Perpustakaan Kuno yang Jarang Dijamah
foto: pitogoestin |
Tak begitu
banyak yang tahu bahwa di salah satu ruangan di lantai dua kerajaan tersebut
masih terasa denyut perlahan nadi perpustakaan yang tergolong kuno. Hanya ada
beberapa gelintir karyawan yang bertugas untuk mengurusi administrasi, alih
aksara dari huruf Jawa ke huruf latin, tukang ketik, editor, hingga tukang
cetak. Para pengunjungnya pun hanya berkisar 5-8 orang saban harinya, seolah
banyak yang enggan menjamahnya. Mahasiswa yang membutuhkan data untuk tugas
akhirnya, seniman berbagai aliran untuk pengembangan ilmunya, para peneliti,
atau pun masyarakat umum yang sekedar membaca untuk tahu. Itu pun ada kesan tak
puas untuk menikmati bacaan buku-buku kuno di sana. Lantaran tak diperbolehkan
membawa pulang bukunya, pun waktunya dibatasi dari pukul 09.00 hingga 12.30
WIB.
“Ya,
maklum...kami ini tidak digaji dari pemerintah (Pemerintah Kota Solo, red). Cuma
dapat uang transport dari pihak kraton,” demikian alasan Kanjeng Raden Nganten
Tumenggung Siti Koestini Soemardi, pensiunan guru sekolah dasar yang telah
menjabat sebagai Kepala Perpustakaan Rekso Pustoko sejak 1986 saat dijumpai
Tempo, Selasa (29/4/2008).
Tak jelas,
berapa uang transport yang diterimanya berikut pegawai-pegawainya. Ada rasa
enggan dan malu untuk mengatakan. Jawaban itu pula turut menggambarkan kondisi
perpustakaan yang kini telah menyimpan sekitar 20.000-an buku dari masa KGPAA Mangkunegara
I hingga kini, KGPAA Mangkunegara IX. Buku-buku yang tak hanya uzur dimakan
usia, namun juga rusak dimakan rayap itu hanya dirawat dengan sekitar tiga
kilogram kapur barus tiap bulannya. Perawatan lebih layak lagi adalah dengan
fumigasi.
“Fumigasi pun
tidak mesti kapan waktunya. Tergantung dananya. Kalau ada dana ya, setahun
sekali. Ya, sekitar tiga juta rupiahlah. Kalau tidak ya, dua tiga tahun
sekali,” aku Koestini.
Meski
demikian, Koestini sangat bersyukur lantaran ada hari-hari tertentu dimana
perpustakaan kuno nan sepi itu rapami dikunjungi. Bukan pada hari-hari libur
panjang ketika pelajar libur. Namun justru saat tahun ajaran baru, tepatnya
pada masa orientasi sekolah alias opspek. Biasanya, pihak perguruan tinggi di
Kota Budaya itu akan mengajak mahasiswanya mengunjungi Rekso Pustoko sebagai
ajang perkenalan peninggalan-peninggalan budaya kraton di Solo.
“Ya,
pengenalan biar nanti kalau mencari bahan untuk tugas kuliah, bisa langsung ke
sini. Lagi pula, anak-anak SMA juga ada yang ke sini. Soalnya, Bahasa Jawa kan
sekarang diajarkan di sana,” imbuhnya perempuan renta yang berusia 82 tahun
itu.
Jadi, apakah
hanya buku-buku berbahasa Jawa saja yang tersimpan di sana? Ternyata tidak. Buku-buku
yang dibagi menjadi 20 kelompok berdasar tema besarnya itu terdiri banyak
bahasa. Mulai bahasa Jawa, Belanda, Inggris, juga Indonesia. Mulai dari buku
peninggalan yang ditulis oleh KGPAA Mangkunegara I yang berjudul “Sejarah Wiwit
Nabi Adam Dumugi Ratu-ratu Tanah Jawi lan Sanesipun” yang ditulis pada 1769
Masehi hingga buku terbaru yang dikoleksinya pada 11 Maret 2008 yang berjudul
“Barus Seribu Tahun yang Lalu” dari tulisan Claude Guillot dan kawan-kawannya.
Buku-buku dari
kalangan Mangkunagaran yang rata-rata beraksara Jawa, oleh pegawai perpustakaan
dialihaksarakan menjadi aksara latin, lalu dicetak ulang. Ada pula buku-buku
lama yang sudah dicetak dengan aksara Jawa yang masih disimpan. Seperti
“Serat-serat Anggitan Ndalem KGPAA Mangkunegara IV” yang merupakan kumpulan
tulisan Mangkunegara IV yang dikenal sebagai pujangga dan sastrawan besar
sekelas Ronggowarsito itu.
“Kalau tulisan
tangan beliau yang berupa aksara Jawa, nggak ada di sini, entah di mana. Di
sini hanya aksara Jawa yang sudah dicetak saja,” kata Darweni, pegawai
perpustakaan yang sekaligus juru alihaksara di sana.
Ada juga
buku karya Mangkunegara IV yang cukup terkenal yang berjudul “Serat Wedhatama”
yang berisi ajaran budiluhur kehidupan masyarakat Jawa. Juga karya KGPAA
Mangkunegara VII yang berjudul “Pakem Pedalangan Ringgit Purwo”. Buku yang
dicetak dengan aksara Jawa itu terdiri dari 37 jilid dan 37 lakon wayang purwo.
Dua raja itulah yang merupakan tokoh-tokoh dibalik keberadaan dan perkembangan
Rekso Pustoko itu sendiri. Keduanya penggila sastra. Keduanya pecinta membaca.
Pada masa KGPAA Mangkunegara IV lah Rekso Pustoko berdiri, meski saat itu
keberadaan buku-buku masih diperuntukkan bagi para punggawa raja. Raja yang
punya nama kecil Raden Mas Sudira kelahiran 3 Maret 1811 itu kurang tertarik
pada kegiatan adu jago juga memanah. Seni dan sastra menjadi kepiawaiannya,
sebut saja karya lainnya adalah “Wulang Reh”. Dan di tangan KGPAA Mangkunegara
VII, Rekso Pustoko berkembang. Raja yang memprioritaskan pada pembangunan di
bidang pendidikan itu teah mengembangkan Sekolah Desa (sekolah dasar bagi
kalangan menengah ke bawah) dari 19 sekolah menjadi 127 sekolah. Begitu pula
membangun Sekolah Rakyat (sekolah dasar bagi kaum menengah ke atas) sebanyak 65
sekolah.
“Buku-buku
karya raja, yang dikumpulkan raja, maupun tentang Kraton Mangkunagaran ini
sekarang ada 2.116 buku. Untuk karya-karya Mangkunegara IV dan VII sebagian ada
di sini, sebagian lagi entah di mana. Tapi hanya buku karya Mangkunegara I itu
saja yang nggak boleh dibuka dan dibaca umum. Hanya kalangan raja saja,” tutur
Darweni.
foto: pitogoestin |
Buku berjudul
“Sejarah Wiwit Nabi Adam Dumugi Ratu-ratu Tanah Jawi lan Sanesipun” itulah yang
dimaksud yang kini dimuseumkan. Panjangnya 19 centimeter dengan tebal 2,5
centimeter dan ditulis dengan aksara Jawa dan aksara Arab. Tak banyak kalangan
umum yang tahu isinya, karena adanya larangan untuk membacanya. Hanya saja,
berdasar sejarah, KGPAA Mangkunegara I alias Raden Mas Said atau yang berjuluk
Pangeran Sambernyawa yang dimakamkan di makam raja-raja di Mangadeg,
Karanganyar itu memang memfokuskan agama sebagai arah kebijakan dan
pembangunannya.
Jika
didasarkan pada katalog, buku-buku lain yang disimpan di sana adalah tentang
piwulang, sejarah, sastra, wayang, menak, karawitan, tari, adat, primbon,
pariwisata, hukum, pertanian, kesehatan, flora dan fauna, dongeng, warna-warni,
juga batik. Bahkan katalog terakhir adalah buku-buku tentang politik.
“Kalau
buku-buku politik memang baru saja, pada masanya Bu Mega (masa pemerintahahan
Presiden Megawati Soekarno Putri, Red). Sebab kakaknya Bu Mega (Sukmawati
Soekarno Putri, Red) kan pernah menjadi istri dari KGPAA Mangkunegara IX, tapi
sekarang sudah cerai,” kata Darweni.
Meskipun para
pengunjung yang membaca tanpa dipungut biaya itu – kecuali jika ingin memiliki
dengan difoto copy-kan oleh pegawai di sana – dilarang membawa buku-buku yang
dibacanya ke luar alias di bawa pulang, diakui Darweni sempat pula ada yang ketlisut.
“Ya, dulu
pernah ada yang ketlisut. Jadi ada cucu raja di sini yang pinjam
beberapa buku untuk di bawa pulang. Ya, kami nggak mencatat, nggak beranilah,
wong cucu raja,” aku Darweni.
Siang itu, pukul 12.30 WIB, Darweni mengingatkan lima
pengunjung yang masih asyik membaca dan membolak-balik buku-buku di sana.
Meninggalkan ruangan yang tua dimakan usia, meski berusaha memodernkan dengan
buku-buku terbitan baru. (PITO AGUSTIN RUDIANA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar