Instalasi Impian Sang Perupa
foto: pitogoestin |
Saat
mata lelah ingin terkatup, badan penat ingin rebah terbaring, kehadiran
sebuah bantal bisa menjadi obat meski sekejap. Pun tak peduli saat
melihat bantal warna merah muda yang seolah siap mengantar si empunya
untuk bermimpi dengan romantis itu ternyata tergeletak di atas sebuah
jebakan tikus berbentuk segi empat. Seolah ada pesan yang tersirat.
Tergiur untuk berbaring, silahkan saja. Namun jangan menyesal jika saat
terbangun tak bisa bermimpi lagi. “Sebuah Umpan”, demikian karya tiga
dimensi dari fiberglass yang diolah Purwanto. Pemuda kelahiran
Gunungkidul 28 tahun lalu itu pun mengakui, bahwa rintang hidup tak
selamanya terlihat menyakitkan, karena bisa menjadi godaan yang terlihat
nikmat dan nyaman.
“Saya
sebenarnya dihadapkan pada sesuatu yang menjanjikan kemewahan mimpi,
tapi sebenarnya bukan target yang ingin saya capai,” kata Purwanto.
Keresahan
akan alam mimpi yang banyak memberikan janji juga dirasakan Achmad
Basuki. Lulusan Universitas Negeri Semarang Jurusan Seni Rupa itu
mencurahkan isi hatinya soal impiannya untuk segera berkeluarga.
Maklumlah, usianya sudah 34 tahun. Sebuah media instalasi seperti robot
-- lantaran mempunyai sepasang tangan dan kaki dari stainless–
dihadirkannya untuk mewakili impian yang dianggap cukup menghantuinya.
Lihatlah tubuh robot yang berbentuk seperti hati dari resin dan berwarna
merah. Di dalamnya, bersekat kaca acrilyc, sosok perempuan berkerudung
terlihat duduk sembari memandang keluar.
“Saya ingin mempunyai istri yang solekhah, itu sebuah awalan,” kata Achmad Basuki dalam karyanya “Berkeluarga”.
Kelengkapan
sebuah keluarga yang diimpikannya pun kian lengkap jika pernak-pernik
di atas kedua telapak tangan si robot terpenuhi. Di atas telapak tangan
kirinya berdiri miniatu rumah, di tangan kanannya sebuah boneka
berbentuk anak laki-laki tengah memandang ke atas.
foto: pitogoestin |
Namun,
“The Power of Dream”, sebagaimana tema besar dari pameran kompetisi
yang disajikan dalam Tujuh Bintang Art Award 2009 di Jogja National
Museum pada 15-30 Agustus 2009 itu, diakui Roni Ammer sebagai lika-liku
hidup laiknya permainan ular tangga dengan manusia sebagai bidaknya. Ada
kekuatan mimpi yang menjadikan seseorang berhasil sehingga bisa mendaki
tangga kehidupan untuk hidup senang dan penuh kenikmatan. Seperti
tabiat orang yang berhemat menggunakan air, maka hidupnya akan meningkat
menjadi seorang konglomerat. Pun laki-laki yang rajin berolah raga,
kelak tubuhnya akan terbentuk bagus dan menjadi laki-lai metroseksual.
Ada pula kekuatan mimpi yang justru meninabobokkannya untuk terpeleset
jatuh dalam pusaran kepahitan hidup yang gelap dan menyakitkan. Seperti
saat manusia mengkonsumsi narkoba, maka kematian yang akan menjemputnya.
Ataupun ketika seseorang menjadi tikus koruptor,
maka hukuman pengadilanlah urusannya. Simaklah karya Roni Ammer,
seniman muda dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang berjudul
“The Winner” yang menggambarkan papan permainan ular tangga. Jika bisa
memenangkan permainan, maka seseorang itulah yang layak disebut The Winner.
Namun
dari 59 karya yang dipamerkan, hanya satu impian seniman yang
menggelitik ketertarikan alumnus mahasiswa Seni Pertunjukkan ISI
Yogyakarta, Jamiatut Tarwiyah. Karya perpaduan dua dimensi dan tiga
dimensi yang dibuat dari bahan acrylic dan rotan di atas kanvas
berdiameter 150 centimeter, “Menyudut” karya Made Wiguna Valasara,
seniman asal Sukawati, Bali, dinilainya sebagai konsistensi sang seniman
dalam mengeksplorasi gagasannya tentang lingkungan.
“Made Wiguna konsisten membuat karya dengan menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan,” kata Jamiatut.
Karya
itu menggambarkan bola bumi yang penuh sesak oleh kesemrawutan yang
digambarkan dengan bilah-bilah rotan yang saling tumpuk, saling tindih
tak beraturan. Bilah-bilah rotan itu bisa saja bangunan hunian, bisa
pula manusia yang tak henti berproduksi. Keunikan lukisan itu mulai
terlihat dari jauh seolah tiga dimensi. Namun saat didekati, hanya
ujung-ujung atas dan bawah dari bola dunia itu yang benar-benar nyata
tiga dimensi karena bilah-bilah rotan itu benar-benar menyembul. Tapi
pada bagian tubuh bumi hanyalah lukisan kanvas semata.
Salah
satu dari lima kurator pameran kompetisi itu, Netok Sawiji Rusnoto
Susanto dari Universitas Negeri Jakarta, menilai bahwa para perupa
cenderung mempresentasikan gagasannya dengan bahasa visual bercitra
realistik, hanya sebagian kecil saja yang memposisikan pada langgam non
representasi obyek.
“Tapi kompetisi ini telah mampu mengindikasikan peta perkembangan seni rupa kontemporer hari ini,” kata Netok.
Sayangnya,
event pameran 59 karya dua dimensi dan tiga dimensi yang lolos dari
tahap seleksi awal sekitar 1.500-an karya itu terlihat sepi pengunjung.
Kehadiran Tempo, Rabu (19/8/2009) seolah pelengkap penderita dari
cerita-cerita mimpi karya-karya seni yang terpajang rapi, tapi lengang
tak terkunjungi. Hanya bunyi mesin-mesin kipas angin yang berdengung di
pojok-pojok pintu masuk. (PITO AGUSTIN RUDIANA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar