dengan nomor rumahnya di sebuah gang sempit di belakang Toko Bakpia 75, Bakpia 73B. Menurut salah satu anaknya, Nico Sulistyo (25), sebelumnya sebagian rumahnya yang terletak tepat di belakang pabrik Bakpia 75 itu dibeli pihak Bakpia 75. Ada lorong kecil sebagai jalan yang menghubungkan antara Jalan AIP II KS Tubun, pabrik, juga rumahnya.
“Mau tak mau, keluarga saya sering lihat bagaimana proses membuat bakpia. Ibu saya pun belajar dari karyawan di sana,” aku Nico.
Akhirnya, pada 2005, rumah mereka itu pun disulap sebagai pabrik sekaligus tempat pemasaran bakpianya. Proses pembuatannya pun memanfaatkan lorong kecil memanjang selebar sekitar satu meter di rumah itu. Mulai dari proses mengaduk adonan, mencetak, hingga proses penggorengan, pendinginan, dan memasukkannya ke dalam kotak-kotak karton.
“Lebaran begini, produksinya bisa naik tiga hingga empat kali lipat,” imbuhnya sembari menambahkan bahwa pada hari biasa memproduksi sekitar 100 kotak berisi 20 biji per kotaknya.
Tak hanya membuat bakpia menjadi kesibukan masyarakat sehari-hari di kawasan Pathuk. Warga lainnya pun memanfaatkannya untuk menjaring konsumen dengan menjadi tukang parkir atau pun menjadi pekerja di bagian pemasaran yang ikut mempromosikan bakpia-bakpia yang dijual di sana. Sebutlah, sejumlah warga yang mengajak pengunjung yang datang untuk membeli bakpia di rumah-rumah industri kecil sembari berteriak-teriak setengah berpromosi di mulut gang. (PITO AGUSTIN RUDIANA)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar