Tiang Pancang dari Rel Kereta Api
foto: pitogoestin |
WAJAH pasar sebagai pusat perekonomian serasa tak lekang tergambar di Pasar
Legi Kotagede. Pasalnya, perputaran roda dari waktu ke waktu tak membuat
pasar tradisional di Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta itu mati.
Sedari pagi hingga kembali ke pagi lagi, pasar itu tetap meriakkan
tanda-tanda kehidupan.
“Pasar
Kotagede itu dua puluh empat jam,” kata Rustandi, pedagang sembilan
bahan pokok (sembako) yang berjualan di sana sejak 1974 kepada Tempo,
Rabu (15/4/2009).
Kehidupan
yang tak surut itu bisa dilihat sejak kedatangan bakul-bakul sayuran di
pasar peninggalan kerajaan Mataram. Mereka datang seiring mobil-mobil
bak terbuka yang mengangkut aneka jenis sayuran dari berbagai daerah
pada pukul 02.00 WIB. Aktivitas jual beli pun berlanjut hingga pukul
12.00 WIB siang.
Di
dalam pasar pun tersebar berbagai macam jenis barang tradisional yang
ditawarkan dan dijual. Meski masih terlihat acak, pembeli tak begitu
sulit menemukan barang-barang yang dicarinya. Semisal, di bangunan ujung
selatan adalah tempat dijualnya berkarung-karung arang. Kondisi yang
terlihat kumuh pun terlihat di arena penjualan bahan bakar yang masih
banyak dipergunkan masyarakat Kotagede itu. Menyisir ke arah utara mulai
dijual bumbu pasar dan sayuran. Tak ketinggalan los daging yang
menempati bangunan tersendiri di tengah pasar. Kemudian aneka perkakas
dapur, mulai dari besek, tampah, tusuk sate, dan sebagainya dijual di
sisi timur. Juga sembilan bahan pokok (sembako) dan perhiasan emas yang
banyak disediakan di kios-kios pasar yang melingkar di sisi luar dari
utara ke barat. Sedangkan pakaian, sepatu, sandal dijual di
sisi luar pasar sebelah timur.
Pergantian
waktu pun mengiringi pergeseran jenis barang yang dijual. Meski
kios-kios masih buka seiring lorong di dalam pasar kian sepi, keramaian
bergeser ke pelataran pasar di sisi utara dan barat. Aneka jenis sayuran
dan bahan mentah makanan lainnya yang dijual pagi hari telah berubah
menjadi bermacam-macam makanan jadi untuk dijual sore hari. Para
pedagang menjualnya dengan gerobak dorong. Ada gerobak isi klepon dan
getuk, ada gerobak gorengan, gerobak gudeg, dan sebagainya. Jika
menginginkan lauk dan sayur untuk teman makan malam hari pun disediakan
mbok-mbok bakul pecel, gudangan, juga cap jay. Atau merindukan jajanan
tradisonal serupa ketela rebus, singkong rebus, pisang rebus, kacang
rebus, gatot, tiwul, gerontol, juga entok-entok (jajanan dari jagung
yang ditumbuk dan dicetak bulat-bulat), tersedia pula.
“Harganya
murah dan banyak. Beli gatot dan tiwul Rp 1.000 nggak habis, bisa
dibagi tiga bungkus,” kata Mohammad Natsir, warga asli Kotagede yang
menjadi Ketua Yayasan “Kantil”, lembaga pengembangan sni budaya
Kotagede.
Tak
ketinggalan jajanan-jajanan pasar yang menempati lapak-lapak di sudut
barat laut yang menyediakan arem-arem, putu ayu, wajik, lemper, juga
kipo dari kata “iki opo”, makanan khas Kotagede.
“Kalau
hari biasa, kami buat 250-an bungkus, kalau hari minggu sampai 500-an,”
kata Amanah, penjual kipo yang meneruskan usaha neneknya, Jito yang
hidup semasa penjajahan Jepang. Harganya pun murah, sebungkus Rp 500
yang berisi lima biji.
Sekitar
pukul 21.00 WIB ke atas, jenis makanan yang ditawarkan pun berubah,
mengikuti selera pembeli malam hari. Sebutlah aneka wedang, seperti
wedang ronde yang dijual Rp 2.500 per mangkuk, juga wedang kunir asem Rp
1.500. Tak lupa angkringan yang menyediakan nasi kucing beserta
lauknya. Tak sekedar datang mampir ngombe, pelataran
pasar pun dijadikan ajang ngobrol aneka topik. Diterangi nyala lampu
dengan stop kontak yang dipasang di pepohonan depan pasar dengan kabel
yang berseliweran di atasnya. Kehangatan sajian malam itu akan menemani
hingga para bakul sayur kembali berdatangan.
“Makanya,
kami berencana menjadikan pasar Kotagede sebagai wisata kuliner malam
hari,” kata Natsir yang mengaku tengah melakukan pembahasan dengan
beberapa pihak yang peduli untuk merealisasikan rencana itu.
Rencana
tersebut tak lebih dari sebuah upaya untuk menegaskan kembali pasar
tradisional tersebut, tak hanya sebagai pusat ekonomi, namun juga pusat
peradaban Kotagede. Mengingat Kotagede sendiri menjadi kawasan yang
sempat ‘hilang’ sejak keraton berpindah dari Kotagede ke Pleret,
kemudian ke Kartasura dan ke Surakarta. Jenis-jenis barang dan makanan
yang dijual cukup mencerminkan peradaban masyarakat yang mendiami
kawasan tersebut. Begitu pula aktivitas dan karakter masyarakat di
dalamnya. Terbukti, papan bertuliskan “Pasare resik, atine becik,
rezekine apik” tertempel di beberapa bagian dinding pasar. Meskipun
kondisi pasar yang kumuh, kotor, dan bau masih terlihat di beberapa
sudut pasar.
“Kita lupa, bahkan mengabaikan bahwa Pasar Kotagede ini situs sejarah,” tandas Natsir.
foto: pitogoestin |
Sisa-sisa
peninggalan sejarah itu bisa dilihat dari empat bangunan di sana.
Bangunan pasar itu sendiri yang lokasinya di sebelah utara alun-alun
Kerajaan Mataram. Ada monumen atau tugu peringatan jumenengan Sultan
Hamengku Buwono IX yang dibuat masyarakat setempat tertanggal 18 Maret
1940 yang terletak di sisi timur laut pasar dengan aksara Jawa. Kemudian
gardu listrik (aniem) peninggalan pemerintah kolonial Belanda di sisi barat laut dan monumen jumenengan Paku Buwono X.
Upaya
yang telah dilakukan antara lain mengembalikan bentuk bangunan pasar,
monumen, serta gardu listrik seperti asalnya berbekal dokumentasi foto
pribadi tahun 1971. Menurut Natsir, gempa 2006 yang merobohkan bangunan
bagian depan pasar dan tugu monumen itu menjadi kesempatan untuk
melakukan konservasi bangunan cagar budaya itu seperti sedia kala. Dari
sanalah, Natsir mengaku diingatkan. Bahwa bangunan pasar tradisional itu
menggunakan konstruksi dari rel kereta api yang terbuat dari baja.
Konstruksi-konstruksi tersebut masih terlihat pada langit-langit atap
bagian dalam bangunan, maupun kosntruksi los-los pasar di dalamnya. Hal
tersebut dibenarkan Rustandi yang menilai besi-besi baja itu adalah
peninggalan Belanda.
“Kami diingatkan, bahwa konstruksi dari rel kereta api itu keunikan pasar Kotagede,” kata Natsir.
Kini,
wajah pasar itu kembali ke bentuk lama. Termasuk menghilangkan pagar
pembatas dari kawat berduri, sehingga tak ada lagi sekat-sekat antara
pasar dengan manusia di sekitarnya. Meskipun, diakui Natsir, proses
konservasi itu membutuhkan waktu yang tak sedikit.
“Minimal 20 tahun,” kata Natsir. (PITO AGUSTIN RUDIANA)
Kini Disebut Pasar Legi Kotagede
Saat
Ki Ageng Pemanahan atau kakek buyut Sultan Agung Hanyakrakusuma
melakukan babat alas Mentaok, yang kemudian menjadi cikal bakal
Kotagede, pasar menjadi bangunan pertama yang dibangun sebagai pusat
ekonomi seiring bangunan rumah-rumah warga di sebelah utara pasar. Baru
kemudian menyusul bangunan keraton, alun-alun di selatan pasar, dan
masjid. Begitulah konsep catur gatra yang menjadi ciri khas bangunan
keraton Hindu kuno, termasuk Kerajaan Mataram.
foto: pitogoestin |
Laiknya
pasar-pasar tradisional lainnya, pasar Kotagede mempunyai puncak
keramaian sendiri, yakni tiap pasaran Legi hingga kini. Dengan alasan
itu pula, Muhammad Natsir bersikukuh mengubah nama Pasar Kotagede
menjadi Pasar Legi Kotagede pascagempa 2006 lalu. Sekaligus untuk
membedakan dengan Pasar Gede dan Pasar Legi di Surakarta yang mempunyai
usia historis jauh lebih muda ketimbang Pasar Legi Kotagede. Nama itu
pula yang kini menghiasi atap depan pasar yang tengah memasuki tahap
konservasi bangunan cagar budaya. Apalagi, Sultan Agung sebagai Raja
Mataram ketiga (1612-1645) merupakan sosok penemu penanggalan Jawa.
“Jadi Legi bukan sekedar pasaran, tapi konsep pemerataan ekonomi,” tandas Natsir.
Pemerataan
ekonomi terlihat lantaran untuk pasaran selain Legi, keramaian bergeser
ke pasar-pasar tradisional lainnya. Sayangnya, konsep itu mulai
bergeser pada prinsip kapitalisme untuk mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya, tanpa mau berbagi dengan yang lain. Terbukti, saat
pasaran Legi tiba, masih banyak pedagang yang berjualan di luar kawasan
pasar. Padahal pasar adalah kawasan yang menjadi hak bagi pedagang untuk
berjualan, pun ketika hari pasarannya tiba. (PITO AGUSTIN RUDIANA)
mas, ada tidak peraturan tertulis yang menunjukkan bahwa pasar lrgi kotagede adalah cagar budaya? saya butuh informasi tersebut. terimakasih
BalasHapus