Bermula dari Nomor Rumah
foto: pitogoestin |
SINGGAH di Yogyakarta terasa tak lengkap jika pulang tak membawa buah tangan berupa bakpia dan gudeg. Begitulah, dua jenis
makanan khas Yogyakarta yang turut menambah perbendaharaan wisata
kuliner seantero Nusantara. Bahkan, karena kekhasannya pula, nama-nama
kampung yang merupakan cikal bakal ketenaran dua jenis makanan itu
menjadi tempat wisata kuliner yang terasa kurang jika dikunjungi.
Pathuk. Begitulah
orang menyebut sebuah kampung di Kelurahan Ngampilan, Kecamatan
Ngampilan, Kota Yogyakarta sebagai kampung bakpia. Di sanalah, sebuah
toko bakpia terbesar, Bakpia 75 yang merupakan cikal bakal bakpia di
Yogyakarta, berdiri megah. Awalnya hanya sebuah usaha rumahan (home
industriy) milik keluarga Liem Bok Sing yang merintis di Jalan Dagen,
atau sisi barat Malioboro pada 1948. Kue basah itu asal China itu dijual
di rumah, juga dijajakan secara berkeliling oleh dua orang karyawannya.
Keterbatasan tenaga membuat keluarga Liem banyak menolak
pesanan-pesanan bakpia. Hingga pada 1955, keluarga itu pindah ke Jalan
AIP II Karel Sasuit Tubun yang terletak di kawasan Pathuk hingga
sekarang. Di kawasan itu pula, mulailah bermunculan industri-industri
bakpia, dari yang besar seperti Bakpia 25 yang sering disebut-sebut
sebagai kompetitor Bakpia 75, pun industri-industri sedang hingga kecil
lainnya,
seperti Bakpia 555, Bakpia 21, Bakpia Bu Sri, Bakpia 932, Bakpia 73B,
dan sebagainya.
“Nama 75 diambil
dari nomor rumah tempat bakpia itu diproduksi,” kata Manajer Operasional
Bakpia 75, Dwi Yuniati saat ditemui Tempo di tempatnya bekerja akhir
pekan silam, 5 Oktober 2008.
Sepeninggal Liem,
usaha itu diteruskan anak laki-lakinya, Yeni Susanto. Pesanan dari para
pelanggan pun diterimanya, sehingga dia menambah karyawannya menjadi
lima orang. Pada 1980-an, bakpia tak lagi dijual dengan berkeliling,
tapi dipasarkan di toko-toko yang juga menjual aneka makanan kering khas
Yogyakarta. Bahkan pada 1990-an, bakpia yang diproduksinya pun banyak
dipesan dari pihak-pihak hotel, pun dari berbagai toko. Usaha pun
diteruskan istrinya usai Yeni meninggal. Hingga kini, Bakpia 75
mengembangkan sayap menjadi empat toko. Yakni di Jalan AIP II KA Tubun
Nomor 75 dan Nomor 83 yang berdiri berdampingan, serta di Jalan HOS
Cokroaminoto 119B dan Jalan Magelang Km 4,5 yang semuanya terletak di
Yogyakarta. Proses produksi tak lagi dilangsungkan di rumah, melainkan
di toko-toko tersebut yang selain menjadi tempat pemasaran, sekaligus
pabrik. Kecuali toko di Jalan Magelang yang hanya menjadi lokasi
pemasaran saja. Jika semula hanya mempekerjakan dua karyawan, kini
total mencapai 150-an orang karyawan.
Jika semula bakpianya hanya berisi umbu (kacang hijau), sekarang ada cokelat, keju, juga durian.
“Khusus bakpia isi durian diproduksi jika musim durian saja,” imbuhnya.
Alasannya, isi bakpia haruslah dari bahan asli, bukan sekedar aroma, bukan
pula buatan. Tak hanya hanya itu, per 29 September 2008 lalu, Bakpia 75
juga memproduksi pia, yakni bakpia kering dengan adonan mentega yang
relatif tahan lama hingga sebulan. Berbeda dengan bakpia isi kacang
hijau yang hanya tahan sekitar empat hari, atau isi keju, durian, dan
cokelat yang bisa tahan hingga seminggu.
Momentum lebaran, juga
libur panjang menjadi kesibukan tersendiri bagi karyawan di sana. Tak
tanggung-tanggung, dalam sehari bisa memproduksi bakpia sebanyak satu
hingga satu setengah kuintal bakpia. Jauh lebih banyak ketimbang
hari-hari normal yang hanya memproduksi 25-30 kilogram bakpia.
“Harga sekotak bakpia isi umbu Rp 17.500, kalau yang rasa lain Rp 20.000,” terangnya untuk satu kotak isi 20 biji.
Seperti siang pada akhir pekan lalu. Kala para pemudik mulai bersiap-siap kembali seiring arus balik lebaran,
jalan di kawasan itu terlihat padat dan macet dengan kendaraan pribadi,
mulai dari mobil dan sepeda motor, hingga kendaraan umum sebangsa taksi
dan bus pariwisata. Tujuannya sama, mampir ke kawasan Pathuk untuk
berburu bakpia aneka rasa khas Yogyakarta.
“Mau nyari bakpia,
Mbak? Di situ saja,” tunjuk seorang ibu yang mengaku asal Surabaya yang
baru saja keluar dari mulut sebuah gang kecil sambil menenteng beberapa
tas kecil berisi kotak-kotak bakpia. Gang itu memisahkan antara dua toko
sekaligus pabrik Bakpia 75 yang berada di jalan yang sama. Saat
melongok ke gang yang hanya muat dilalui kendaraan roda dua dan tiga
itu, tampak aneka papan nama bertuliskan bakpia berdiri saling
membelakangi. Saat Tempo menanyakan mengapa dia rela menyusuri gang-gang
sempit hanya untuk membeli bakpia, mengingat banyak sekali toko-toko
bakpia di sepanjang jalan itu.
“Wah, rasanya sama saja,” ucapnya sembari tersenyum.
Komentar soal rasa
yang sama, juga diakui Aji (25), anak sulung dari Waljiyah (54), pemilik
home industry Bakpia 932 di salah satu gang kecil. Dia mengisahkan, ada
pembeli yang semula datang ke rumahnya, mencicip bakpianya, menanyakan
harganya, lantas pergi tanpa membeli. Namun tak berapa lama, dia kembali
untuk membeli beberapa kotak bakpia.
“Biasanya karena harga di industri-industri rumahan lebih rumah, sedangkan rasanya tak jauh beda,” ucapnya.
Dirinya berani menjual
dengan harga terpaut lebih murah ketimbang industri bakpia yang sudah
punya nama. Sebutlah, untuk satu kotak isi 15 biji seharga Rp 9.000 dan
Rp 12.000 untuk 20 biji. Rasanya pun tak jauh beda dengan bakpia-bakpia
yang sudah berkelas.
“Kakek saya dulu adalah karyawan angkatan pertama di Bakpia 75,” kata Aji.
Dari kakeknya pula,
kepiawaian membuat bakpia, termasuk pengetahuannya soal bumbu “rahasia”
diturunkan pada ibunya yang merupakan menantunya. Hanya saja, ibunya
baru mulai membuat bakpia pada Agustus 2007 untuk kesibukan kala pensiun
tiba.
“Kakek berpesan,
jika ingin membuat bakpia agar dilakukan setelah kakek meninggal,”
imbuhnya yang masih memasarkan bakpianya sebatas di sebuah rumah sakit
swasta dan di rumah tentunya. Dalam sehari, lewat modal awal sekitar Rp 7
juta hingga Rp 10 juta, pihaknya bisa memproduksi 10 hingga 20 kilogram
per harinya. Namun saat lebaran tiba bisa melonjak hingga 50 kilogram
per hari.
foto: pitogoestin |
Tak
hanya soal kekhasan rasa bakpia yang legit, Aji dan keluarganya pun
memberi nama usahanya sesuai dengan nomor rumahnya, 932. Sama dengan
yang dilakukan usaha pendahulunya.
“Di
sini semua juga begitu. Kalau namanya pakai angka, itu nomor rumah.
Kalau pakai nama orang, biasanya nama pemilik atau anaknya,” terang Aji.
Sama pula yang dilakukan keluarga Lis Wahyuni (50) yang
memberi nama usahanya dengan nomor rumahnya di sebuah gang sempit di
belakang Toko Bakpia 75, Bakpia 73B. Menurut salah satu anaknya, Nico
Sulistyo (25), sebelumnya sebagian rumahnya yang terletak tepat di
belakang pabrik Bakpia 75 itu dibeli pihak Bakpia 75. Ada lorong kecil
sebagai jalan yang menghubungkan antara Jalan AIP II KS Tubun, pabrik,
juga rumahnya.
“Mau tak mau, keluarga saya sering lihat bagaimana proses membuat bakpia. Ibu saya pun belajar dari karyawan di sana,” aku Nico.
Akhirnya,
pada 2005, rumah mereka itu pun disulap sebagai pabrik sekaligus tempat
pemasaran bakpianya. Proses pembuatannya pun memanfaatkan lorong kecil
memanjang selebar sekitar satu meter di rumah itu. Mulai dari proses
mengaduk adonan, mencetak, hingga proses penggorengan, pendinginan, dan
memasukkannya ke dalam kotak-kotak karton.
“Lebaran
begini, produksinya bisa naik tiga hingga empat kali lipat,” imbuhnya
sembari menambahkan bahwa pada hari biasa memproduksi sekitar 100 kotak
berisi 20 biji per kotaknya.
Tak
hanya membuat bakpia menjadi kesibukan masyarakat sehari-hari di
kawasan Pathuk. Warga lainnya pun memanfaatkannya untuk menjaring
konsumen dengan menjadi tukang parkir atau pun menjadi pekerja di bagian
pemasaran yang ikut mempromosikan bakpia-bakpia yang dijual di sana.
Sebutlah, sejumlah warga yang mengajak pengunjung yang datang untuk
membeli bakpia di rumah-rumah industri kecil sembari berteriak-teriak
setengah berpromosi di mulut gang. (PITO AGUSTIN RUDIANA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar