Dari "Nyonya Week" hingga "Week"
BERMULA
dari tradisi hajatan yang tak pernah lupa menyuguhkan aneka jenis
penganan dari beras ketan, seperti wajik yang berwarna cokelat dan jadah
yang berwarna putih. Sebuah tradisi yang masih banyak ditemui di
pelosok-pelosok pedesaan. Alasan itu pula yang menggugah keinginan
Nyonya Ong King Liem untuk membuat penganan wajik yang bisa dipasarkan
ke mana-mana. Hingga lahirlah kali pertama penganan wajik komersiil pada
1931 di Desa Salaman, tepatnya di Jalan Salaman Raya, Kabupaten
Magelang, Jawa Tengah atau sekitar sembilan kilometer dari bangunan
wisata eks tujuh keajaiban dunia, Candi Borobudur.
Sepeninggal
Ong King Liem, usaha rumahan yang hanya mengandalkan tenaga seorang
karyawan ditambah para anggota keluarga itu dilanjutkan salah satu
anaknya, Nyonya Ong Gwek Nio hingga 1972. Kemudian secara turun-temurun,
wajik khas racikan Nyonya Ong King Liem itu diteruskan cucunya, Ong Hwa
Nio hingga 1979, dilanjutkan lagi oleh cucunya yang lain atau kakak
dari Ong Hwa Nio, yakni Ong Jow Tjwan hingga 1980. Barulah kini
ditangani salah satu keponakan dari Ong Jow Tjwan, yakni Untung Giyanto
(54). “Baru
pada masa saya, wajik itu diberi nama “Wajik Nyonya Week”,” kata Untung
saat ditemui Tempo di kediaman sekaligus toko wajiknya di Salaman,
Kamis (9/10/2008). Nama “Week” sendiri diambil dari nama budhenya, yakni Ong Gwek Nio.
“Tapi lidah masyarakat sini sering menyebutnya dengan Week,” kenang Untung, lulusan Fakultas Sosial Politik Jurusan Komunikasi Universitas Diponegoro, Semarang itu. Pemberian nama pun berlanjut dengan pemasangan papan nama berukuran besar yang didesainnya sendiri di toko sekaligus rumahnya yang mungil dan sangat sederhana. Sangat kontras dengan toko-toko oleh-oleh yang berbangunan besar dan megah yang bertebaran di sepanjang jalan raya arah Muntilan hingga Magelang. Diakui Untung, toko-toko oleh-oleh yang menjual produk wajiknya itu telah meminta izin untuk memasang papan nama produknya, meski toko itu bukanlah miliknya. “Kami hanya punya dua toko, di sini (di rumah) dan satu cabang di pertigaan Palbapang,” ucapnya.
Dalam
mendesain huruf maupun background papan nama wajiknya, menurut Untung
yang pernah kursus setahun di Jogja Design School itu tak lepas dari
semangat nasionalismenya. Maklum, warna merah menyala terlihat
mendominasi dengan pulasan warna putih. Alasannya, justru banyak produk
dari luar negeri yang tidak menanggalkan identitas kenegaraannya. Dia
pun ingin meniru hal itu.
Tak hanya wajik yang diproduksinya,
kala itu juga ada onde-onde, keripik tempe, serta rempeyek kacang. Namun
saat tiba di tokonya, para pelanggan lebih banyak membeli wajiknya. Tak
hanya pemasaran wajiknya yang kian digencarkan, Untung pun mengubah
brand nama wajiknya menjadi hanya “Wajik Week” saja. Mengapa? “Soalnya banyak pembeli yang nanya, lha nyonyanya (Nyonya Gwek) mana?” jawab Untung sembari terkekeh.
Menjaga kualitas adalah prinsip yang
dipegang teguh penghobi fotografi itu. Tak heran, berbagai upaya untuk
mempertahankan dan meningkatkan mutu dilakukannya agar konsumen percaya
akan produknya. Misalnya, pantang bagi Untung untuk mengurangi takaran
bahan baku wajiknya, meski pun harga bahan pokok naik. Dia lebih memilih
untuk menaikkan harga, asalkan konsumen puas karena rasa wajiknya
tetaplah sama. Cara pengolahannya pun tetap diikutinya sesuai standar
yang digariskan para pendahulunya. Paling tidak, mulai dari merebus
santan hingga keluar minyaknya, memasukkan gula kepala cair, lalu
memasukkan ketan yang sudah dimasak dan mengaduk semua adonan menjadi
satu itu membutuhkan waktu sekitar enam jam.
“Ibaratnya, kalau 10 kilogram ketan seharusnya diolah selama enam jam, tapi hanya dua jam, apa jadinya?” ucapnya. Pengadukan satu adonan pun dilakukan
secara manual di dalam kenceng atau sejenis wajan besar yang dipesan
khusus dari Boyolali karena ukurannya berdiameter 70 centimeter.
Pengadukan dengan alat, semisal dinamo, menurut Untung yang pernah
mencobanya justru tak efektif karena tak kuat. Pasalnya, kian matang,
adonan wajik kian liat, sehingga kian berat untuk diaduk.
foto: pitogoestin |
Di sisi lain, pemasaran penganan basah
semacam wajik, diakui Untung tak lepas dari kendala karena tak tahan
lama. Sehingga upaya pemasarannya pun masih sebatas di kawasan Magelang,
belum ke luar daerah.
“Karena produk kami tanpa pengawet. Kalau tidak dimasukkan dalam freezer tahan lima hari, jika dimasukkan bisa sebulan dan harus dikukus dulu sebelum dimakan,” paparnya.
Dengan produk tanpa pengawet itu, maka
pihaknya memang sepakat tidak banyak membuat produk dalam sehari. Jika
semula hanya lima kilogram ketan sehari, kini dinaikkan sekitar 30
kilogram per hari dengan pemasaran seputar Magelang saja. Pagi
diproduksi, harapannya sore hari telah habis. Rasanya pun hanya terdiri
dua macam, yakni wajik cokelat dan wajik hijau rasa daun pandan.
Wajik-wajik itu dikemas dalam kotak dengan dua ukuran berbeda. Kotak
kecil seharga Rp 7.500, dan yang besar seharga Rp 15.000.
Kini,
Untung tak hanya memfokuskan produknya pada wajik yang telah banyak
dikenal orang karena teksturnya yang empuk, manis, dan mengandung banyak
minyak itu. Dia mulai mengembangkan produknya dengan tambahan produk
Getuk Week, Bakpia Week, dan rencananya ada Kerupuk Week. Lantas,
bagaimana triknya untuk bisa mengenalkan produk-produknya hingga banyak
orang mengenal dan membelinya, mengingat lumayan nun jauh tokonya berada
di luar pusat kota? “Yang
paling efektif, ya mempersilahkan pada konsumen yang datang untuk
mencicipi produk kami,” tandasnya yakin yang pernah pula mengiklankan
produknya di radio maupun media cetak.
Trik
itu pula diakui Untung diterapkan dalam mengenalkan produk wajiknya
hingga sekarang. Siapa pun konsumen yang datang ke tokonya, khususnya
yang baru kali pertama mengenal produknya akan dipersilahkan mencicip,
meski tak harus membeli. Upaya itu pula yang akan diterapkan untuk
produk-produk barunya. “Sopir
pengantar tamu juga harus kita beri produk kita,” imbuhnya dengan
harapan, suatu ketika si sopir tersebut akan mengantarkan kembali
pelanggan baru kepadanya.
(PITO AGUSTIN RUDIANA)
(PITO AGUSTIN RUDIANA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar