Rabu, 19 Agustus 2009

Seni The Power of Dream

Instalasi Impian Sang Perupa

foto: pitogoestin
 Saat mata lelah ingin terkatup, badan penat ingin rebah terbaring, kehadiran sebuah bantal bisa menjadi obat meski sekejap. Pun tak peduli saat melihat bantal warna merah muda yang seolah siap mengantar si empunya untuk bermimpi dengan romantis itu ternyata tergeletak di atas sebuah jebakan tikus berbentuk segi empat. Seolah ada pesan yang tersirat. Tergiur untuk berbaring, silahkan saja. Namun jangan menyesal jika saat terbangun tak bisa bermimpi lagi. “Sebuah Umpan”, demikian karya tiga dimensi dari fiberglass yang diolah Purwanto. Pemuda kelahiran Gunungkidul 28 tahun lalu itu pun mengakui, bahwa rintang hidup tak selamanya terlihat menyakitkan, karena bisa menjadi godaan yang terlihat nikmat dan nyaman.

“Saya sebenarnya dihadapkan pada sesuatu yang menjanjikan kemewahan mimpi, tapi sebenarnya bukan target yang ingin saya capai,” kata Purwanto.
 Keresahan akan alam mimpi yang banyak memberikan janji juga dirasakan Achmad Basuki. Lulusan Universitas Negeri Semarang Jurusan Seni Rupa itu mencurahkan isi hatinya soal impiannya untuk segera berkeluarga. Maklumlah, usianya sudah 34 tahun. Sebuah media instalasi seperti robot -- lantaran mempunyai sepasang tangan dan kaki dari stainless– dihadirkannya untuk mewakili impian yang dianggap cukup menghantuinya. Lihatlah tubuh robot yang berbentuk seperti hati dari resin dan berwarna merah. Di dalamnya, bersekat kaca acrilyc, sosok perempuan berkerudung terlihat duduk sembari memandang keluar.

 “Saya ingin mempunyai istri yang solekhah, itu sebuah awalan,” kata Achmad Basuki dalam karyanya “Berkeluarga”.

 Kelengkapan sebuah keluarga yang diimpikannya pun kian lengkap jika pernak-pernik di atas kedua telapak tangan si robot terpenuhi. Di atas telapak tangan kirinya berdiri miniatu rumah, di tangan kanannya sebuah boneka berbentuk anak laki-laki tengah memandang ke atas.

foto: pitogoestin
Namun, “The Power of Dream”, sebagaimana tema besar dari pameran kompetisi yang disajikan dalam Tujuh Bintang Art Award 2009 di Jogja National Museum pada 15-30 Agustus 2009 itu, diakui Roni Ammer sebagai lika-liku hidup laiknya permainan ular tangga dengan manusia sebagai bidaknya. Ada kekuatan mimpi yang menjadikan seseorang berhasil sehingga bisa mendaki tangga kehidupan untuk hidup senang dan penuh kenikmatan. Seperti tabiat orang yang berhemat menggunakan air, maka hidupnya akan meningkat menjadi seorang konglomerat. Pun laki-laki yang rajin berolah raga, kelak tubuhnya akan terbentuk bagus dan menjadi laki-lai metroseksual. Ada pula kekuatan mimpi yang justru meninabobokkannya untuk terpeleset jatuh dalam pusaran kepahitan hidup yang gelap dan menyakitkan. Seperti saat manusia mengkonsumsi narkoba, maka kematian yang akan menjemputnya. Ataupun ketika seseorang menjadi tikus koruptor, maka hukuman pengadilanlah urusannya. Simaklah karya Roni Ammer, seniman muda dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang berjudul “The Winner” yang menggambarkan papan permainan ular tangga. Jika bisa memenangkan permainan, maka seseorang itulah yang layak disebut The Winner.

 Namun dari 59 karya yang dipamerkan, hanya satu impian seniman yang menggelitik ketertarikan alumnus mahasiswa Seni Pertunjukkan ISI Yogyakarta, Jamiatut Tarwiyah. Karya perpaduan dua dimensi dan tiga dimensi yang dibuat dari bahan acrylic dan rotan di atas kanvas berdiameter 150 centimeter, “Menyudut” karya Made Wiguna Valasara, seniman asal Sukawati, Bali, dinilainya sebagai konsistensi sang seniman dalam mengeksplorasi gagasannya tentang lingkungan.

 “Made Wiguna konsisten membuat karya dengan menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan,” kata Jamiatut.

 Karya itu menggambarkan bola bumi yang penuh sesak oleh kesemrawutan yang digambarkan dengan bilah-bilah rotan yang saling tumpuk, saling tindih tak beraturan. Bilah-bilah rotan itu bisa saja bangunan hunian, bisa pula manusia yang tak henti berproduksi. Keunikan lukisan itu mulai terlihat dari jauh seolah tiga dimensi. Namun saat didekati, hanya ujung-ujung atas dan bawah dari bola dunia itu yang benar-benar nyata tiga dimensi karena bilah-bilah rotan itu benar-benar menyembul. Tapi pada bagian tubuh bumi hanyalah lukisan kanvas semata.

Salah satu dari lima kurator pameran kompetisi itu, Netok Sawiji Rusnoto Susanto dari Universitas Negeri Jakarta, menilai bahwa para perupa cenderung mempresentasikan gagasannya dengan bahasa visual bercitra realistik, hanya sebagian kecil saja yang memposisikan pada langgam non representasi obyek.

 “Tapi kompetisi ini telah mampu mengindikasikan peta perkembangan seni rupa kontemporer hari ini,” kata Netok.

 Sayangnya, event pameran 59 karya dua dimensi dan tiga dimensi yang lolos dari tahap seleksi awal sekitar 1.500-an karya itu terlihat sepi pengunjung. Kehadiran Tempo, Rabu (19/8/2009) seolah pelengkap penderita dari cerita-cerita mimpi karya-karya seni yang terpajang rapi, tapi lengang tak terkunjungi. Hanya bunyi mesin-mesin kipas angin yang berdengung di pojok-pojok pintu masuk. (PITO AGUSTIN RUDIANA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar