Awalnya, Cukup Merogoh Rp 15 Ribu Satu Set
foto: pitogoestin |
TANGAN keriput Tumiyem memasukkan pilahan batang enceng gondok di sela-sela
benang tenun warna hijau tua. Bersamaan dengan itu, kedua kakinya
menginjak semacam pedal hingga celah di antara dua barisan benang itu
membuka. Dengan tangan keriputnya pula, perempuan tua usia 60 tahun itu
menarik batang loket hingga batang-batang lidi itu merapat pada barisan
benang.
Thak, thek, thok. Thak, thek, thok....
Begitulah
terus-menerus Tumiyem mengulangi aktivitasnya dengan mengandalkan gerak
tangan dan kakinya. Lantaran semua bagian alat tenun yang
dipergunakannya dari kayu. Tak bermesin hingga tak cukup memencet tombol
listrik dengan jari untuk menjalankan mesin tenun. Alat tenun dari kayu
yang lebih dikenal dengan sebutan alat tenun bukan mesin (ATBM) itu
tetap awet sejak 1950-an yang dipergunakan para pengrajin kain tenun di
Dusun Gamplong, Desa Sumberrahayu, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman.
“Wah,
lama sekali, sampai anak-anak saya habis (sudah mandiri) semua,” kata
Tumiyem menuturkan lamanya waktu dia bekerja di sana, 10 Juli 2009.
Tumiyem
dan teman-temannya yang rata-rata berusia lebih dari paruh baya itu
akan berhenti saat makan siang tiba. Atau pun ketika kain tenunannya
selesai dibuat. Untuk menghasilkan kain tenun dengan panjang 10 meter,
Tumiyem membutuhkan waktu satu setengah hari. Sedangkan waktu kerjanya
dari pukul 08.00 WIB hingga 15.00 WIB atau 17.00 WIB. Waktu pembuatan
kain tenun akan terhambat kala benang tenunnya terputus.
“Itu
kendalanya. Tapi bisa diatasi tanpa harus kursus khusus,” kata Tumiyem
yang mengaku hanya belajar secara otodidak dengan melihat dan mencoba
untuk mengoperasikan ATBM.
foto: pitogoestin |
Cukup
uzurnya usia ATBM, tak heran jika alat tenun dari kayu yang berada di
ruang seluas sekitar 10 x 7 meter di rumah Sumiyati, pemilik usaha tenun
rumahan “Nopi Craft” itu terlihat usang. Debu dan jaring laba-laba
banyak menghiasi bagian atas ATBM yang jarang dipakai. Bagian ATBM yang
sering dipergunakan pun telah banyak ditambahi dengan kain usang yang
diikat sedemikian rupa dari bagian satu ke bagian lain untuk
menggerakkan pedal naik dan turun. Sebelumnya, alat penggerak pun berupa
kayu kecil yang berfungsi sebagai tuas.
“Semuanya memang dari kayu, kayu jati,” kata Sumiyati.
Lantaran dari kayu pula, tak ada toko yang menjual onderdil jika ATBM rusak.
“Cukup memanggil tukang kayu,” kata Sumiyati.
Usaha
tenun dengan ATBM di Dusun Gamplong merupakan usaha turun-temurun yang
berlangsung di rumah-rumah penduduk. Seperti Sumiyati yang meneruskan
usaha orangtuanya semenjak 1975 dengan ATBM yang telah ada sejak 1950.
Ataupun Walludin yang melanjutkan usaha ayahnya sejak 2001. Para
pengusaha kain tenun di Gamplong yang kini berjumlah 24 orang membeli
ATBM dari Dusun Ceper, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yang semula juga
dikenal menggeluti usaha pembuatan kain tenun. Menurut Walludin,
lantaran usaha di sana mulai surut, maka banyak ATBM yang dijual. Warga
Gamplong yang termasuk pembelinya.
“Mungkin
karena orang Yogyakarta terkenal suka membuat aneka kerajinan,” kata
Walludin mengemukakan alasan membeli ATBM dari Klaten.
Harga
ATBM saat itu relatif murah. Pada 1975, harganya hanya Rp 15.000 tiap
satu setnya. Sedangkan pada 2001, harganya sekitar Rp 400.000. Kini,
harga ATBM bisa mencapai Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta. Untuk
mengangkutnya saja tak perlu menyewa mobil bak terbuka. Cukup diurai
komponennya, lalu diangkut dengan sepeda motor, barulah dirakit kembali
ketika sampai di tempat tujuan. Kesetiaan pengusaha tenun Gamplong
menggunakan alat tenun dari kayu cukup teruji. Bahkan hingga kini, tak
ada satu pun yang membuat kain tenun dengan menggunakan mesin.
“Saya malah belum tahu, membuat tenunan dengan mesin seperti apa,” kata Walludin.
Berbeda
dengan Sumiyati yang menilai pembuatan kain tenun dengan mesin justru
menghilangkan ciri khas kain tenun itu sendiri. Meski pun penggunaan
mesin mempercepat proses produksi kain tenun. Kain tenun hasil olahan
mesin terlihat rapat, sehingga tak jauh beda dengan kain-kain biasa pada
umumnya. Selain itu, harga alat bermesin itu pun tentunya lebih mahal.
“Kain tenun hasil manual terlihat rongganya. Itu justru ciri khas kain tenun,” kata Sumiyati.
Lantaran
digerakkan secara manual pula, lebih banyak pekerja pembuat kain tenun
dengan ATBM rata-rata perempuan dan berusia lanjut. Menurut Walludin,
karena pembuatan kain tenun tersebut membutuhkan kesabaran dan keuletan.
Seperti memasukkan bilah-bilah asesoris kain tenun satu per satu di
antara benang-benang pintalan. Asesoris yang bisa berupa potongan batang
enceng gondok, batang lidi, akar wangi, daun pandan, atau pun mendong
itulah yang membuat kain tenun terlihat bervariasi motifnya. Ada yang
bergaris-garis, kotak-kotak, atau membuat motif bunga.
“Yang muda cenderung nggak sabaran, makanya banyak yang memilih kerja lain,” kata Walludin. (PITO AGUSTIN RUDIANA)
Dari Benang Pintal hingga Eceng Gondok
Hanya
berbekal alat tenun dari kayu yang digerakkan secara manual, para
pengusaha kain tenun dan pekerjanya yang menjalankan usaha turun-temurun
di Dusun Gamplong, Desa Sumberrahayu, Kecamatan Moyudan, Kabupaten
Sleman itu dapat menyambung hidupnya. Bermula dari pembuatan stagen
alias kain panjang untuk merampingkan perut yang merupakan produk awal
kain tenun Gamplong. Hingga kini beralih penghasil kain tenun untuk
bahan kerajinan tangan seperti tas, alas piring, alas meja, maupun
sampul kulit kotak pensil, boks buku, dan sejenisnya.
“Beralih ke kerajinan sejak krisis 1997,” kata Sumiyati maupun Walludin.
foto: pitogoestin |
Alasannya,
harga benang pintal yang didatangkan dari Semarang itu semakin mahal.
Kenaikannya hingga 300 persen. Satu pak benang yang semula seharga Rp
60.000 meningkat menjadi Rp 180.000. Padahal, satu bal terdiri dari
40-an pak benang. Benag-benag pintalan itu dijemur di bawah terik panas
matahari terlebih dahulu sebelum digunakan. Bisa pula diberi pewarna
sesuai keinginan. Dengan beralih ke produk kerajinan, maka benang pintal
bukanlah satu-satunya bahan baku tenun. Melainkan bisa dikombinasikan
dengan enceng gondok, akar wangi, mendong, daun pandan, juga lidi. Para
pengusaha tenun itu menjual kepada pengrajin yang juga berasal dari
Yogyakarta dalam bentuk lembaran seharga Rp 10.000 – Rp 70.000. (PITO
AGUSTIN RUDIANA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar