Ada Instalasi dalam Pentas Ketoprak
foto: pitogoestin |
TIDAK ada kursi singgasana yang empuk dan berukir. Tak ada
pula empat kursi kayu tua yang disusun mengelilingi meja kecil dengan cangkir-cangkir
kecil di atasnya. Suasana panggung pementasan ketoprak menjadi tak biasa pada
malam lalu, Selasa (11/12/2012) malam. Panggung Taman Budaya Yogyakarta itu justru
diisi dengan patung kerbau berukuran raksasa yang ngelesot menjadi latar
belakang panggung dan dua patung tikus di depan samping panggung. Kerbau melambangkan
rakyat yang mudah dicocok hidungnya dan tikus perlambang korupsi. Juga ada tumpukkan
karung-karung goni di atas sebuah kotak yang menyimbolkan daerah pertanian. Tak
ketinggalan susunan bambu yang dibuat bertingkat seperti menara sutet dengan
asesoris aneka perabotan dapur yang digantung pada setiap sudut bambu.
Itu baru kolaborasi dua bentuk seni: ketoprak dan seni
instalasi dari Wayang MILEHNIUMWAE. Saat pementasan ketoprak berlangsung,
barulah ketahuan ada yang berbeda dalam tata musik. Tiap kali gamelan akan
ditabuh, seorang wiyaga akan memulai dengan aba-aba berupa syair lagu dari
mulutnya. Peran kelompok seni suara Acapella Mataraman bisa dirasakan
kehadirannya di sana.
“Ini eksperimen kami. Bagaimana ketoprak berkolaborasi
dengan bentuk kesenian lain, biar tidak stagnan,” kata penulis naskah
pementasan ketoprak kolaboratif yang mengusung lakon “Lebak 1848”, Bondan
Nusantara saat ditemui usai pementasan.
Lebak 1848 sendiri mengambil latar belakang zaman penjajahan
colonial Belanda di Lebak, Banten pada 1848. Rakyat tak hanya ditindas oleh
penjajah itu sendiri, melainkan juga perilaku penguasa di sana yang korup. Para
bupati pun sudah ditulari virus korup tersebut. Rakyat diminta menyerahkan
ternak-ternak mereka yang berupa kerbau, sapi, kambing, hingga bebek dan ayam
demi bisa menjamu tamu bupati Lebak yang sesama bupati pula.
Ada Max Havelaar yang menjadi asisten residen yang baru. Dia
mempunyai janji untuk memberantas korupsi. Namun tetap tak ada perbaikan bagi
rakyat. Bahkan rakyat yang melakukan perlawanan di bawah kepemimpinan tokoh
masyarakat bernama Karya pun harus mati meregang nyawa semua.
Jika melihat sinopsis cerita, kening dibuat berkerut
lantaran terlihat cerita yang serius. Namun saat menonton jalannya adegan demi
adegan, penonton justru diajak menguras air mata karena kebanyakan tertawa. Boleh
dibilang, 80 persen cerita berisi komedi. Dimulai dari adegan lawak dua bocah
desa pada pembukaan pementasan. Adegan lawak yang selalu ada dalam setiap
pementasan ketoprak maupun wayang. Dari situlah, presepsi penonton tentang
lakon yang serius dibuat luruh. Lantaran adegan dialog bupati Lebak dengan
istri mudanya juga tak luput dari komedi bergaya satire. Termasuk rayuan maut
ki Demang terhadap Adinda, kekasih Saijah pun dibuat konyol. Begitupun dialog
antara Max Havelaar sebagai asisten residen dengan Multatuli sebagai penulis
bukunya. Keduanya saling sindir soal efektifitas pemberantasan korupsi yang
dilakukan: menjadi asisten residen dan penulis. Namun sama-sama tak berdampak
alias korupsi tetap merajalela.
“Jas bukak iket blangkon. Sama juga sami mawon,” kata Max
menyindir.
foto: pitogoestin |
Hanya 20 persen adegan yang serius dan berujung tragedi,
yakni saat perlawanan Karya dan masyarakat melawan kumpeni Belanda. Semangat
rakyat yang berkobar ditandai dengan instalasi berupa gunungan yang dibawa,
diacungkan, dikibaskan warga. Gunungan sendiri merupakan piranti khas dalam
pentas wayang kulit. Sayangnya, hanya separuh kursi yang terisi malam itu oleh
penonton.
Yang menarik, tak ada tokoh sentral laiknya pementasan
ketoprak umumnya. Semuanya menjadi tokoh, baik bupati Lebak, ki Demang, Saijah
dan Adinda, Max Havelaar dan Multatuli, juga adegan rakyat yang melawan.
“Memang kami tiadakan pemeran utama, karena tokoh itu ya
cerita tentang korupsi itu sendiri,” kata Bondan.
Waktu persiapan yang hanya dua bulan dinilai Bondan tak
cukup. Semestinya butuh waktu antara 4-5 bulan. Meski begitu, Kepala TBY Dyan
Anggraini Rais menilai kolaborasi tersebut menjadi gebrakan untuk membangkitkan
kembali kesenian ketoprak.
“Ini terobosan karena membuat ketoprak tidak normatif. Jadi jangan
takut lepas dari pakem, karena ini justru memperkaya berkesenian,” kata Dian.
PITO AGUSTIN RUDIANA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar