Karya Tiga Dimensi Penolak Panen Terakhir
foto: pitogoestin |
SAMBADI, 75 tahun terlihat hilir mudik dengan sebilah sabit
di tangan kanannya. Lelaki tua yang telah puluhan tahun tinggal di dusun
Jeblog, kecamatan Kasihan, kabupaten Bantul itu tengah memantau pengairan beberapa
petak sawah yang menjadi tanggung jawabnya. Yang pasti, bukan petak sawah
miliknya.
“Sudah saya jual untuk berobat, untuk bangun rumah. Ya, baru
tahun ini saya benar-benar enggak punya sawah,” kata Sambadi saat ditemui Tempo
di tepi sawah, Rabu (3/10/2012).
Ada kerinduan Sambadi akan petak-petak sawahnya yang satu
per satu hilang. Dia berharap kelak bisa memilikinya lagi. Meski harapan itu
sangat tipis mengingat petak-petak sawah di dusun itu banyak yang berbuah
menjadi dinding-dinding beton perumahan. Padahal, Sambadi sejak kelas II
Sekolah Dasar sudah biasa membantu ayahnya membajak di sawah. Saat tak sekolah,
biasa berangkat ke sawah kala pagi buta dan pulang saat petang. Tengah hari menjadi
waktu yang dinanti karena menunggu kiriman makanan dari ibunya sembari duduk di
gubuk-gubuk bambu yang ada di tengah sawah. Gubuk bambu itu juga menjadi tempat
petani untuk menghalau burung-burung pemakan bulir-bulir padi.
“Sekarang sudah tidak ada gubuk-gubuk bambu di tengah sawah.
Orang malas berlama-lama di sawah,” kata Sambadi.
Banyak petani masa kini yang datang kala matahari sudah
terbit dan segera pulang saat jarum jam menunjuk pukul 11 siang.
foto: pitogoestin |
Kegundahan Sambadi, dan beberapa petani tua beberapa zaman itu
ditangkap sejumlah seniman seni rupa tiga dimensi yang tergabung dalam
Komunitas Garda Matra yang lahir di dusun itu. Mereka pun memotret kegelisahan
petani, masa depan persawahan, dan alam sekitarnya melalui karya-karya tiga
dimensi. Mereka mempersiapkan 10 karya tiga dimensi berupa patung dan instalasi
dalam waktu satu bulan, termasuk menggagas temanya. Jadilah perhelatan “Panen
Terakhir” yang ditampilkan di tengah areah persawahan di dusun Jeblog dan
Nitiprayan sedari 27 September hingga penghujung 2012 mendatang.
“Dengan panen terakhir, kami berharap tak ada panen
terakhir. Karena ini memang potret realitas pertanian di pinggiran kota,” kata
Budi Barnabas, selaku ketua panitia sekaligus perupa di bengkel seninya yang
juga di tengah sawah.
Budi berharap, karya-karya instalasi yang ditampilkan secara
terbuka kepada public itu bisa mengobati kerinduan alam hijau pada masa lalu. Meskipun
beberapa karya yang ditampilkan terlihat getir.
Sebut saja karya Budi sendiri yang diberi judul “Kebo
Ketaton”. Karya yang menampilkan seekor kerbau yang berdiri mengangkang dengan
kepala tertunduk. Tubuhnya tanpa daging, tinggal tulang kerangka. Binatang pembajak
sawah itu dibiarkan sendirian di sebuah petak di tengah sawah di Jeblog.
“Kerbau itu simbol keputusasaan,” kata Budi.
Putus asa, lantaran kerbau yang berperan sebagai pembajak sawah tergusur
keberadaannya oleh mesin-mesin traktor yang lebih kokoh dan kuat. Serasa ada
luka luar dalam, demikian Budi menggambarkan binatang perkasanya yang kini tak
berdaya dengan modernisasi.
Keresahan pun melanda Kenyung Suranto yang membuat instalasi
berjudul “Kendi Borot”. Laiknya kendi atau bejana penyimpan air yang dalam
karya instalasi itu juga terbuat dari tanah liat. Kendi besar, penampung air, dipajang
di tengah sawah, namun kosong lantaran berlubang. Bagi Kenyung, kendi
diibaratkannya sebagai bumi penyimpan air. Namun kala tanah di atasnya lebih
banyak dihuni perumahan dan bangunan-bangunan industry, tak pelak lagi air semakin
minim untuk berada di resapan air.
“Yang terjadi kemudian krisis air kan,” kata Kenyung.
foto: pitogoestin |
Karya-karya tiga dimensi itu akan terus bertambah. Sudah ada antrean 10 karya
dan ditambah tujuh karya pada Desember nanti. Konsep memajang karya di tengah
alam rupanya menjadi daya tarik seniman lainnya untuk tampil serta. Karya-karya
lama yang masih nagus akan tetap dipertahankan untuk dipajang. Kemudian karya-karya
baru akan melengkapi. Meskipun untuk tampil di panggung persawahan, Budi mesti
melakukan pendekatan sosial kepada warga pemilik sawah. Termasuk pemberian uang
ganti rugi lantaran petak sawahnya disewa sebagai tempat pajangan.
“Modelnya gotong royong dan warga tak keberatan.
Bahkan inginnya tahun depan ada lagi,” kata Budi. PITO AGUSTIN RUDIANA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar