Awalnya Makanan Khas Magelang
foto: pitogoestin |
AWALNYA dari sepotong singkong
yang dibuat getuk, makanan alternatif masyarakat Magelang, Provinsi
Jawa Tengah sebagai pengganti nasi sedari zaman Belanda. Apalagi,
beberapa daerah di Magelang adalah penghasil singkong berkualitas baik.
Semisal singkong dari Desa Candimulyo, Kecamatan Tegalrejo, Kabupaten
Magelang. Kala itu, singkong hanya ditumbuk halus, lalu dicetak dengan
berbentuk kotak memanjang dan berwarna hitam seperti wungkal, batu untuk
mengasah pisau. Tak heran, masyarakat pun menyebutnya dengan getuk
wungkal. Sekedar pemanis cukup diberi parutan kelapa atau gula pasir.
Makanan bertekstur lunak itu lebih banyak dijual di pasar-pasar
tradisional sebagai makanan khas masyarakat menengah ke bawah di
Magelang.
"Mengapa makanan khas itu
tidak dinaikkan derajatnya?" tanya almarhum Hendri Samadhana, pendiri
perusahaan getuk Trio, getuk komersiil pertama di Magelang, sebagaimana
ditirukan anak bungsunya dari tiga bersaudara, Herry Wiyanto (49) saat
ditemui Tempo di tokonya di Jalan Tentara Pelajar, Magelang, 8 Oktober 2008.
Kala itu, Hendri yang
sehari-hari membuka bengkel aneka peralatan pertanian, kerap melihat
orang menjual getuk wungkal itu di pasar. Yang menarik perhatiannya
adalah tektur getuk itu relatif kasar karena hanya ditumbuk secara
manual. Terpikir olehnya untuk menciptakan mesin penumbuk singkong yang
menghasilkan getuk yang halus demi mengangkat derajat getuk agar
citranya lebih baik.
Akhirnya, dengan bermodal mesin yang dibuatnya, keluarga Hendri mulai membuka
usaha getuk kali pertama pada 1958. Bentuk getuknya saat itu
seperti kue rol yang panjang, lalu dipotong-potong. Bagian luar berwarna
putih, bagian dalam berwarna cokelat. Saat itu hanya 2-3 kilogram
singkong yang dibutuhkan tiap harinya. Hasilnya cukup dititipkan ke
warung-warung sekitar, hingga kemudian berkembang di toko-toko.
Gayung bersambut. Pada 1960-an, Magelang kedatangan tamu kehormatan
Ratu dari Thailand, Ratu Sirikit. Selain mengunjungi Candi Borobudur,
dia juga sempat singgah di Akademi Militer Nasional di Magelang
(sekarang Akademi Militer/Akmil). Pihak AMN pun memilih getuk milik
Hendri sebagai salah satu makanan khas Magelang yang dihidangkan.
"Ternyata Ratu senang. Getuk kami pun dikenal masyarakat dengan getuk Sirikit," kenang Herry.
Getuk Sirikit pun menjadi
langganan AMN untuk membekali para tarunanya saat pulang kampung kala
cuti tahunan tiba. Getuk itu melanglang buana nyaris ke seantero
Nusantara, mengingat para taruna itu berasal dari berbagai daerah di
Indonesia. Hingga lama kelamaan, keluarga Hendri merasa rikuh dengan
sebutan nama getuknya yang memakai nama seorang ratu. Akhirnya,
dipilihnya nama "Trio" untuk menggantikanya. Nama itu diambil dari nama
bengkel vulkanisir ban milik saudaranya yang sudah punya nama.
"Juga karena anaknya ayah saya ada tiga," sambungnya.
Begitulah, Herry berkisah
bagaimana cikal bakal getuk tak hanya menjadi makanan khas Magelang.
Melainkan sekaligus menaikkan pamor Kabupaten Magelang sebagai Kota
Getuk. Perkembangannya pun, kian banyak bermunculan usaha getuk-getuk
sejenis dengan aneka bentuk di Magelang. Ada getuk Eco, Marem, Kinanti,
Kyai Langgeng, Sarinah, Rio, Trio Aroma, dan beberapa lagi. Mereka
mempunyai ciri khas sama, yakni dikemas dalam kotak-kotak mungil
berukuran sekitar 15 x 15 x 15 centimeter.
"Dulu dikemas dalam besek (kotak dari anyaman bambu) kecil dan dibungkus dengan kertas sirsak," kata Herry.
Oleh karena kian sulitnya memperoleh besek yang didatangkan dari
Yogyakarta dan kian langkanya kertas sirsak, pada 1970-an mereka
mengganti bungkus dengan plastik dan kemasannya dengan kotak kardus.
Bentuk getuk yang dijual pun tak lagi sebesar kue rol, melainkan lebih
kecil dan dibuat bertumpuk yang terdiri tiga warna dan tiga rasa. Warna
kekuningan berasa asli singkong, warna cokelat berasa cokelat, warna
merah muda berasa frambozen.
"Pernah mencoba rasa durian, tapi nggak semua suka durian. Ya,
sekarang tergantung pesanan dan musimnya," tukasnya yang telah mempunyai
dua toko di Jalan Mataram dan Jalan Tentara Pelajar itu.
Uniknya, usaha yang kini diteruskan ibunya, Setyawati (77) dan
dikelola bersama Herry itu hanya menghasilkan sedikit produk saban
harinya. Hanya 1 kuintal singkong untuk 150 kardus isi 12 biji per
kardus tiap harinya. Tak heran, karyawannya pun hanya 10 orang.
"Prinsipnya, getuk ini harus baru tiap harinya, karena hanya tahan
dua hari," tandasnya yang mengaku tak menggunakan bahan pengawet apapun.
Getuk yang berwarna putih adalah salah satu ciri getuk yang memakai
bahan pengawet.
foto: pitogoestin |
Tiap hari pihaknya akan mengirim produknya ke toko-toko langganan,
dan tiap hari pula ditarik, habis atau pun tidak. Sebagai penanda,
pihaknya memasang label bertuliskan tanggal pembuatan, bukan tanggal
kadaluwarsa. Produknya pun dipasarkan seputar Magelang Raya, mulai Kota
Muntilan hingga Secang saja.
"Getuk yang berkualitas baik adalah yang kenyal, empuk, dan tidak
lengket di mulut kalau dimakan," terangnya membuka rahasia. Getuk
semacam itu biasa didapatkan dari singkong jenis kinanti yang kulit
luarnya cokelat dan tidak mengelupas, dagingnya berwarna kemerahan, dan
ditanam di tanah pasir yang berlumpur.
Belum lebarnya sayap pemasaran getuk khas Magelang itu pun diakui
Andreas Kurniawan Purnomo (34), pengelola getuk "Eco" bersama ayahnya,
Ridwan Purnomo (57). Pihaknya lebih banyak memfokuskan pemasaran di
seputaran Magelang Raya, ditambah Yogyakarta dan Semarang dengan
mengandalkan dua karyawannya yang khusus bertugas untuk berkeliling dari
satu toko ke toko lain untuk mendistribusikan produknya.
"Karena getuk kan khas Magelang," ucapnya memberi alasan.
Usaha yang dirintis lewat home industry itu dimulai sekitar 1975-an
dengan hanya dua orang karyawan. Bahkan hingga saat ini pun,
keluarganya masih mengelolanya sebagai industri rumahan pula dengan 20
orang karyawan. Belum ada satu toko pun yang dimiliki, namun cukup
dititipkan ke toko-toko lain yang telah menjadi langganan tetap.
"Bahkan ada toko yang memasang plang sebagai agen resmi getuk
"Eco", mereka sendiri yang minta," imbuhnya yang berencana akan
membangun sebuah toko taahun depan.
Pabriknya pun berada di tengah
perkampungan padat di Jalan Jambon Tengah di Kabupaten Magelang. Untuk
menuju ke sana haruslah melalui gang sempit yang hanya bisa dilalui
kendaraan roda dua. Sebuah rumah yang terletak di belakang rumah yang
lain. Pihaknya pun melayani pembelian secara eceran yang langsung ke
pabriknya.
"Harganya lebih murah, kami
jual Rp 10.000 per kotak. Kalau di toko, kabarnya sampai Rp 15.000 per
kotak," ucapnya yang menamai "Eco" dari bahasa Jawa halus yang berarti
enak.
Sehari ada sekitar 500 kotak
dengan isi 16 biji per kotak yang dibuat. Getuknya pun punya kekhasan
bentuk kecil memanjang yang terdiri tiga warna dn tiga rasa yang disusun
berhimpitan. Ada rasa cokelat, rasa vanila, juga frambozen.
"Soal rasa, pembeli yang menilai. Menurut mereka masih ada rasa khas singkongnya," terangnya setengah berpromosi.
Sebagai inovasi, pihaknya
pernah menjual getuk dengan rasa yang sama dalam tiga warna kemasan
kotak yang berbeda. Ada warna hijau, biru, dan merah. Namun ternyata
konsumen lebih memilih kotak warna merah, meski rasanya semua sama.
"Mungkin ini efek psikologis warna merah ya," celetuknya sembari
tertawa. Akhirnya, kemasan kota warna merah menjadi ciri khas getuk
"Eco" sampai sekarang.
Berbeda dengan pihak getuk
"Trio" yang sempat merasa tak nyaman ada usaha getuk lain yang mempunyai
nama mirip nama getuknya, sehingga sempat menjadi kendala. Bagi pihak
getuk "Eco", kian sulitnya untuk mendapatkan singkong adalah kendala
besar karena terkait keberlangsungan usahanya. Menurut Andreas, kian tak
banyak penjual singkong di pasar-pasar.
"Mungkin karena usaha keripik singkong juga makin banyak," ucapnya.
Tak pelak, selain mengupayakan
jemput bola dengan mencari singkong ke daerah-daerah lain, pihaknya pun
terkadang membeli singkong yang belum cukup umur. Jika masa tanam
singkong biasa sekitar 10-12 bulan, terkadang usia delapan bulan sudah
dipanen sebelum diburu oleh pihak lain. (PITO AGUSTIN RUDIANA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar