Rumah Ki Hadjar pun Dimuseumkan
foto: pitogoestin |
BANGUNAN rumah nan asri itu berada satu komplek Yayasan Persatuan Taman Siswa di
Jalan Taman Siswa Kota Yogyakarta. Siapapun bisa langsung menjumpainya
saat masuk lewat gerbang utara, karena rumah mungil itu berada di sisi
utara. Semua daun pintu dan jendela yang memanjang – arsitektur khas ala
Belanda – itu dibiarkan terbuka. Seolah-olah senantiasa siap menerima
persinggahan siapapun yang datang ke sana. Hanya sesekali daun pintu
bagian selatan terhempas karena dorongan angin yang terkadang bertiup
cukup kencang. Namun tiada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah maupun
seputaran teras yang diteduhkan dedaunan dari dua pohon kembang kamboja
di halaman yang sudah dimakan usia. Setua rumah mungil peninggalan Bapak
Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara yang telah beralih fungsi
menjadi museum.
“Biar
nggak lembab, makanya diangin-anginkan,” kata Sri Muryani (44), salah
satu pengelola perpustakaan dan Museum “Dewantara Kirti Griya (rumah
yang berisi hasil kerja Ki Hadjar Dewantara)” saat ditemui Tempo, Rabu
(26/11/2008) lalu, mengomentari daun-daun jendela dan pintu yang dibiarkan
dibuka.
Begitulah
cara murah dan praktis yang dilakukannya. Mengingat biaya perawatan
atas barang-barang koleksi di dalam museum tiadalah sedikit. Sebuah
persoalan klise yang hampir dialami semua museum di Indonesia.
“Untuk biaya perawatan barang-barang koleksi saja butuh sekitar Rp 50-an juta,” kata Muryani. Padahal,
jika hanya mengandalkan tiket masuk dari pengunjung saban tahunnya,
tiada cukup. Sebutlah. Biaya masuk bagi pelajar Rp 1.000, mahasiswa atau
umum sejumlah Rp 2.000, dan bagi wisatawan mancanegara sebesar Rp 5.000
yang semuanya per kepala. Itu pun tak setiap hari ada pengunjung yang
datang. Biasanya pada hari libur sekolah. Pengunjung kebanyakan pun para
pelajar dari sekolah-sekolah di luar Yogyakarta. Sedangkan berdasarkan
data yang dimilikinya, pada 2006 ada 3.758 orang pengunjung, pada 2007
ada 4.768 orang, dan pada 2008 meningkat menjadi 5.046 orang.
“Tahun ini, pemerintah provinsi memberi bantuan alat perawatan,” bebernya, seperti vacuum clenaner, tabung pemadam kebakaran, juga obat-obatan. Padahal, koleksi buku-buku, majalah, juga koran yang usianya sudah berpuluh tahun dalam museum itu membutuhkan perawatan khusus. Seperti fumigasi yang biayanya sangatlah mahal.
“Biasanya
kita pakai dana dari biaya masuk pengunjung. Itu pun dipakai
bergantian,” terangnya. Semisal, tahun ini untuk fumigasi, tahun depan
untuk membeli obat-obatan perawatan lain, tahun berikutnya untuk biaya
perawatan bangunan, dan sebagainya.
foto: pitogoestin |
Tak
hanya rumah hunian peninggalan Ki Hadjar saja yang dimuseumkan.
Melainkan juga sebuah Pendapa Agung Taman Siswa – yang merupakan Monumen
Persatuan Taman Siswa – yang terletak di tengah halaman komplek.
Bedanya, pendapa itu selalu riuh oleh celoteh para pelajar yang tengah
rehat di sana. Untuk berlatih tari, teater, berdeklamasi, karate, bahkan
untuk tempat pertemuan terbuka. Bahkan menjelang siang, satu dua
masyarakat umum menggunakannya untuk istirahat. Semilir angin yang
sepoi-sepoi menyejukkan siapa saja yang beristirahat di sana. Di sanalah
tempat murid-murid Ki Hadjar menimba ilmu.
“Makanya, tak ada yang tak mengesankan dari sepak terjang Ki Hadjar,” komentar Suratmi (89) – istri mendiang dosen dan pakar hukum adat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Iman Sudiyat – yang merupakan mantan murid Ki Hadjar pada 1937-1939 yang siang lalu sempat singgah sebentar.
Berbeda dengan suasana di rumah Ki Hadjar yang sunyi. Namun kesunyiannya tak menimbulkan rasa ngeri, justru ada rasa nyaman saat berada di rumah seluas 300 meter persegi di atas tanah seluas 2.720 meter persegi itu. Awalnya, rumah itu milik Mas Ajeng Ramsinah – istri orang Belanda – yang kemudian dibeli Ki Hadjar bersama dengan Ki Sudarminto dan Ki Supratolo yang merupakan pamong Taman Siswa pula pada 14 Agustus 1935. Baru pada 16 November 1938, rumah itu resmi dihuni Ki Hadjar bertepatan dengan peresmian Pendapa Agung Taman Siswa. Konon bangunan bergaya klasik kolonial itu dibangu pada 1925. Berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.25/PW.007/MKP/2007 tertanggal 26 Maret 2007, baik rumah maupun pendapa tersebut ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
“Ki Hadjar pula yang menginginkan rumahnya dimuseumkan,” terangnya. Permintaan itu disampaikannya pada Rapat Pamong Tamansiswa pada 1958. Rumah mungil itu dilengkapi dengan teras kecil dengan empat kursi kayu model kuno di atasnya yang menyambut siapa pun yang tiba.
“Dari
sini (sambil menunjuk kursi di teras), Ki Hadjar memperhatikan
siswa-siswanya yang ada di pendapa,” kata Mujiono (67), salah satu
pengelola yang lain. Sebelum
masuk ke ruang keluarga, pengunjung akan diajak memasuki kamar pribadi
Ki Hadjar yang terletak di sisi barat banguna bagian depan. Ada sebuah
tempat tidur kecil yang cukup untuk satu orang lengkap dengan
kelambunya, juga tiga buah tongkat penyangga dari kayu koleksi Ki
Hadjar. Tak ketinggalan meja kecil dengan mesin ketik kuno dan kotak
kaca berisi sisir, juga bekas sabun mandi Ki Hadjar yang terlihat
berwarna kecoklatan dan telah mengeras.
Kamar
tidur itu berbatasan dengan ruang tamu yang berada di utaranya dengan
pintu ruang tamu menghadap ke barat. Itu adalah satu-satunya daun pintu
yang tak dibuka karena langsung menghadap ke jalan raya. Selain
seperangkat meja dan kursi kayu kuno, juga ada telepon kuno buatan
Pabrik Kellog Swedia pada 1927. Untuk menggunakannya pada zaman itu,
penelepon harus memutar tuas lalu mendekatkan corong telepon pada
telinga yang terpisah dari corong bagian mulut.
Di sebelah timur ruang tamu adalah kamar tidur Nyi Hadjar Dewantara. Tak jauh beda, tempat tidurnya juga dilengkapi kelambu dan berseprei putih. Serta lemari besar yang berisi aneka perabot rumah tangga seperti piring, gelas, dan guci dari keramik.
“Baik
Ki Hadjar maupun Nyi Hadjar adalah keturunan Paku Alam III Kanjeng
Gusti Pangeran Harjo Soerjo Sasraningrat. Jadi masih sepupu,” terang
Mujiono.
Berdasarkan silsilah yang juga terpampang di sana, ayah Ki Hadjar yang mempunyai nama kecil Raden Mas Soewardi Suryaningrat adalah putra ke delapan dari PA III. Sedangkan Raden Ajeng Soetartinah atau Nyi Hadjar adalah putri dari putra ke 13 dari PA III.
Sementara itu, ruang
keluarga didesain memanjang dan lebih luas dibanding ruangan lainnya.
Ada sebuah kursi goyang kayu kuno lengkap dengan meja beralas keramik di
sana. Di atasnya ada sebuah cangkir kuno. “Dari sini, Ki Hadjar
memperhatikan putra-putrinya belajar,” kata Mujiono. Sedangkan keenam
putra Ki Hadjar belajar lesehan di atas lantai dari tegel.
foto: pitogoestin |
Buku-buku koleksi Ki
Hadjar tertata rapi di rak-rak buku yang ditutup kaca. Warna kusam
menandai betapa kunonya buku-buku itu. Juga ada piano yang digunakan Ki
Hadjar untuk menciptakan nada-nada dalam gamelan Jawa yang disebutnya
sistem nana Sariswara. Tak ketinggalan pula aneka piagam penghargaan
yang diterima Ki Hadjar yang dipigura dan dipasang di dinding.
Bangunan kuno itu,
menurut Mujiono, belum pernah dipugar. Lantaran banguna tersebut
dilindungi negara karena termasuk bangunan cagar budaya. Hanya saja,
beberapa bagian banguna sempat diganti karena lapuk. Seperti
langit-langit rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Juga sedikit
perbaikan pada dinding bangunan yang sempat retak karena goncangan gempa
pada Mei 2006 lalu. (PITO AGUSTIN RUDIANA)