Yang Bertahan dengan Mesin Ketik
foto: pitogoestin |
TINI (35) semula tak menyangka. Hingga dunia memasuki era komputer dengan
teknologi supercanggih, dia masih berkutat dengan mesin ketiknya.
Bahkan, perempuan asal Pajangan, Kabupaten Bantul itu mengandalkan
pemasukan sehari-hari dari jasa pengetikan dengan mesin ketik sejak
1992. Semula usaha jasa yang dirintis kakaknya itu dimulai di Jalan
Gejayan Yogyakarta sejak 1975. Kemudian membuka cabang di ujung Jalan
Colombo Yogyakarta pada 1992.
“Daripada
di rumah nggak ada kerjaan,” kata lulusan Sekolah Menengah Ekonomi Atas
(SMEA) yang kini jadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) itu saat ditemui
Tempo, Rabu (17/12/2008) lalu.
Namun
berkat kesetiaannya terhadap mesin ketik bermerek Olympia yang
dipakainya sejak dia bekerja di sana, Tini terbukti tetap bertahan
hingga saat ini. Mungkin dia satu-satunya penyedia jasa pengetikan
dengan mesin ketik di Yogyakarta. Sebuah profesi langka yang terbilang
aneh di tengah-tengah masyarakat yang lebih senang membicarakan soal
komputer dan internet ketimbang pita mesin ketik yang terkadang harus
diputar manual jika sudah mentok.
Tempat
kerjanya persis di jalan raya yang ramai. Bahkan ruangan berukuran
sekitar dua kali tiga meter itu berhimpitan dengan kios-kios serupa yang
menjual sapu ijuk, permak jins, reparasi tas, dan sejenisnya. Bahkan
orang nyaris tak melihatnya jika betul-betul secara cermat membaca
stiker bertuliskan “Pengetikan Mesin Ketik” pada kaca yang mulai kabur.
“Dulu,
di belakang sini masih sawah. UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) belum
seluas ini,” kenangnya sambil asyik memencet tuts-tuts mesin ketiknya
yang disebutnya jadul alias jaman dulu itu.
Meski
suasana pada saat itu tak seramai sekarang, namun usahanya laris manis
bak kacang goreng kala itu. Meski pula usaha-usaha yang serupa
ditekuninya juga sebejibun jumlahnya. Maklum, orang belum mengenal
teknologi pengetikan canggih semacam komputer. Tak hanya instansi
perkantoran yang memanfaatkan jasanya. Paling banyak adalah mahasiswa
yang tengah mengerjakan tugas akhir berupa penulisan skripsi. Satu
bundel skripsi bisa selesai dalam waktu tiga hari. Kecuali skripsi
mahasiswa Fakultas Hukum yang rata-rata tebal.
“Bisa 125 halaman. Ya, seminggulah,” ucap Tini.
Tak
heran, dia mempekerjakan tujuh orang karyawan di Jalan Gejayan dan tiga
orang di Jalan Colombo. Satu orang karyawan digaji Rp 75 per lembarnya.
Harga selembar kertas berisi ketikan pada 1992 ada Rp 350. Kemudian
naik menjadi Rp 700 per lembar pada 1993 dan Rp 1.000 pada 1995. Dirinya
pun termasuk orang yang ikut mengetik berkat menimba ilmu mengetik dari
sekolah.
“Dulu sering ikut lomba mengetik lho,” kata Tini tersipu.
Untuk
menjadi karyawannya, tak terlalu sulit persyaratannya. Tak perlu bisa
benar-benar mahir mengetik, seperti tak perlu melihat tuts saat
mengetik. Yang terpenting, bisa mengetik dengan bagus.
“Pakai dua jari juga nggak masalah,” katanya yang menurut dia, persoalan teknis itu bisa dilatih.
Standar
ukuran bagus yang diterapkan adalah bisa mengetik standar dengan ejaan
sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Yang agak sulit adalah memahami
standar pemenggalan kata.
Lain
dulu, lain sekarang. Jalan Colombo bukan jalanan yang sepi lagi. Lalu
lintas hilir mudik di depan kiosnya tiada henti. Namun usaha Tini
terlihat sepi. Di dalam kiosnya pun, hanya Tini seorang diri tanpa
seorang karyawan pun. Sebuah suasana yang berangsur-angsur dialaminya
sejak 1994, persisnya sejak orang mulai mengenal komputer.
“Skripsi sudah pakai komputer, meski belum semua,” kata perempuan berkerudung itu.
Omset
pengetikan pun berangsur menurun. Jika semula bisa mencapai 50 pesanan
per harinya, kini paling banter hanya 10 pesanan. Tak heran jika satu
per satu karyawannya undur diri karena usaha yang kian sepi peminat.
Meski harga satu lembarnya sudah mencapai Rp 2.000 saat ini.
foto: pitogoestin |
Hingga
akhirnya tinggal Tini yang bertahan seorang diri. Di sebuah ruangan
dengan temboknya yang berlubang sana sini, juga kayu-kayu di
langit-langit yang terlihat lapuk. Saat masuk ke kiosnya pun terasa
seperti memasuki bangunan musium. Tampak tumpukan berkas-berkas yang
terjilid rapi di atas lemari terlihat berdebu. Dua buah kursi usang
dengan kaki-kakinya yang sudah tersambung dengan kayu lainnya lantaran
patah, seolah kian berat menyangga beban tumpukan buku di atasnya. Tini
pun menyimpan sebuah mesin stensil kuno dan mesin pembuat lubang kertas
yang tak kalah kuno pula. Terakhir, mesin stensil itu bisa dioperasikan
pada 1997. Belum lagi, kurang dari 10 mesin ketik aneka ukuran dan merek
tersusun rapi di atas meja di sisi utara. Ada yang terliht masih baru,
ada pula yang sudah butut.
“Itu mesin ketik yang saya repasi, ada juga yang dijual,” akunya yang juga menjual pulsa handphone di kiosnya.
Harga
jasa servis mesin ketik mencapai Rp 30.000. Biasanya, keluhan pelanggan
adalah jika ada kawat string yang putus atau salah satu tuts huruf yang
hilang. Apesnya lagi, mencari spare part mesin ketik tak segampang
dulu. Tak semua toko menjualnya. Begitu pun, tak semua toko alat tulis
menjual pita mesin ketik. Lantas, apa akalnya?
“Saya beli mesin ketik bekas untuk diambil onderdilnya,” ucapnya sambil tersenyum.
Mesin
ketik bekas yang dibelinya dan sudah diperbaikinya ada juga yang
dijualnya. Harganya berkisar Rp 170.000 hingga Rp 180.000.
Di
sela-sela kesunyiannya, tetap saja ada yang mencari dan membutuhkan
jasanya. Seperti pagi itu. Tini yang biasa membuka usaha pukul 08.00
hingga 17.00 WIB itu ternyata telah kedatangan antrean empat orang
pelanggan.
“Susah
kalau ngisi kolom-kolom dengan komputer,” kata Wiji, karyawan Dinas
Pendidikan Provinsi DIY kala itu yang tengah mendapat tugas kantor.
Begitu
pun dengan Adi, mahasiswa Jurusan Manajemen UNY yang sebentar lagi
diwisuda. Dia juga menggunakan jasa Tini untuk mengetik formulir
kelulusan.
“Biar nggak rumit,” tukasnya.
Tini
pun belum berniat untuk meninggalkan usahanya dan beralih ke usaha
lain, terutama pengetikan dengan komputer. Dia masih yakin, rezekinya
berasal dari mesin ketiknya yang setia dan belum pernah sekali pun
diganti hingga kini. Lalu, apa resepnya bisa bertahan?
“Jangan
sampai saya jutek sama orang,” jawabnya lagi-lagi sambil tersenyum,
biar pun penghasilannya hanya Rp 25.000 per hari. (PITO AGUSTIN RUDIANA)