Batik-batik Kuno Dalam Gelap
foto: pitogoestin |
RUANGAN yang cukup luas itu terihat sempit. Lantaran suasananya yang gelap
tanpa ada lampu penerangan sedikitpun. Jendela-jendela kayu yang ada di
dalam ruangan itu pun ditutup rapat, seolah sengaja untuk menghalau
sinar apapun yang masuk ke dalamnya. Hanya seberkas sinar matahari yang
menerobos masuk melalui pintu utama Museum Batik Yogyakarta yang
berlapis kaca. Sementara itu, kain-kain batik aneka corak yang jumlahnya
sekitar 500-an lembar itu seolah dibiarkan berdiam di sana dalam gelap
dan sepi.
“Ini
adalah salah satu upaya menjaga agar kain-kain batik itu tahan lama,”
kata Prayoga, kurator batik yang sehari-hari bekerja di museum batik
itu, 26 Agustus 2009.
Menurut
Prayoga, faktor suhu dan cahaya sangat berpengaruh dalam perawatan
batik. Tidak boleh terkena cahaya langsung dan dijauhkan dari kelembapan
adalah syarat utama agar batik awet dan warnanya tak lekas pudar. Cara
menyimpannya pun harus hati-hati. Kain-kain batik itu dilipat dengan
lebar sekitar setengah meter, kemudian dihamparkan pada selembar papan,
lalu dibungkus dengan plastik tebal transparan. Setiap tiga bulan
sekali, kain-kain yang dipajang dalam posisi berdiri itu diberi akar
wangi yang diletakkan di sela-sela kain agar kain terhindar dari aneka
binatang perusak dan tetap wangi.
Maklumlah,
kain-kain batik yang disimpan di sana bukanlah kain-kain batik
sembarang batik. Kain-kain batik yang disimpan adalah yang mempunyai
usia tua, sehingga corak-corak batiknya pun klasik. Tertua adalah batik
pada zaman kerajaan Jawa-Hindu yang dibuat pada 1212. Mayoritas adalah
batik-batik tulis Jawa yang asalnya beragam, yakni meliputi kawasan di
Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagian Jawa Barat, Jawa
Timur, dan Madura.
Secara
garis besar, jenis batik yang disimpan di sana terbagi menjadi dua
jenis, yakni batik keratonan, seperti batik Solo dan Yogyakarta serta
batik pesisiran yang meliputi batik Cirebon, Pekalongan, hingga Madura.
Perbedaan
jenis keduanya terletak pada warnanya. Warna pada batik keratonan
cenderung didominasi cokelat sogan. Lantaran ada empat warna dasar pada
jenis batik yang murni dibuat dengan menggunakan alat berupa canting
itu, yakni warna biru, putih, hitam, dan sogan. Perpaduan warna-warna
itu yang kemudian menjadi ciri khas warna batik keratonan.
Sebut
saja, sarung panjang Soga Jawa yang bercorak boketan adu jago berdasar
polos yang berwarna soga jawa, hitam, dan putih. Batik yang dibuat
dengan teknik batik tulis sedang itu berasal dari Yogyakarta yang dibuat
Nyonya Lie Djing Kiem antara 1920-1930. Ada pula kain panjang Soga Jawa
asal Klaten, Jawa Tengah pada 1950-1960. Kain batik berpola loreng
besar curigo dan pari sewuri itu dibuat dengan teknik batik tulis
sedang. Begitu pun dengan kain panjang Soga Kuning asal Surakarta pada
1960-1970 yang dibuat dengan teknik batik tulis sedang. Batik tersebut
mengambil corak ceplok kembang terompet berlatar belakang mukti luhur
berseling.
Sedangkan warna batik pesisir cerah dan dekoratif. Seperti ada warna merah, hijau, dan sebagainya.
“Sehingga tidak hanya pakai canting, tapi juga colet (semacam kuas),” kata Prayoga.
Seperti
sarung Isen-isen Antik yang bercorak boketan isen-isen dengan dasar
galar berseling halus dan terlihat unik. Batik berwarna kombinasi biru
tom, kuning kayu, dan hijau itu dibuat dengan teknik batik tulis halus
cecek jarum yang berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah pada 1880-1890.
“Kelangkaannya
ditandai dengan warna batik yang biru tua, cokelat, hitam, atau putih,”
kata Prayoga yang menceritakan cara membedakan batik-batik kuno dan
modern.
Begitu
pula dengan coraknya yang terlihat menggambarkan sesuatu benda yang
imajinatif. Semisal, lukisan burung dalam kain batik kuno tidak bisa
ditebak secara pasti jenis burung yang dimaksud, lantaran khayalan.
Bahkan pada corak batik buatan zaman Jawa-Hindu berbeda dengan pada
zaman Islam. Pada zaman Jawa-Hindu, gambar burung pada batik terlihat
utuh. Namun pada zaman Islam hanya terdiri potongan-potongan dari
bagian-bagian struktur tubuh burung.
“Karena ada keyakinan, bahwa agama Islam melarang menggambar makhluk hidup,” kata Prayoga.
Sedangkan
kain-kain batik modern terlihat dinamis, baik warnanya yang cerah
maupun corak-coraknya yang merupakan hasil modifikasi motif-motif batik
kuno. Tak heran, jika perburuan kain-kain batik tua dan langka itu cukup
sulit. Adalah Raden Nganten (RNgt) Dewi Sukaningsih (79), pemilik
museum yang disebutnya museum batik tertua di Indonesia itu yang resmi
berdiri pada 1979. Dewi menuturkan, awalnya koleksi museum merupakan
batik-batik peninggalan neneknya Sie Kee Hok dan ibunya Lusyana Ong.
Keduanya biasa membeli kain-kain batik kuno di tempat-tempat yang
disinggahinya. Saat itu, jumlahnya hanya sekitar 30-40 lembar. Lantaran
wasiat ibunya untuk merawat dan melestarikan batik-batik kuno itu, maka
Dewi mendirikan museum tersebut.
Untuk
menambah jumlah koleksi, Dewi mengumpulkannya dari batik milik
saudara-saudaranya. Ada yang boleh diminta, ada pula yang harus membeli.
Begitu pun dengan orang-orang yang sengaja datang kepada Dewi untuk
menjual kain-kain batik peninggalan leluhurnya. Saat itu, Dewi
membelinya seharga Rp 100.000 hingga Rp Rp 300.000.
“Syaratnya harus langka, kalau nggak ya, nggak saya koleksi,” kata Dewi.
Lantaran
spesifikasi jenis batik langka, kuno, dan klasik saja yang disimpannya,
akhirnya mengundang banyak kolektor batik datang untuk membelinya.
Namun Dewi tegas menolak.
“Apa artinya museum, kalau yang tua hilang,” kata Dewi.
Tak
heran, Dewi yang juga mahir membatik dan mendirikan tempat kursus
membatik itu tidak menyimpan aneka batik modern. Begitu pun batik-batik
buatannya. Alasannya, karena usia batik belumlah tua. (PITO AGUSTIN
RUDIANA)
Baju Brokrat Bu Tien Terlihat Transparan
TERNYATA tak hanya mengoleksi batik, Raden Nganten Dewi Sukaningsih juga
mengoleksi sekitar 50-an sulaman yang dimuseumkan satu tempat di museum
batiknya. Sulaman-sulaman buatan tangannya sendiri itu pun meraih
penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MuRI) lantaran satu-satunya
museum sulaman yang ada di Indonesia. Dewi memulai menyulam saat harus
menunggui suaminya, Hadi Nugroho yang tergolek karena stroke pada 1980.
Uniknya,
motif sulamannya bukan berdasarkan dari gambar-gambar motif sulaman
yang beredar di pasaran. Melainkan diambilnya dari aneka lukisan maupun
foto yang dimilikinya. Sehingga Dewi akan membuat sketsa pada kain
sulamnya sebelum menyulam.
“Kalau ada yang tanya, motif-motif sulaman saya apa, ya saya jawab motif acak, karena memang acak-acakan,” kata Dewi.
foto: pitogoestin |
Semisal,
dia membuat sulaman dari lukisan Kebangkitan Yesus Kristus yang
diselesaikannya selama 1,5 tahun. Ataupun sulaman dari lukisan
penyaliban Yesus Kristus yang dirampungkan selama 3,5 tahun karena cukup
panjang.
Kebanyakan adalah sulaman yang diambilnya dari foto-foto tokoh maupun keluarganya. Antara lain foto Presiden RI Soekarno
dan Soeharto, Presiden AS Ronald Reagen, Presiden Philipina Corazon
Aquino, juga foto Siti Hartinah Soeharto dan Hamengku Buwono IX. Hasil
sulamannya terlihat hidup seperti gambar aslinya. Seperti sulaman sosok
Bu Tien yang terlihat menggunakan baju brokat dan terlihat transparan
hingga kulit punggung lengannya kelihatan. Atau sulaman sosok Aquino
yang bisa menunjukkan kebeningan kacamata yang dipakainya. Juga foto
sosok HB IX yang diperoleh Dewi seminggu sebelum HB IX wafat yang
menunjukkan kerut-kerut kulit wajahnya. Mengapa sulamannya terlihat
hidup?
“Karena
dibuat dengan perasaan, mood-nya pas baik,” kata Dewi yang memajang
kerajinan tangannya itu pada pigura berlapis kaca di dinding museumnya.
(PITO AGUSTIN RUDIANA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar