Semua Berawal dari Sebuah Tuk
foto: pitogoestin |
SEBUAH ember berukuran sedang warna hitam nyaris
dibuang Bibit, pemuda pengangguran berpikiran idealis, ke dalam sumur. Lantaran
ember lusuh yang sudah penuh tambalan di sana-sini itu masih saja bocor meski
sudah ditambal ulang. Mbah Kawit, perempuan paling renta yang hidup dari belas
kasih warga di perkampungan tanah magersari itu berteriak-teriak mengingatkan.
Bahwa membuang sampah ke dalam sumur yang berisi tuk alias mata air sebagai
sumber kehidupan, bukan perbuatan terpuji. Sumur bukan tempat sampah. Kehidupan
sedari bangun tidur dan akan tidur lagi dimulai dari tuk.
Tapi peringatan kedua dari Mbah Kawit
untuk melindungi tuk, tak mempan buat Suleman Lempit. Si tukang makelar apa
saja itu marah-marah gara-gara seekor ayam jago aduan raib dari kandangnya.
Padahal ayam itu sudah ada yang menawar, Rp 57.000. Tanpa rasa bersalah, Mbah
Kawit nyeletuk. Ada seekor bangkai ayam ditemukannya di dalam sumur. Lantas
dijualnya kepada pedagang ayam seharga Rp 500. Suleman yang dipanggil Mbah
Kawit dengan Leseman – alasannya, Suleman adalah nama nabi – mengamuk. Sumur si
sumber penghidupan itu dianggapnya sebagai biang kerok melayangnya rezeki Rp
57.000. Tanpa rasa bersalah pula, laki-laki itu berdiri di atas bibir sumur,
membuka retsluiting celana panjangnya, dan mengencingi air sumur, si air
kehidupan. Bibit dan Lik Bismo, si penjual mainan anak-anak, tali kolor, juga
sumbu kompor yang fanatik dengan wayang kulit, hanya terbengong.
Penonton yang disuguhi adegan itu pun tergelak. Apalagi tiap ada dialog berisi umpatan yang diucapkan para pemain
Teater Lungid dalam lakon berjudul “TUK” di Teater Arena Taman Budaya Jawa
Tengah (TBJT), Kamis (26/6/2008) malam. Tontonan teater berbahasa Jawa ngoko itu pun
seperti tontonan lenong. Penonton sibuk nyeletuk, sibuk komentar, atau sekedar
bersuit-suit dan tertawa.
“Ya, sebenarnya kita sekaligus ingin
memperkenalkan kembali idiom-idiom bahasa Jawa kepada anak-anak muda yang
sekarang sudah banyak yang tidak mengenalnya,” kata sang sutradara, Pelog Trisno
Santosa.
Banyak ungkapan yang diakui Pelog, hanya
mampu dipahami masyarakat Jawa 10 tahun lalu, saat kali pertama lakon TUK
dipentaskan pada 1997 akhir. Namun menjadi asing di telinga anak-anak muda pada
10 tahun berikutnya. Sebut saja, seperti istilah urip kaya sambel yang
diucapkan Mbok Jemprit, si penjual bumbu dan lombok di pasar. Artinya, hidup
hanya untuk pelengkap. Mengingat pasar tradisional tempatnya berjualan akan
digusur untuk digantikan dengan pasar modern.
Hanya saja, diakui Pelog, tak semua ungkapan yang diucapkan sampai
maksudnya bagi penonton. Lantaran para pemain yang rata-rata sudah berusia 45
tahun ke atas itu lupa untuk menjelaskan artinya.
“Misalnya, gerji. Pemain hanya menyebut
gerji tanpa memberinya penjelasan. Orang mungkin tahunya itu gergaji, padahal
itu sebutan untuk tukang jahit pakaian. Ya, sudah tua, antara otak dengan bibir
sudah nggak sinkron,” kata Pelog, si pemeran Lik Bismo sambil tertawa. Namun,
meski tenaga tua, vokal mereka cukup lantang untuk didengar hingga di
sudut-sudut ruang.
foto: pitogoestin |
Sayangnya, tawa dan celetukan
penonton yang tak memenuhi ruangan itu tak bertahan selama dialog yang
diucapkan tiap-tiap pemain. Terlihat ada kejenuhan saat tiba di puncak klimaks.
Beberapa penonton pun sempat ada yang sudah meninggalkan ruangan. Durasi waktu
yang nyaris memakan 2,5 jam dimulai pukul 20.15 WIB itu diakui Pelog sebagai
salah satu alasannya.
“Ada beberapa pemain yang berimprovisasi dalam dialog. Bagaimana pun, itu
juga turut menambah durasi waktu. Tampilan berikutnya akan coba dipadatkan,”
kata Pelog.
Lakon yang diambil dari salah satu karya almarhum Kenthut Bambang Widoyo
mengisahkan kehidupan warga di tanah magersari. Sebuah istilah bagi komunitas yang nebeng
untuk tinggal di tanah pekarangan orang lain, dengan perjanjian juga batas
waktu yang kabur. Itu pun karena kebaikan Pak Darso, pemilik tanah yang sudah
meninggal. Namun kehidupan menjadi terbalik saat berhembus desas-desus, Menik,
anak perempuannya berniat menjual tanah itu. Warga magersaren yang rata-rata
dari kaum pinggiran pun kelabakan, akan tinggal di mana nantinya.
Mbah Kawit yang sering dipanggil
“dhanyange” oleh Lik Bismo dan Bibit karena dia generasi pertama yang tinggal
di tanah magersari yang masih hidup, adalah salah satu yang getol mempertahankan
tanah magersaren. Dia hanya berpatokan pada wasiat Pak Darso, bahwa tanah itu
tak boleh dijual. Perempuan
itu menganggap, awal bencana sudah terlihat sejak sumur sebagai sumber
kehidupan itu sudah mulai disalahgunakan. Dikencingi, tempat berkeluh kesah,
jadi tempat sampah, yang semestinya menjadi pantangan.
“Sumur kuwi ora nggo buang pauwan. Nanging sumber panguripan. Yen ngedohi
banyu, kuwi ngedohi rezeki,” pesannya.
Dia pun tak berdaya saat api melahap satu persatu rumah di kampung itu.
Namun cita-citanya untuk mati di sana, terpenuhi. (PITO AGUSTIN RUDIANA)
Tentang Teater Lungid
AWALNYA bernama Teater Gapit yang berdiri pada 1981 di Surakarta. Sebuah
nama yang diambil dari nama salah satu pintu di Keraton Surakarta, tempat
mereka janjian bertemu untuk latihan. Di sana ada nama-nama seperti Kenthut
Bambang Widaya SP, si pembuat naskah, juga Pelog Trisno Santosa, si sutradara.
TUK sebagai lakon terakhir yang dipentaskan pada akhir 1997, sepeninggal sang
penulis skenario yang membukukannya bersama karya-karya lainnya yang sudah
pernah dipentaskan. Ada Brug, Suk-suk Peng, Rol, Leng, Dom, juga Reh. Sedangkan
Luh belum pernah dipentaskan.
“Tapi sejak 24 Juni 2008 lalu, Teater Gapit
berganti nama dengan Teater Lungid. Kami cuma tak ingin beromantisme dengan masa
lalu. Tapi ingin tetap melestarikan teater berbahasa Jawa yang nyaris belum
pernah ada,” kata Budi Prasetyo, pimpinan Teater Lungid.
Lungid sendiri berarti tajam, juga cerdas. Meski ganti nama, namun para
pemainnya tetaplah sama. Para pemain yang sudah beranjak menua. (PITO AGUSTIN
RUDIANA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar