Riwayatmu...
foto: pitogoestin |
SLAMETO
WS (59) kembali melemparkan kailnya ke dalam kolam yang airnya berwarna
kuning kehijauan di depannya. Tali pancingnya diulur panjang demi bisa
menggapai air kolam yang terlihat jauh dari permukaan kolam. Sembari
menjepit pangkal tongkat pancingnya dengan sebelah telapk kakinya agar
tak jatuh ke kolam, kedua tangannya yang telah keriput dimakan usia
mulai memain-mainkan pelet. Umpan ikan berwarna cokelat mudah itu
diberinya sedikit air agar sedikit lembek, lalu dibuatnya menjadi
bulatan-bulatan kecil. Selanjutnya menunggu giliran jika umpan pertama
tak terlahap mulut ikan yang diburunya.
Tak
jauh beda dengan karibnya, Haryadi
(52) yang duduk di sebelahnya. Entah sudah berapa batang rokok habis
diisapnya sembari menunggu mata kailnya bergerak karena tersentuh mulut
ikan-ikan di sana. Toh, kantong plastiknya masih juga kosong. Sebelah
kakinya ditekuk dan didekapnya di dada. Sebelah lagi dijulurkan ke kolam
seolah ingin menggapai permukaan air kolam. Namun kian jauh tak
tergapai karena kian dangkal. Sedangkan dasar kolam yang semestinya
terlihat jelas, kian buram oleh kumuhnya sampah dedaunan dan warna air
kolam yang tak lagi jernih. Sementara itu, dua orang bocah seusia anak
SMP mulai menghitung ikan-ikan Red Devil di dalam kantung plastik bening
ukuran satu kiloan. Ada tiga ikan hias warna merah yang berhasil
dipancingnya dan siap untuk mengisi akuarium di rumahnya.
“Dulu kedalaman airnya semeter lebih. Bahkan waktu SMA, saya suka berenang di sini,” kenang Slameto membuka perbincangan akan
Taman Segaran, sebuah kolam yang berbentuk melingkar di komplek Sriwedari Solo itu, 29 Mei 2008.
“Jembatan
itu dulunya dari kayu, sekarang sudah jadi beton. Terus pagar di sisi
selatan itu dulu hanya dari kawat berduri, bukan tembok seoerti
sekarang. Dulu saya suka ke sini mbrobos dari situ, biar nggak bayar
tiket,” lagi-lagi pensiunan tukang wara-wara film keliling itu berkisah.
Rupanya
Sriwedari begitu lekat dalam kenangan masa mudanya. Pun kini, menjelang
senja yang dihabiskannya untuk memancing ikan di Taman Segaran. Meski
pun tak harus ada seekor ikan yang dibawanya pulang.
Jika
dilihat, Segaran adalah satu-satunya bangunan di Sriwedari yang
menandakan kedekatannya
dengan alam. Belum lagi pepohonan asem juga beringin dengan daunnya
yang rimbun memayungi tepian kolam. Saban hari, meski jumlahnya masih
bisa dihitung dengan jari, ada saja pemancing yang di sana. Rata-rata
kaum adam, baik tua mau pun anak kecil. Mereka duduk berjejer di tepian
Segaran dengan peralatan masing-masing. Hanya itu, aktivitas yang masih
bisa dilakukan di Segaran. Tak lagi bisa berlayar dengan perahu kecil
karena kedalaman air yang dangkal. Pun menyisakan sebuah perahu kecil
yang dibiarkan terapung-apung di tengah kolam dan sebuah dermaga kecil
di ujung barat yang tak lagi berfungsi.
Sementara
itu, di sebuah daratan kecil yang dibuat tinggi di tengah kolam
--laiknya Pulau Samosir di Danau Toba—yang disebut Taman Kapujanggan,
tampak sebuah bangunan kecil yang kini menjadi gudang. Dua bua jembatan
yang dibuat melengkung di sisi utara dan selatan menjembatani
pengunjung yang ingin ke sana. Menurut Slameto, dulu bangunan tersebut
dibuat asri dengan alunan musik keroncong yang dimainkan para musikus
tunanetra. Tak hanya itu, para raja dari Kasunanan Surakarta sering
berkunjung ke sana pada malam ke-21 pada bulan puasa atau malam Lailatul
Qadar untuk bersemedi di Gua Swara yang ada di bawahnya. Yakni sejak
masa Paku Buwono X dan tak lagi berlangsung pada masa Paku Buwono XII.
Itulah mengapa Sriwedari, konon adalah tempat wisata raja-raja Surakarta
sehingga sempat akrab disebut dengan Kebon Raja.
Berdasarkan
sejarah, sebagaimana dikemukakan budayawan Surakarta, Kalingga, bahwa
bangunan awal di Sriwedari adalah Gedung Kadipolo yang kini menjadi
Museum Radya Pustaka yang berada di sebelah timur Taman Segaran, serta
Segaran itu sendiri. Tanah Gedung Kadipolo diambil dari tanah
sitihinggil, sedangkan air di Taman Segaran dialiri
langsung dari mata air di Pengging, Kabupaten Boyolali. Pembangunan
Sriwedari sendiri dimulai pada 1 Januari 1901 pada masa pemerintahan
Paku Buwono X.
“Pentas
wayang orangnya sudah ada sejak 1907. Sedangkan untuk bioskop sudah ada
sejak ada gambar sorot bisu (film bisu). Mulai 1927 juga diramaikan
maleman Sriwedari dengan semacam pasar malam. Ya, setelah malam 21 puasa
itu,” tutur Kalingga.
Ditambahkan
oleh Kepala Sie Pelayanan dan Informasi Wisata Dinas Pariwisata Solo,
Mufti Raharjo, pembangunan Sriwedari sendiri yang berdiri di atas lahan
seluas sekitar 10 hektar itu diilhami adanya taman untuk konservasi alam
yang dibangun Belanda di Bogor. Sedangkan nama Sriwedari diambil dari
istilah surga atau taman yang indah sekali dalam dunia pewayangan.
Sebagaimana pernah
dikemukakan Slameto, bahwa nama itu ada dalam kisah pewayangan Sumantri
dan Sukasrana.
“Jadi
pada masa PB X itu sangat memperhatikan konsep keseimbangan alam.
Makanya Sriwedari pun dibangun dengan konsep tersebut. Yakni taman yang
dijadikan sebagai hutan kota sekaligus resapan air. Itu bisa dilihat
dari Taman Segaran. Dulu, air dari umbul Pengging itu mengalir terus,”
tutur Mufti.
Pada
1980-an, Walikota Solo kala itu melakukan revitalisasi. Antara lain,
memindahkan kebun binatang ke Taman Jurug. Dan Walikota sekarang, Joko
Widodo pun berniat untuk merevitalisasi Sriwedari kembali ke konsep
awal, sebagai konservasi alam. Hanya saja, kapan terealisasi, belum ada
kepastian.
foto: pitogoestin |
Namun
jika ditilik dari bangunan di atas lahan seluas sekitar 10 hektar itu,
memang tak hanya Taman Segaran yang menjadi ciri khas Sriwedari. Dimulai
adanya stadionnya sebagai ajang pertandingan sepakbola. Bahkan Pekan
Olah Raga Nasional (PON) kali pertama di Indonesia pada 1949 digelar di
sana. Di sebelah timurnya adalah taman hiburan rakyat (THR). Di sana
biasa digelar pentas musik dangdut dengan grup musik yang rata-rata dari
kawasan lokal. Kebanyakan adalah kaum muda mudi yang rela berjubel demi
bisa bergoyang di sana.
Di
tempat itu pula menjadi jujugan utama anak-anak usia bawah lima tahun
(balita) hingga sekolah dasar (SD). Pasalnya, aneka permainan seperti
komidi putar, bom bom car atau yang biasa mereka sebut mobil senggol,
dan sejenisnya ada di sana. Tempat tersebut mulai ramai dikunjungi pada
akhir pekan, kala anak-anak libur sekolah.
Di
sebelahnya lagi adalah kawasan dimana bangunan-bangunan untuk
berkesenian dibangun. Saat datang, pengunjung disambut oleh gapura
dengan loket karcis yang terlihat sepi pada hari-hari biasa. Namun sejak
malam Minggu hingga Minggu malam, siapa yang ingin masuk harus merogoh
kocek sebesar Rp 1.000. Sebuah pendapa untuk aneka pentas seni, seperti
teater atau pun wayang kulit berada di sisi tengah, usai lokasi parkir
mobil. Di depan pendapa bertengger patung Gathotkaca yang tengah
memangku istrinya, Pergiwa dalam lakon wayang “Pergiwa Pergiwati”.
“Patung
itu untuk menghormati Pak Rusman dan Bu Darsi. Keduanya adalah pemain
lama wayang orang yang sangat disegani yang sering memainkan lakon
Gathotkaca dan Pergiwa. Tapi Pak Rusman sudah meninggal dunia,” tutur
Welas (52), pedagang kupat tahu yang mangkal di sana sejak
1979.
Nasib
patung yang dipoles dengan cat kuning keemasan itu terlihat tak
terawat. Sebelah tangan Pergiwa buntung hingga ujung lengan dan sebelah
tangan Gathotkaca putus hingga pangkal lengan. Tak jauh beda dengan
kondisi pendapa yang catnya terlihat kusam. Pendapa itu sendiri lebih
banyak dipergunakan pengunjung untuk beristirahat karena kelelahan,
sekedar ngobrol dengan rekan, atau membaca koran.
Sedangkan
gedung wayang orangnya itu sendiri terletak di sisi belakangnya.
Kondisinya pun tak terlalu bagus. Atap gedung yang terbuat dari papan
triplek, sebagian sudah terlihat menganga. Sungguh pun demikian, Gedung
Wayang Orang Sriwedari itu merupakan gedung kesenian yang paling aktif
digunakan ketimbang bangunan seni lainnya di sana. Tiap malam, mulai
pukul 20.00 WIB hingga tengah
malam, sebuah pentas wayang orang pasti dipertunjukkan. Bahkan sebuah
jadwal pentas dengan lakon yang berbeda telah tersusun dari tanggal satu
hingga terakhir dalam satu bulan. Jadwal yang hanya diketik dengan
komputer pada selembar kertas putih itu tertempel di kaca meja loket.
“Yang
main bagus-bagus, kok. Ya, ketimbang dulu lebih bagus sekarang. Bisa
dilihat dari busananya lebih lengkap, tariannya lebih luwes, tata
panggungnya juga lumayan. Cuma Rp 3.000,” terang Harmanto (42).
Lelaki
nyaris paruh baya itu terlihat duduk-duduk di teras gedung dengan
sebuah sepeda ontel di sampingnya. Dia mengaku suka menonton wayang
orang di sana, meski harus rela mengayuh sepedanya dari Cemani,
Kabupaten Sukoharjo. Di tengah kesendiriannya, dia menikmati suara musik
yang terdengar campur bawur
dari aneka permainan anak di THR yang ada di sisi baratnya.
“Padahal
itu (THR) dulu adalah kebun binatang. Tapi sejak dibangun Taman Jurug,
binatang-binatang di situ dipindah ke sana. Masih ingat saya, saat
melihat gajah-gajah itu diangkut pakai truk,” akunya sambil tersenyum
simpul.
Di
sisi utara gedung terdapat area parkir untuk kendaraan roda dua. Pun
ditambah bangunan-bangunan berukuran kecil sebagai warung makan.
Sayangnya, penempatan bangunan-bangunan itu tak memperhatikan estetika
yang baik agar mengesankan. Justru terkesan seadanya.
Jika
menginginkan suasana yang sepi, namun tak nyaman, bolehlah berjalan ke
arah timur. Di sanalah, bangunan Solo Theatre yang sudah
tak lagi memutar film sejak sekitar 1996, masih berdiri. Tak ada
sisa-sisa poster-poster film di sana. Siapa pun yang baru kali pertama
ke sana, tak menyangka bahwa bangunan dengan dinding depan berupa kaca
rayban hitam itu dulunya adalah gedung bioskop. Saat mengintip dari
kaca, tampak beberapa meja tak tertata rapi. Tumpukan poster-poster film
dibiarkan teronggok di dekat pintu masuk ke studio. Atap langit-langit
pun serasa akan jebol karena menganga di sana sini. Dan saat melihat
pintu studio yang terbuka, tampak samar-samar beberapa anak tangga yang
dilapisi karpet merah menjadi jalan masuk penonton. Selebihnya, gelap.
“Kalau
ingin adu nyali ya, di sana (gedung bisokop) itu. Jadi kalau nonton
pasar malam, nggak usah ke rumah hantu, ke bioskop itu saja,” gurau
Slameto memberi perumpamaan, betapa angkernya gedung itu.
Dia
sendiri enggan menjelaskan seperti apa keangkeran yang dimaksud. Dulu,
tiap ada film baru, lelaki kurus itu bertugas menginformasikan kepada
masyarakat lewat pengeras suara dengan mobil yang membawanya
berkeliling. Meski dicap angker, tak demikian bagi beberapa pengemis dan
gelandangan di sana. Bahkan mereka memanfaatkan teras bangunan pada
sisi barat dan selatan sebagai tempat beristirahat. Lengkap dengan aneka
buntalan warna kusam dan kumuh yang bagi mereka tetaplah berguna meski
bagi orang umumnya sudah terbuang. (PITO AGUSTIN RUDIANA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar